𝒮𝑒𝓅𝓊𝓁𝓊𝒽

1.1K 157 10
                                    

Tidak ada sangkut-pautnya dengan realita kehidupan karakter

Hanya fiksi belaka
.

.

.

.

.

Watanabe Haruto
Kanemoto Yoshinori

.

.

.

.

.

BxB
A/B/O [Omegaverse]
Typo(s)

Malam-malam dengan angin dan suhu yang tidak terlampau dingin, ditambah lalu lalang manusia yang tumben nya tidak padat, Haruto sama sekali tidak bisa tenang menikmati waktu sama seperti Yoshinori; diam membiarkan angin menerpa, dan mata berbinar ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam-malam dengan angin dan suhu yang tidak terlampau dingin, ditambah lalu lalang manusia yang tumben nya tidak padat, Haruto sama sekali tidak bisa tenang menikmati waktu sama seperti Yoshinori; diam membiarkan angin menerpa, dan mata berbinar memandangi bayangan warna-warni lampu di air. Remaja itu malah fokus melirik dan terus mencuri pandang akan sosok kakaknya seolah-olah tiada hari esok.

Baru kali ini, demi udel, dadanya sesak ditumbuhi ribuan bunga-bunga yang bermekaran ditambah sensasi dibawa terbang menembus angkasa luas. Memandangi Yoshinori dari samping diam-diam begini saja, Haruto sudah sangat bersyukur kendati inginnya menghentikan waktu setidaknya untuk beberapa detik. Aroma melon bercampur vanila dengan teh hitam miliknya menjadi wangi khas untuk diingat sebagai memori paling menyenangkan.

"Kamu ingat tidak, Haruto? Selepas dari sini, keningmu ternyata benjol terantuk besi kabin bianglala?"

Senyum Haruto tidak bisa luntur untuk beberapa waktu. Bukan, bukan karena memori masa kecil yang memalukan tapi, bagaimana Yoshinori berbicara dengannya dengan suara halus diselingi kikikan kecil.

"Tentu aku ingat. Mama dan Ayah tertawa puas, dan kamu terkejut."

"Bagaimana aku tidak terkejut, Haruto. Suaranya benar-benar nyaring. Bisa-bisanya aku berpikir kepalamu akan penyok." Pemuda itu, di otaknya, muncul gambaran tentang kepala Haruto yang penyok sehingga tawanya terdengar geli sambil menepuk kedua telapak tangan.

Paham sekali jika kakaknya agak aneh; tertawa sendirian yang sama sekali tidak dimengerti bagian mana yang lucu. Haruto sangat maklum. Di samping keanehan Yoshinori, ia tak kuasa menahan gemas sekaligus serangan serangan anomali pada tubuhnya tatkala menangkap cerahnya wajah sang sulung saat sedang tertawa kegirangan. Tangannya terulur membenahi surai-surai cokelat gelap yang berantakan diterpa angin maupun akibat ulah empunya.

"Memangnya kepalaku kaleng soda. Kamu juga pernah hampir jatuh di tepi port sebrang sana 'kan, kak?"

Tawa Yoshinori seketika berhenti, kedua matanya membulat, begitupula dengan rahangnya yang jatuh. "Hah?! Oh! Itu... Aku lihat ada ikan."

"Serius kak? Kuriositasmu tinggi sekali."

Setelah itu, bibir mereka terkatup. Yoshinori kembali menikmati angin malam sambil menatap langit atau refleksinya pada yang yang bergoyang. Sedangkan Haruto kembali memikirkan perkataan ayahnya yang secara tiba-tiba mengejutkan dirinya sendiri, padahal remaja itu yakin tidak ada seorangpun yang tahu, atau memperhatikan.

"Kak..."

"Ya?"

Bahkan waktu saja sampai bingung. Belah bibir itu tetap terkatup meski kepingan cokelat gelapnya terus terbuka menarik atensi. Tiada sepatah kata yang—bertujuan—ingin ia keluarkan, cukup rasanya memandangi beribu-ribu kali.

"Hei, ada ap—"

Percikan warna-warni yang dilemparkan ke langit bersamaan dengan suara mega mengejutkan praktis memotong pertanyaan Yoshinori. Kedua kakak-beradik itu terfokus pada kembang api yang tanpa angin dan udara sekonyong-konyong pamer kecantikan di tengah malam yang dingin nan sepi. Berkali-kali hingga mendatangkan khalayak yang mula-mula berada dalam perjalanan pulang ke rumah atau tempat yang lain, menepi sebentar menempel di sekitar pagar pembatas. Saling mengagumi, mengambil kamera ponsel; memotret atau merekam sebagai video.

"Haru, selepas kembang api-nya habis kita makan di resto daging biasa ya?"

"Kakak sudah makan di rumah bukan?" Mereka harus saling berteriak agar suara mereka tidak—atau paling sedikitnya tidak tercampur dengan dentuman bunga api.

"Tapi kamu belum makan. Jadi, ayo?"

Sudut bibir Haruto tertarik membentuk senyuman tipis, mengangguk menuruti keinginan sang kakak.

Dengan ini, atensi Haruto akan Yoshinori, terdistraksi. Hingga satu momen dimana hidung Haruto menangkap seutas aroma yang tidak dikenal. Menyengat dan aneh. Lengannya dicengkeram kuat oleh Yoshinori, bahu mereka semakin menempel, yang secara langsung membuat Haruto penasaran. Tepat di belakang agak menyerong ke arah kanan, terdapat pria asing—yang Haruto perkirakan umurnya jauh lebih tua dari mereka—mengerling genit sambil mendengus-dengus seperti anjing.

Lantas tanpa mengulur lebih banyak waktu, Haruto menarik Yoshinori menempel padanya, tangan kanannya singgah pada sepanjang bahu si sulung. Matanya memandang tidak suka pada pria asing dengan tajam dan galak, sudah begitu Haruto tambah pula dengan teh hitamnya yang mengintimidasi. Selain pria itu berdecih lalu kabur, Yoshinori jadi kelimpungan berada dalam pelukannya.

Seharusnya Haruto tahu bahwa Yoshinori masih tidak terbiasa dengan semua keanehan gender kedua manusia. Yang lebih tua meremang bulu romanya tatkala dibanjiri feromon mengintimidasi adiknya. Bukannya Yoshinori menyukai, kontras dengan dirinya yang lain mengerang, meraung kelaparan secara tiba-tiba saat wangi itu memasuki indra penciuman. Wajah Yoshinori yang putih bersemu diselimuti merah muda.

Wangi buku-buku tua milik Ayah adalah satu dari sekian banyak aroma alpha yang membantunya menjadi tenang. Sedangkan teh hitam Haruto satu dari kebanyakan yang paling sulit ia tolerir. Namun, beruntungnya Haruto termasuk yang paling mudah mengatur kapan dan bagaimana melepaskan feromon-nya sehingga saat berada di rumah Yoshinori merasa lebih lega dan aman. Pernah sekali Yoshinori lari ke dalam kamar tepat ketika mencium teh hitam Haruto melayang-layang di ruang tengah saat anak itu sedang marah yang Yoshinori tidak tahu penyebabnya.

Bertengkar dan melawan sebagian dari diri kita mungkin bisa dikatakan hal yang paling sulit. Yoshinori selalu membatasi semua, berusaha untuk lebih rasional daripada manusia manapun terlebih ketika omega-nya tersentil sedikit saja oleh godaan sejenis apapun. Yoshinori akan benci sekali dengan diri sendiri kalau sampai terperosok mengikuti keinginan dirinya yang lain; menghilangkan akal sehat.

Sekejap mengetahui Yoshinori bergetar berada dalam pelukan, detik berikutnya Haruto langsung menarik kembali feromon intimidasi-nya. Benar-benar lenyap tidak ada bekas. "Aku minta maaf, kak." Itu yang terucap dari mulut Haruto.

Tubuh yang lebih kecil gemetaran, jelas sekali di tangkap oleh indranya yang mana membawa perasaan bersalah. Harus bagaimana lagi ia bersikap, Haruto memilih untuk menunduk dan mengalih. Lagi-lagi atmosfer canggung merajai; sunyi diantara keduanya kembali mengambil tahta, bisingnya kembang api menghilang, lenyap bersama manusia yang mulai berhamburan.

Yang lebih tua meruntuk dalam diam. Situasi seperti ini tidak boleh terjadi, niatnya mengajak Haruto keluar adalah untuk merajut benang baru; yang barangkali beberapa waktu terakhir runyam akibat dirinya. Yoshinori tidak bisa membiarkan hubungan mereka jadi berantakan—padahal ia sama sekali tidak memiliki petunjuk alasan sikap dinginnya Haruto. "Ah. Ayo kita jalan ke port sebrang lalu pergi makan." Suaranya kembali pada tone yang sama dilengkapi senyuman manis.


Pimpernel || HaruNori ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang