Entah perasaan Renjani saja, atau memang tingkah Radit sesudah sembuh tambah menyebalkan. Pemuda itu sudah berkali-kali mengklaksoni rumahnya, terus segera menyuruh gadis itu buru-buru.
"RADITT JANGAN DI KLAKSON."
Si pengemudi tak mau mendengar. Wajah Radit terlihat sangat bahagia sebab pagi-pagi sudah membuat Renjani mengomel karena nya.
"Lama. Buruan."
Renjani buru-buru memakai sepatunya. Sekali lagi, klakson yang nyari terdengar oleh indra pendengarnya. "DIT GILA."
Yang diomel jelas tertawa riang. "Lama ah, pake sepatu lain aja."
Padahal Renjani sudah bilang ingin pergi kuliah sendiri, tapi Radit tak mau mendengar. Alhasil dia jadi di buru-burukan karena kelas Radit akan mulai sebentar lagi. Sementara dia harus menunggu sekira nya satu jam sebelum kelas pertama di mulai.
Kebetulan sneakers yang biasa di pakai sudah terlihat sangat jelek. Renjani baru ingat kalau beberapa minggu lalu ia membeli flatshoes yang bahkan masih berada di dalam kotak.
"Bentar Dit." Renjani menyelonong cepat masuk lagi kedalam rumahnya. Ia kelabakan sendiri mencari dimana dirinya menaruh paket waktu itu.
"Ketemu!" Dengan beringas, Renjani membuka paket tersebut dengan cepat. Sepasang flatshoes coklat muda yang ditaksir nya dari internet beberapa lalu sudah ada di tangan. Tak butuh waktu lama untuknya memakai flatshoes tersebut.
Salah satu akibat berbelanja secara online yaitu kadang ukuran yang sampai tak sama dengan yang di pakai. Sepatu cantik dengan pita kecil di depannya tampak sangat kecil di kaki Renjani, namun ia sangat menyukai desain yang di tampilkkan. Walaupun kaki nya terasa sangat sesak dan sakit, Renjani putuskan untuk memakai itu saja.
---
Selama lima jam lamanya, Renjani terpaksa harus menahan sakit akibat sepatunya yang kekecilan. Bagian kaki belakang Renjani bahkan sampai terluka akibatnya, dan juga cara jalan nya yang terpincang-pincang.
Radit mengamati dari belakang, ia membiarkan Renjani jalan duluan untuk melihat dimana keanehannya. Renjani tampak berjalan dengan menggeret kakinya,
"Kenapa lo?"
Tanpa menoleh lagi, Renjani langsung menjawab singkat, "Lecet."
"Gak pake hansaplast?"
"Gak ada. Udah nyari sampe kewarung depan, gak ketemu." Renjani yang sudah sampai di depan motor duluan langsung memakai helmnya. "Padahal bagus tau, tapi kekecilan."
"Ukuran kaki lo berapa emang?" Tanya Radit yang sudah berada di dekatnya.
"37."
"Kecil amat. Ponakan gue aja 38." Cibir Radit.
Renjani cukup malas membalasnya. Wajarkan kalau ukuran kaki manusia itu berbeda-beda? Menurut Renjani, ukuran kaki nya masih tergolong standar dengan perempuan lainnya. Bagaimana bisa itu bisa di bandingkan dengan kaki keponakan Radit yang umurnya jauh di bawah Renjani.
"Ngelamun aja, nunggu apa?" Radit yang sudah siap di atas motor memandangi Renjani yang tengah melamun.
Renjani melirik Radit sinis, masih dendam pasal ukuran sepatu tadi.
"Gak usah cemberut. Lo mirip bebek kalo gitu." Ucap Radit yang mengintip lewat kaca spion.
Renjani memalingkan muka dan menutup seluruh wajahnya menggunakan kaca helm yang gelap. Kalau boleh di ulang, Renjani ingin Radit kembali sakit dan merengek seperti beberapa hari yang lalu.
---
"Turun dulu. Duduk di kursi aja."
Kalau dihitung pakai satuan detik, mereka baru memulai perjalanan pulang sekitar lima menit, tapi Radit malah melipir ke supermarket yang berada di pinggir jalan.
Renjani yang masih di atas motor saja sudah di tinggalkan begitu saja. Tapi sesuai instruksi, Renjani beralih duduk di kursi panjang yang terletak persis di depan toko.
Sembari menunggu Radit yang entah ada urusan apa, Renjani memandangi pemandangan di sekelilingnya. Jalanan kala itu tak terlalu ramai karena sudah menjelang sore. Langit yang tadi nya memunculkan matahari dengan terang, sekarang malah membawa sekumpulan awan gelap dan membuat matahari bersembunyi di baliknya.
Netra milik Renjani sontak salah fokus dengan iklan yang di tampilkan dalam papan reklame disana. Iklan tersebut berisikan informasi bahwa cafe yang tengah dibangun akan segera di buka. Lokasi nya pun hanya beberapa meter dari kampus Renjani.
Pas sekali pikirnya. Meskipun baru semester satu, kepala Renjani sudah dipusingkan dengan beberapa tugas serta presentasi. Mungkin lain kali ia akan mengajak Alika kesana.
"Ngelamun mulu sih lo." Radit yang sudah kembali langsung duduk di sebelah Renjani.
"Lo ngapain Dit?"
Radit tak menjawab, ia sibuk dengan belanjaan miliknya. Sebuah kantong putih kecil yang ternyata berisikan beberapa lembar hansaplast. Renjani hanya diam memperhatikan gerak-gerik Raditya.
"Buka sepatu lo." Bersamaan dengan itu, Radit yang mula nya ikut duduk di kursi panjang, langsung berjongkok persis di depan Renjani.
"Eh-" Renjani jelas terkejut dengan sikap Radit yang mendadak seperti ini, "Dit, gak u-"
"Cepetan." Desak Radit. Pemuda itu mendongkak untuk menatap Renjani, "Biar gue yang kasih hansaplast."
Serangan tanpa aba-aba jelas saja membuat Renjani kelabakan. Hati nya yang sangat lemah tak sempat lagi untuk membuat pertahanan. Dengan perlahan, Renjani melonggarkan sepatu yang di pakai. Terasa lega karena luka tersebut tak lagi bergesekkan dengan sepatu yang sempit.
Sudah dikatakan kalau cuaca kala itu mendung, bahkan Matahari pun bersembunyi dibalik segerombolan awan, tapi kenapa wajah Renjani terasa sangat panas bak tersengat sinar.
Perutnya sekarang seolah-olah dihinggapi oleh beribu kupu-kupu cantik takkala Radit dengan telaten menutupi luka Renjani menggunakan hansaplast. Sangat hati-hati sekali geraknya, bahkan alis Radit mengekut saking ia teliti nya.
Renjani membungkam rapat mulutnya, tapi mata nya terfokus pada Radit yang saat ini masih disibukkan dengan hansaplast.
"Lo tuh kenapa gak ngomong dari tadi kalo luka. Kan bisa minta gue beliin keluar." Omel Radit yang sudah selesai dengan kedua kaki Renjani. Hansaplast yang masih tersisa di dalam kantong, langsung Radit kasih ke Renjani, "Simpen. Siapa tau nanti butuh."
"Iya, makasih."
Belum selesai dengan itu, Radit tiba-tiba saja membuka sneakers yang ia kenakan.
"Lo ngapain?" Renjani bertanya bingung.
Sepatu sempit milik Renjani disingkirkan begitu saja oleh Radit. Pemuda itu memasangkan kedua sepatu miliknya sebagai alas kaki Renjani sekarang.
"Dit.." Hari ini, perasaan Renjani sukses di buat babak belur oleh oknum bernama Raditya Pradipta. Dirinya bahkan tak diberi jeda untuk bernafas dengan lega.
"Udah, pake aja." Seakan tau apa yang akan dibicarakan Renjani, Radit langsung memotong. Tangannya bergerak lincah mengikat tali sepatu itu.
"Terus lo gimana? Nyeker kayak ayam?"
"Gue mah gampang." Balas Radit. Ia kembali berdiri setelah selesai dengan semuanya. "Yang penting lo dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Neighbor | Junkyu Lia
FanfictionRenjani tak pernah menyangka kalau perpindahan nya untuk melanjutkan pendidikan justru mempertemukan nya dengan Raditya, tetangga depan rumah yang ternyata satu kampus dengannya.