Love Command ( Bab 21 )

587 9 0
                                    

Keangkuhan hanyalah sepi. Dari jiwa yang bergaung sendiri lalu teronggok mati. Terkamuflase langkah percaya diri dan dagu yang terangkat tinggi.*Patton menatapi layar lampu lalu lintas di depannya, ikut menghitung mundur angka-angka berwarna merah menyala itu dalam hati.Seraya mengetuk setir mobil dengan tidak sabar, Patton melirik Swatch di pergelangan tangannya, menahan keinginan untuk segera menginjak pedal gas di bawah kaki kirinya. Ia merapal doa agar hitungan di hadapannya bergerak lebih cepat lalu mendengus sebal. Tampaknya hari ini ia harus berlatih menyabarkan diri sebelum disambut repetan tak henti –lagi- dari bibir mungil gadis yang akan dijemputnya.Setelah angka-angka di depan sana bergradasi menjadi warna hijau, Patton segera melajukan mobilnya. Volvo hitam mengilap itu menyalip lincah di antara kendaraan lain yang bergerak lebih lambat, hingga akhirnya berbelok di pertigaan dan kini memasuki gerbang tinggi sebuah institusi menengah atas yang ber-plang Season High.Patton menggerakkan setirnya pelan melewati pelataran parkir dan akhirnya berhenti di depan sesosok gadis yang sedang menunduk dengan bahu yang terkulai lemah. Tunggu .. menunduk ? dengan bahu terkulai lemah ? Bukankah seharusnya Patton disambut dengan dagu yang terangkat tinggi dan delikan mata setajam golok ? Kalau meniru lagu Peterpan yang sempat booming dulu sih : Ada apa denganmu ?Patton mengerutkan kening, lalu memutuskan untuk melakukan tes sensitifitas (maksudnya tes untuk orang sensitive, hasil cetusan aneh otaknya sendiri) saat melihat Keke mengangkat wajah sebentar dan memandanginya melalui kaca dengan wajah aneh. Tiba-tiba merasa tak keberatan untuk dicereweti nantinya (yang tampaknya agak mustahil melihat sikap Keke sekarang), pemuda itu mulai menekan klakson berturut-turut dengan aksen tak sabar.Lagi-lagi, Patton mengira seharusnya ia mendapat reaksi kerucutan tajam bibir, hentakkan kesal kaki dan bantingan keras di pintu mobilnya. Namun nyatanya Keke dengan langkah gontai memasuki mobilnya, duduk diam, dan terus menunduk dalam dalam. Wajah gadis itu seakan-akan menunjukkan bahwa ia sedang menanggung dosa seluruh umat manusia di pundaknya.

"Ehm." Dehem Patton."Eh..." Jawab Keke singkat, sepintas melirik ke arah Patton, seakan baru menyadari kehadirannya.Patton menatapi gadis di sebelahnya lekat-lekat dan menyadari ada yang berbeda disana. Efek ini terlihat bukan karena pulasan tipis make-up Keke yang sudah tidak terselamatkan dari keringat hingga membuat anak anak rambut menempel dan membentuk bingkai di tulang rahang gadis itu.Tapi karena ada raut arogan yang tak dijumpainya. Entah kenapa, Patton merasa Keke terlihat lebih manis dengan paras juteknya dan tak ada tanda-tanda kemana ekspresi khas itu menghilang.Setelah Patton utnuk kesekian kalinya mendengar lengosan pelan, barulah ia menyadari atmosfir lain yang juga dibawa gadis itu. Mungkinkah Keke sedang merasa ... resah ? Patton tak tahan untuk bertanya."Lo kenapa sih ?" Tanya Patton akhirnya, yang hanya dijawab Keke dengan mengangkat bahu."Marah sama gue ?" tanyanya lagi, kali ini Keke menggeleng lalu menatap Patton sedikit kesal "Jalan aja kenapa sih ?" cetusnya."Ga .. sampe lo mau cerita. Gue ga mau ngangkut ngangkut orang stress." ucap Patton.Keke mendelik "Gue ga stress.""Nah terus kenapa muka lo ditekuk begitu ? Lecek banget kayak anak korban tsunami kehilangan bapak-emaknya." Kata Patton asal.Tiba-tiba Keke mengosongkan matanya, menerawang "Lebih enak kali ya jadi anak korban tsunami. Paling nggak gue tau bokap nyokap gue beneran ilang ditelan ombak. Bukannya ilang-ilangin diri terus ga peduli sama anaknya.""Hus. Apaan sih lo, Ke .. Pamali ngomong kayak gitu soal orangtua.""Pamali kek Bumali kek. Emang gue peduli ? Orangtua aja ga peduli sama gue." Kata Keke sambil menarik salah satu ujung bibirnya ke atas dengan sinis.Patton menaruh telapktangannya di puncak kepala Keke lalu memutarnya hingga kini gadis itu memandangnya. "Ck. Kenapa sih lo ? Cerita aja sini sama gue. Lo tahu ga pasien di rumah sakit jiwa tuh makin banyak gara-garanya kayak begini, mendem masalah sendiri."Entah karena raut Patton saat itu benar-benar terlihat prihatin atau mungkin karena Keke merasa nyaman saat terperangkap dalam kilatan mata tenang yang ditatapinya, gadis itu pun membuka mulutnya."Jadi .."*Pagi tadi [Jakarta, Pk 06.30 (GMT +7). Argentina, Pk 20.30 (GMT – 3)]Gadis itu menunggu sambungan internasional di ponselnya dengan tidak sabar. Telunjuknya menelusuri bentuk abstrak yang terpola di lengan sofa tempatnya duduk sambil mendesah. Ia membersihkan tenggorokannya tepat saat sebuah suara bass menyapanya."Yes. Elbert speaking."Keke tersenyum sejenak lalu menjawab cepat "Halo Papi ? Ini Keke .."Suara bass disana menanggapi pelan "Sebentar." Keke mendengar lelaki itu sayup berkata, tidak kepadanya "Desole. Ma fille etait sur le telephone. Attendez une minute. Merci." (Maaf. Putri saya menelepon. Mohon tunggu sebentar. Terimakasih.)(FYI, Argentina adalah negara berbahasa Spanyol. Tapi bahasa Prancis, Itali, Inggris dan Jerman juga fasih digunakan penduduknya. Mengingat letak geografis Argentina yang diapit oleh negara –negara lain yang menggunakan keempat bahasa tadi.)Tak berapa lama, dengan perasaan senang dan rindu membuncah di dadanya Keke mendengar ketukan langkah samar dari ujung ponselnya. "Oui. Key ? (Ya, key ?) Tanya laki-laki itu tak sabar "Papi ga bisa ninggalin meeting lama-lama."Senyum Keke lenyap seketika, ia bertanya lagi "Papi dimana ? Masih di Argentina ?" Keke mencoab peruntungannya, berusaha memulai percakapan ringan dengan Papinya. Berharap mendapat tanggapan positif dari pertanyaan klisenya.Tapi ternyata jawaban yang didapatnya hanyalah dengusan pelan "Nak. Kamu ga telepon Papi Cuma buat nanya itu kan ? Can't you talk straight to the point, dear ?" Keke memenjamkan matanya pelan, lalu melengos. Ternyata dia memang tidak bisa berbasa-basi dengan Papinya sendiri. Papi, Papa, Ayah atau apapun sebutan lainnya. Kata-kata yang terasa makin tak bermakna, karena di matanya sosok itu kini sudah berubah menjadi pria yang kian hari kian tak dikenalnya. Pria pemilik belasan perusahaan bertitel Pangemanan Co & Ltd, yang tak mempunyai setitik pun waktu dan pengertian untuk anak gadisnya yang sedang beranjak dewasa.Jarak kasatmata dua benua (mengingat beliau sekarang sedang berusaha melebarkan sayap bisnis di daerah Traffic Conference I, benua Amerika dan wilayah Kanada) semakin mengukuhkan hubungan orangtua-anak mereka yang memang sudah bersekat keasingan stadium parah.Suara bass itu bertukas makin tak sabar "Key, I still have ten slides to be presented along the rest of this meeting. Project ini penting banget, Key."Oh ya, jelas. Keke tersenyum getir, bagaimana dia bisa lupa ? Untuk pria ini, meeting-meeting itu pasti jauh lebih penting daripada anaknya sendiri.Keke meneguk ludahnya yang terasa pahit, lalu meluncurkan maksudnya, maksud yang sudah dipersiapkannya baik-baik. "Mami ga bisa dating ke POMG akhir minggu ini, soalnya mau pergi sama tante Tasya ke HongKong," Keke mendesah, menyebut sosok orangtua lain yang sama tidak berfungsinya "Papi bisa, please ?"Bahkan sebelum kata tanya terakhir itu meluncur dari ujung lidahnya, Keke sudah tahu apa jawaban yang akan diberikan Papinya.Kenyataannya, Keke membatin miris, Ia hanya mencari-cari alasan menelepon (alasan yang didapatnya dari email pemberitahuan POMG oleh Principal di milis grup Sekolah yang masuk kemarin malam) untuk mendengar suara dari sosok yang sangat ia butuhkan. Utnuk sejenak meyakinkan dirinya sendiri bahwa Pria yang sedari kecil dipanggilanya 'Papi' itu masih hidup dan benar-benar terikat pertalian darah dengannya.Sekali lagi, Keke bisa mendengar helaan nafas Papinya. "Kamu serius tanyain itu sama Papi ? Ga ada seharipun jadwal Papi free minggu ini. Suruh ajalah Principalmu itu sesuaiin jadwal Papi. Kalo minggu depan, mungkin Papi bisa nyempetin kesitu baru ke Genting."Sebelum Keke sempat menyanggah, pria itu sudah menyambar lagi "Kalo Principalmu ga bisa, ya Papi juga ga bisa. Dia ga tau apa orang lain juga punya kesibukan. Ya ampun .. Papi harus kembali meeting nih. Akhir minggu nanti Papi beliin Swarovski Ericson Beamon yang kamu mau itu deh, sebagai ganti Papi ga bisa dateng. Oke ? au revoir, belle .." Klik.Keke menurunkan ponselnya tidak percaya. Nada sambung membosankan di speaker ponselnya menyatakan dengan resmi bahwa hubungan internasionalnya sudah tidak tersambung lagi.*"Terus gue mikir. Oh oke .. jadi Cuma segitu aja percakapan gue sama bokap ? Ga ada remeh temehnya. Padahal gue udah ga ketemu dia setengah tahunan loh. Bener." Patton mengangguk simpatik, yakin bahwa Keke tidak melebih-lebihkan."Terus dia mau kasih gue apa ? Swarovski ? emang sih gue lagi pengen itu. Tapi ... emang itu Swarovski bisa ngomong, jalan terus ngehadirin POMG ? Engga kan ?" Keke mendesah lalu menunduk, namun tiba-tiba menepuk pipinya sendiri."Ah, tahu ah. Udah biasa ini." Keke tertawa sarkatisPatton mengerutkan kedua alisnya hingga bertaut, sambil memandangi Keke dengan heran "Kalo udah biasa kenapa lo sedih begini ?"Keke melirik Patton sepintas "Gue ga sedih." Katanya lalu kembali menunduk.Patton mengangkat alis saat Keke menoleh pelan ke arahnya lagi. Mungkin karena Keke merasa pandangan Patton amat mendakwanya, ia mulai memainkan jarinya dengan gelisah "Emang sih .. kali ini berasa .. sedikit kosong aja .. Ah gatau deh kan udah gue bilang udah biasa. Kenapa jadi mellow gini deh..""Terus biasanya lo ngapain kalo lagi .." Patton berfikir sejenak, berusaha mencari substitusi kata 'sedih'"aneh begini ?" Patton tahu sedih dan aneh bukan sinonim. Ya biarlah, yang penting Keke menangkap maksudnya.Keke mengangkat bahu pelan "Paling gue belanja atau .." Keke mengetuk-ngetuk dagunya "atau mecatin orang kali ya .. biasanya juga ngerasa biasa lagi .. yaaaa nanti paling pulang ke rumah gue mecat siapa kek .. terus gue bakal baik lagi, iya kan ?" Tanya Keke, terdengar berusaha menyakinkan dirinya sendiri.Keke baru menyadari kata-katanya terdengar dangkal. Ia melirik Patton dengan ekor mata, tak lama memutar kepalanya ke arah pemuda itu kemudian menunduk lagi. Ia tak suka ditatapi seperti itu. Mata Patton seakan meneriakkan kata 'iba' untuk dirinya.Keke mengangkat dagunya, yakin bahwa Seorang Gabriel Angeline Thaita Pangemanan tidak butuh dikasihani. Ia mulai memutar otak untuk mengubah topic pembicaraan.Keke berdehem "Emm. Kemaren gue abis ngomong sama Shilla." Katanya.Berhasil. Patton kini Nampak terkejut "Oh ya ? lo ngapain ? minta maaf ?"Keke memutar bola matanya. Please deh, Patton ini merendahkan martabatnya sekali. "Minta maaf ? ngapain ? gue kasih omongan yang lebih penting dari itu. Namanya sa-ran.""Oh. Yang soal dia jauh-jauhan sama Rio itu ? Emang kenapa sih masalahnya ?"Keke memuntir-muntir rambutnya "Gue juga ga ngerti sih. Intinya gini. Lo tahu Ka Gabriel kan ?""Oh. Abangnya Rio yang dulu si Shilla suka itu kan ?" kata Patton mengingat-ingat cerita Shilla.Keke mengerutkan kening "Ga tau deh. Maksudnya gue ga tahu dulu perasaan Shilla sama si ka Gabriel itu gimana. Pokoknya, begitu ka Gabriel pulang .. dueeeer .. tiba-tiba Shilla punya perasaan buat dia, terus Shilla sempet berdua-duaan gitu kan sama Ka Gabriel terus Rio liat." Keke menarik nafas sebentar "Terus entah kenapa Shilla ngejauhin Rio. Ga mau bikin Rio sakit hati sih katanya. Teruuus sekarang dia itu lagi bingung mau milih siapa antara Ka Gabriel sama Rio. Gitu."Patton Cuma menggangguk mendengar cerocosan Keke. Lalu tiba-tiba tak menyangka gadis itu memberi epilog lagi."Menurut gue si Shilla ngeribetin diri sendiri deh. Emang susah gitu ya ? kan tinggal milih doang. Kalo gue yang disuruh pilih sih, gue pilih aja yang paling sayang sama gue. Ngapain harepin yang ga pasti. Iya kan ?"Dua ketidakmengertian (dan ke-soktahuan) ini mau tak mau semakin meneguhkan persepsi Patton soal Keke (terutama pertanyaan pertama yang menyerupai penyangkalan diri sendiri dan terdengar agak menyedihkan). Gadis ini pintar sekali untuk jadi penjahat, tapi tampaknya bodoh setengah mati soal urusan hati. Gadis ini nyatanya , meskipun disangkalnya berulang kali,memang kesepian. Dan entah kenapa, Patton merasa bertanggung jawab untuk membantu menjelaskan apa yang tidak dimengerti oleh gadis ini."Mau tahu pendapat gue ?" Tanya Patton serius, membuat Keke mengangguk samar."Nanti gue kasih tahu. Tapi lo ikut gue bentar ya ?""Kemana ?"Keke tak menunggu jawaban Patton lagi, karena untuknya pandangan teduh pemuda itu sudah mengatakan bahwa ia bisa membuat segalanya baik-baik saja. Dan tak ada lagi yang diingini Keke selain hal itu sekarang ini. Segalanya harus baik-baik saja.



Love Command ( repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang