39

1.1K 93 86
                                    

Rasa lelah dirasakan Deva sekarang dia berada di Bandara Internasional Schiphol Amsterdam membutuhkan waktu 14 jam untuk tiba disini. Pemuda itu melirik kearah depan dimana sang ayah tengah mendorong sebuah koper kecil yang merupakan koper pribadinya. Fahri tidak membawa koper karena bajunya masih ada di rumah kakeknya.

"Anak lu lihat lesu amat," ujar Roy menunjuk Deva.

"Sini nak naik ke koper," ujar Fahri mengajak anaknya untuk duduk diatas koper.

"Seperti anak kecil saja," jawab Deva.

"Emang kuat jalan kaki?" tanya Fahri.

"Iya," ujar Deva lesu.

Fahri bahkan melihat jalan Deva sedikit sempoyongan wajar sih dia baru bangun tidur. Selama perjalanan Fahri membangunkan Deva hanya untuk salat dan makan saja.

"Mau digendong?" tawar Fahri.

"Peka deh papa. Makin sayang," ujar Deva.

"Lha lu gendong benih lu. Nih koper bagaimana?" tanya Roy melirik kearah koper yang dibawa Fahri.

"Om aja yang bawa," sahut Deva.

"Sumpah, Ri. Sifatnya sebelas duabelas kayak lu," kesal Roy mendengar jawaban Deva.

"Deva anak gua wajar mirip gua. Kalau mirip orang lain tidak mungkinlah," ujar Fahri menjawab ucapan sang kakak.

"Kasih uang transport lu sama gua," ujar Roy.

"Ya elah perhitungan amat jadi abang. Gua adek lu tahu baik dikit napa," ujar Fahri.

"Dibaikin elu mah malah ngelunjak," komentar Roy.

Fahri hanya bisa tertawa akan ucapan kakaknya. Deva menonton saja sedikit pertengkaran antara ayah dan pamannya.

"Ayo!" ajak Fahri.

Deva melihat sang ayah berjongkok di depannya. Pemuda itu memeluk leher sang ayah sangat erat. Entah kenapa Deva kembali tertidur saat berada di gendongan Fahri.

"Tidur lagi bocahnya elu," ujar Roy.

"Gua mau ganti posisi gendong dulu bang," ujar Fahri.

"Sini Deva sama gua dulu. Lu puter badan gitu bentaran," ujar Roy merentangkan tangannya agar Deva diserahkan padanya.

Fahri akan menurunkan Deva tapi tangan kanan Deva memegang kerah baju Fahri sangat erat. Saat dilepaskan Deva sedikit terbangun jadi Roy tidak jadi melepaskan tangan Deva.

"Terus gimana, dek?" tanya Roy.

"Panggil adek kayak bocah aja gua," gerutu Fahri.

"Lu kan emang bocah bagi gua," ujar Roy.

"Serah," ujar Fahri kesal.

Pria dewasa yang menggendong anaknya itu meninggalkan sang kakak begitu saja. Roy maklum sifat Fahri dan Deva sama tidak jauh berbeda sama sekali. Hanya sifat dingin Deva saja yang muncul setelah tidak ada ibunya.

Fahri mencari tempat duduk menurunkan sang anak secara perlahan-lahan diatas kursi. Namun Deva malah terbangun akan tindakan Fahri barusan.

"Pah ngantuk," keluh Deva mengucek mata kanannya.

"Bobo nya teruskan ya. Papa gendong kamu," ujar Fahri mengelus rambut sang anak.

"Hm," gumam Deva.

Duda itu menggendong kembali anaknya di depan. Deva tersenyum dalam tidurnya merasakan perasaan nyaman dan aman saat memeluk tubuh ayahnya.

"Papa heran setiap tidur dalam gendongannya papa kamu tidurnya pasti sambil senyum gitu." Fahri mengelus punggung anaknya agar tidur semakin nyenyak.

"Jagoan papa tetaplah menjadi dirimu sendiri. Takdir memang kejam terhadapmu, ingatlah ada sosok papa berada di belakangmu."

Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang