"Mau kemana kita?" Baru saja mereka berempat menyelesaikan masing-masing mata kuliah, Dika yang tampaknya tak sabar berkumpul sudah mengajukan pertanyaan.
"Tumben amat lu gercep, kenapa?" Tukas Farel penasaran. Biasanya yang pertama bertanya itu kalau tidak dia, ya Angga. Dika sama Radit biasanya tukang nurut aja mau kemana.
"Pusing gue, sumpek banget dosennya tadi." Pantas saja raut wajahnya terlihat yang paling kusut, "Rumah Radit aja gimana? Mau main ps gue."
Radit yang awalnya hanya diam, langsung bersuara ketika namanya disebut, "Rumah gue kagak ada makanan."
"Halah, biasanya juga kita beli sendiri." Ucap Angga yang langsung disetujui yang lain, "Rumah lu aja lah dit, gue juga mau main ps."
"Main aja lu bedua, bantuin bayar listriknya mau?"
"Ayolah dit."
Walaupun awalnya tampak ogah-ogahan, Radit berhasil luluh dengan bujukan maut dari Dika dan Angga. Memang dua itu paling bisa kalo soal membujuk Radit.
Terpaksa pemuda yang sudah mengantuk itu harus merelakan waktu tidur siangnya.
"Gue ngantuk tapi." Radit masih saja mencari alasan walaupun mereka bereempat sudah siap di atas motor. Kecuali Dika yang menebeng dengan Angga karena pada hari itu kebetulan motor yang biasa ia bawa sedang berada di bengkel.
"Bacot lu ah. Biasanya kalo ada kita tetep tidur." Farel menyahuti alasan Radit kali ini.
Radit hanya bisa pasrah. Entah kenapa mereka hari itu tampak ngotot ingin ke rumah Radit.
Tapi sungguh, siang itu mata Radit sangat berat. Ia terlalu mengantuk. Bahkan ia bisa tertidur ketika berhenti di lampu merah kalau tidak di awasi oleh Farel.
Ketika sudah sampai pun, Radit langsung menyelonong masuk ke rumah, tanpa basa-basi lagi dengan yang lain. Ia segera membuka pintu kamar dan merebahkan badannya di atas kasur. Bertemu dengan bantal yang empuk, membuat kantuk Radit semakin menjadi. Tak sampai hitungan menit, Radit sudah berada di alam bawah sadar miliknya.
Untung saja yang lain sudah terbiasa datang ke rumah ini, bahkan sudah menganggap rumah Radit sebagai rumah kedua mereka, sehingga tanpa aba-aba lagi mereka ikut menyusul Radit ke kamar.
"Buset, beneran tidur dianya." Dika sudah terbiasa sebetulnya, tapi masih saja heran dengan kemampuan tidur Radit yang sangat cepet. "Gue ikut ngantuk, pesen kopi deh kopi." Usulnya sambil menyalakan televisi untuk bermain ps.
Karena Angga dan Dika bermain ps, sedangkan Radit sudah tertidur lelap, jadilah Farel yang bertugas untuk memesan kopi kali itu. "Mau kopi apa lu pada?" Tanyanya sambil terus menggulir menu yang tertera.
"Samain aja semualah." Sahut Angga yang fokus pada permainannya, "Pesen empat, Radit jangan lupa."
"Iye lah anjir."
Baru saja Farel memencet tombol pesan, bunyi ketukan pintu sudah terdengar dari arah depan.
"Udah nyampe?" Dengan santainya Dika bertanya, padahal jelas driver yang mengambil pesanan mereka masih di restoran.
"Goblok!" Farel yang emosi langsung spontan, "Gue cek bentar dah."
Belum lima menit Farel pergi, ia telah kembali lagi ke kamar Radit. Tapi bukan kopi yang ia bawa, melainkan kotak dus coklat yang biasanya digunakan untuk membungkus paket, "Kurir paket anjir."
Farel meletakkan paket itu tepat di meja milik Radit, "Kali aja punya emaknya."
"Yahh, gue kirain itu driver udah sampe." Dika terdengar kecewa. Kerongkonggan nya sudah terasa kering. Padahal ia bisa saja mengambil air yang berada di dapur, tapi pemuda itu tetap bersikeras ingin meminum kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Neighbor | Junkyu Lia
FanfictionRenjani tak pernah menyangka kalau perpindahan nya untuk melanjutkan pendidikan justru mempertemukan nya dengan Raditya, tetangga depan rumah yang ternyata satu kampus dengannya.