Dua Puluh Dua

613 75 14
                                    

Tidak ada sangkut-pautnya dengan realita kehidupan karakter

Hanya fiksi belaka
.

.

.

.

.

Watanabe Haruto
Kanemoto Yoshinori

.

.

.

.

.

BxB
A/B/O [Omegaverse]
Typo(s)

Saking dibuat malu, Haruto jadi menunda kepulangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saking dibuat malu, Haruto jadi menunda kepulangannya. Ketika jarum jam menunjuk angka sebelas dan lebih panjang menyentuh duabelas, biasanya ia sudah menginjakkan kaki di kamar. Sungguh hati-hati sekali dirinya agar tidak membangunkan seluruh anggota rumah. Redum cahaya putih hangat di dapur menghentikan langkah si jangkung. Haruto bertanya-tanya, memastikan kemungkinan Mama menunggunya muncul di dapur sambil mengaduk segelas susu hangat dengan gerakan dua arah atau barangkali Ayah yang sedang terduduk di kursi meja makan dengan dagu berpangku tangan. Alih-alih terkaannya menjadi kenyataan, tatkala dirinya menggerakkan tungkainya lebih jauh, Haruto justru mendapati Yoshinori yang terangguk-angguk di meja makan.

Didekatinya secara perlahan, seminimal mungkin ia bergerak dalam sunyi. Pemuda bersurai cokelat gelap itu sudah rapi dengan setelan piyamanya, siap untuk menyambut bunga tidur daripada terduduk dengan kelopak mata yang sudah lengket terpejam. Jemari Haruto terbawa untuk menyingkap rambut Yoshinori yang sudah panjang ke balik daun telinga. Tak disangka sang empu mengerjapkan mata. Garis bibir tipis itu mengerut seperti leher sedotan plastik mampu menghadirkan seulas senyum tipis pada wajahnya.

"Haruto?"

"Ya,"

Ada jeda waktu dimana Haruto menikmati bagaimana Yoshinori merenggangkan tubuh dan mengusap-usap wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk. Bunyi klik-klak dari jam dinding serta merta menemani kesunyian mereka. Si remaja masih menunggu sebanyak apapun itu walaupun sekedar menelan diam-diam kekagumannya. Rambut yang disematkan sebelumnya oleh Haruto di balik daun telinga Yoshinori, lolos kembali menutupi mata layu berkabut kantuk sehingga ketika sang empunya memutuskan untuk bangkit dan menghadapi dua bola mata Haruto, nasi sekepal tangan menyumbat tenggorokannya seolah-olah melihat hal anomali.

"Kenapa tidur di sini?" sambil mengekor di belakang Yoshinori, Haruto bertanya.

"Mama berniat nunggu kamu pulang dan kamu engga pulang-pulang, aku bilang kalau aku yang akan menunggu."

"Oh. Um. Maaf, kak. Ponselku di mode silent."

Yoshinori tidak membalas lagi sedangkan Haruto menunggu dari belakang sana. Hanya satu lampu yang dinyalakan di lorong atas. Tepat di depan kamarnya, Yahshinori menghentikan langkah. Kehangatan menyebar dari pundaknya dimana tangan Yoshinori berlabuh. Tepukan tanpa maksud menyakiti menyalakan saraf-saraf perasanya yang sensitif. Senyum simpul tak berarti dalam dilihatnya di bawah minimnya cahaya lampu. "Kak, aku minta maaf."

"Kita—"

Benang-benang beludru yang mencuat dari kain kaos kaki lama sama sekali tidak nampak dengan keadaan lorong seperti sekarang, permukaannya jadi terlihat halus dan bahkan noda spidol di dekat jari kelingking sebelah kirinya pun tersamarkan. Haruto terus menunduk malahan begitu listrik-listrik bertenaga lemah yang dihantarkan dari ujung jarinya ditolak oleh tangan mungil Yoshinori, sukses membuang jauh-jauh harapan kepala akan terangkat kembali. Udara digenggamnya, disimpan bersama sesaknya dada yang semakin menjadi. Bibirnya bergumam tanpa suara berupaya berbicara tanpa salah langkah. "Bisakah kita balik seperti dulu? Aku sungguh minta maaf, kak. Aku minta maaf. Aku akan jadi adik baik dan penurut seperti yang kamu mau dan kamu jadi kakak yang aku hormati, banggakan, kagumi, dan bisa diandalkan. Kita pergi jalan-jalan ke festival-festival dan pasar malam. Kita berburu diskon makanan manis. Atau naik sepeda di sore hari lalu, mengobrol di tepi sungai. Aku mau itu keulang lagi. Aku minta maaf kak Yoshi..."

"Kita tidak bicara tentang ini, Haruto. Dan aku memaafkanmu—"

"Kalau begitu," volume suaranya tinggi seiring kepalanya terangkat. Mata yang selalu tergambarkan kuat, tegas, dan tajam kali ini digenangi air mata nyaris menjatuhkan Yoshinori dari ketinggian egonya. "jangan menghindari lagi, jangan mengabaikan aku, jangan takut lagi denganku... hiks. Aku ingin dipedulikan, aku ingin diperhatikan, aku ingin diberi senyumanmu, aku ingin hiks... aku, kak Yoshi,"

Lantas manisnya melon bercampur apel memenuhi dada Haruto. Tangisnya semakin tak tertolong akibat tangan-tangan lembut Yoshinori mengalirkan keselaran afeksi yang dibutuhkan. Pemuda bertahi lalat di dagu itu mengatupkan bibir tanpa niat menghentikan adiknya menumpahkan perasaannya. Haruto menerima usapan lembut di kepala dan punggungnya, sengatan dari sentuhan kasih sayang, dan mendengarkan harmoni detak jantung seperti yang kita dengar dari dada ibu kita ketika menyapa matahari dari balik kisi jendela. Genggaman Haruto yang bebas meraih Yoshinori mendekat melalui cengkraman di piyama.

"Dengar Haruto, sekarang bukan masalah siapa yang salah dan siapa yang harus minta maaf. Kamu sedang rut dan hanya kita berdua di rumah. Normalnya, seorang omega tidak mendekati alpha yang sedang mengalami rut benar 'kan? Tapi Haruto, aku sendiri tanpa paksaan dari siapapun, bersikeras membantu. Kamu tidak perlu menanggung kesalahan yang bahkan kamu tidak sadar melakukannya. Hm? Kakak juga minta maaf ya?

Aku... minta kamu untuk menunggu saat yang tepat, di saat aku bisa menyesuaikan diri kembali. Aku tidak bilang kita berhenti di sini, kita bisa melakukan apapun seperti yang kamu inginkan. Kita bisa menghabiskan bergelas-gelas parfait, atau setumpuk piring sushi, pergi bermain lempar kerikil di tepi sungai, main ke pusat game."

Tapi Haruto, tolong tunggu aku.

Sejenak arus-arus waktu yang berlari menggores kulit mereka beranjak melembut seperti belaian angin tengah malam di luar menjelajah ruangan melalui jendela berfentilasi. Kecupan singkat yang disematkan Yoshinori pada jidatnya mengalirkan rasa tenang seakan-akan hal itu terserap ke dalam darah Haruto, menghentikan tangis dan rasa sakit yang mengikat dada dan tenggorokannya. Untuk beberapa momen, Haruto hanya ingin menyembunyikan wajahnya di dada Yoshinori, menenggelamkan dirinya dalam pelukan yang menentramkan, mendinginkan kepala sambil mereguk aroma Yoshinori bercampur pewangi baju yang dikenakan. "Aku minta maaf, kak."

Yoshinori terkekeh dan mengangguk-angguk menanggapi ucapan si bungsu. Lorong atas memang redup cahaya namun, Haruto tahu kalau pipi dan telinganya sudah pasti merona. Dengan mengacak-acak rambutnya, mengeratkan pelukan, dan menahan tawa agar tidak menggangu sunyi yang merayap diantara dinding rumah cukup sukses membuat Haruto merasa hidup kembali.

"Sudah?" Yoshinori menangkup pipi Haruto. Dihapusnya jejak air mata yang hampir mengering. "Ayo tidur!"

"Ung," kepalanya mengangguk. Belum sampai di depan pintu dan ketika Yoshinori hendak membuka daun pintu kamar, Haruto balik badan, menarik ingusnya. "Makasih kak. Aku bisa menunggu sebanyak waktu yang kamu butuhkan."













Aku nulis sambil dengerin BOMB , lagunya enak bangett (இдஇ; )
Maaf kalau ada typo dan makasih yang udah mampir (❁´◡'❁)

Pimpernel || HaruNori ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang