[21]: Everything is just beginning.

723 64 17
                                    

"Dit, bangun Dit." Ibu sudah beberapa kali mencoba membangunkan Radit. Entah jam berapa anak nya itu semalam tertidur, yang jelas ketika Ibu terbangun di jam dua pagi, suara Radit masih terdengar hingga kedapur.

Radit menggeliat di atas kasur, mata nya masih terpejam, tak menghiraukan usaha Ibu untuk membangunkannya. Selimut pun kembali ia tarik untuk menutupi setengah badan.

"Dit, yaampun." Ibu sudah habis kesabaran. Dari jam tujuh pagi tadi sampai hampir jam delapan, Radit tak kunjung bangun juga.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Ibu membangunkan Radit lebih awal. Sekitar pagi sebelum matahari terbit tadi, Renjani sempat mengabari kalau dirinya sudah di perjalanan pulang. Ibu pikir, Radit akan bersiap-siap menyambut kedatangan Renjani.

Tapi kayaknya boro-boro, toh suara Renjani aja udah kedengeran manggil dari luar.

"Yowes lah." Ibu menyerah, memilih untuk membuka kan pintu dan meninggalkan Radit yang masih tertidur di dalam.

Ketika pintu terbuka, Renjani sudah berdiri dengan senyuman manis serta bingkisan yang sudah berada di tangan. "Selamat pagi Bu."

Ibu merengkuh Renjani seperti anak sendiri. Diusapnya halus punggung si gadis, "Apa kabar kamu nak?" Pertanyaan pertama yang di lontarkan seolah mereka sudah berpisah sangat lama.

"Renjani baik Bu. Ibu apa kabar?"

Ibu merenggangkan pelukan, beralih menangkup wajah kecil Renjani, "Ibu kangen banget. Biasanya kalo malem minggu kamu ada di rumah Ibu. Semalem Ibu kesepian."

"Ah Ibu bisa aja." Renjani tersipu malu, "Jani juga kangen Ibu tau. Makanya pagi-pagi Jani udah pulang."

"Kamu beneran kangen Ibu atau kangen anak Ibu?" Ibu tertawa. Haduh, hubungan anak jaman sekarang selalu mengingatkannya pada masa muda dahulu.

Renjani tak bisa mengelak. Selain ia memang merindukan Ibu, tapi Raditlah tetap menjadi alasan kuat untuk dirinya pulang sangat pagi. "Oh iya, mama tadi nitipin bingkisan buat Ibu. Terus beliau juga minta maaf karena belum sempet mampir kesini."

Tangan Renjani mengulurkan bingkisan yang dari tadi di pegangnya kepada Ibu. "Ya ampun, padahal gak usah repot-repot." Balas Ibu, "Tolong sampein sama Mama kamu makasih ya. Maaf juga Ibu belum sempet ngehubungin, nanti agak siangan Ibu telpon deh."

"Oh iya, kamu kesini mau ketemu Radit kan? Kebetulan banget dia dari tadi susah di bangunin. Semalem Ibu denger sekitar jam 2 pagi dia masih bangun, gak tau deh ngapain."

Seketika Renjani merasa tak enak. Pasalnya mereka semalam melakukan panggilan sampai jam 3 pagi. Jadi mungkin Radit baru tertidur sekira nya 5 atau 6  jam.

"Anu Bu–Semalem itu Renjani telponan sama Radit sampe jam 3, jadi kayaknya Radit baru tidur deh. Renjani nanti balik lagi aja kesini."

Ibu mengangguk paham. Pantas saja Radit tumben sekali tidur larut. "Kalo kalian baru selesai telponan jam 3, kamu tidurnya berapa jam toh?"

"Dua jam kayaknya Bu." Renjani sendiri tidak yakin. Rasa kantuk itu bahkan masih tetap ada sampai pagi, di guyur dengan air pun tak mempan.

"Astaga Jani. Kamu itu nanti sakit loh kalo kurang tidur. Udah, kamu pulang dulu terus tidur ya. Itu kantung mata kamu itu–yaampun. Kamar kamu udah di beresin? Mau Ibu bantu beresin gak? Atau kamu mau tidur dulu aja di kamar Ibu? Tenang aja, Ayah udah pergi kok barusan banget." Ibu betul-betul merawat Renjani seolah ia adalah anaknya sendiri.

"Eh gapapa Bu. Renjani tidur di rumah aja." Renjani menolak secara halus. Gak enak juga padahal ada rumah sendiri tapi numpang tidur di rumah orang lain walau cuma beberapa jam, "Tapi Bu.. Kalo Radit udah bangun, tolong bilangin Renjani tadi cari dia ya."

Hello, Neighbor | Junkyu LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang