Love Command ( Bab 22 )

720 10 0
                                    

  

Teman-teman maaf ada preambul dikit, hehe. Mungkin karena otak gue lagi agak miring jadi part ini agak aneh dan scene *lukatapilem* nya loncat-loncat. FYI, kalo ada batesan '**' itu berarti di bawahnya flashback, kalo '*' itu berarti masa kini *halah* Got it ? Got it ? ihopeso .. enjoy (if you can) :P*



Kelabatan bayangan itu memburu di otaknya, melucuti nafasnya hingga tersengal. Untuk alasan yang kabur dan samar, ia tak mementingkan apapun selain terus berlari, mengejar.Dan lagi-lagi hujan, menguarkan aroma kenangan itu tanpa sungkan. Turut mengoyak apa yang pernah terbawa dalam mega keabuan : Kebenaran bahwa ternyata hatinya sudah terikat dan terbawa oleh harum memabukkan sebuah rengkuhan. Dekapan yang tampaknya ia takkan pernah sanggup kehilangan.Matanya menelanjangi bangun tinggi coklat tua dengan cahaya kilat yang tersemburat, menyambar setiap serat. Diiringi memoar hujan yang terus merambat, ia melantun doa lamat-lamat. Tuhan, semoga semuanya belum terlambat.**Tiga hal yang membuat Shilla yakin bahwa dia bukan Columbus :Satu. Columbus laki-laki, berkebangsaan Itali dan berumur 560 tahun (diasumsikan beliau masih hidup). Sementara Shilla -terakhir kali dirinya mengecek- masih wanita, jelas-jelas bangga menyatakan diri berkewarganegaraan Indonesia dan baru saja merayakan ulang tahun ketujuh belas. (tujuhbelas betulan bukan bohongan memangnya dia mengidap penyakit Hypopitutarism bak Esther di film Orphan)Dua. Columbus adalah pelayar yang gemar menjelajah samudera, lalu menemukan sebuah dataran luas dan menamainya benua Amerika. Sedangkan dirinya hanya pelayan yang sudah menyelesaikan pekerjaan di akhir minggu, iseng-iseng mengekspedisi lantai tiga kediaman majikannya dan akhirnya memutuskan menjelajah ke sebuah ruangan besar berkubah kuno seumpama kapel dengan rak-rak buku tinggi menjulang yang telah dijuduli ahli bahasa sebagai Perpustakaan. Dia tak perlu repot-repot mencari nama.Tiga. Shilla yakin Columbus takkan pernah repot-repot menghentikan vakansinya hanya karena melihat sosok tampan –yang sedang duduk tenang sembari menekuni sebuah bundelan perkamen kecoklatan seukuran coffee-table book dan menyesap sesuatu yang mengepul dalam cangkir- di tengah eksplorasinya.Bunyi ketukan teredam, yang timbul saat pantat cangkir beradu dengan permukaan meja kayu mahogany di pojok ruang perpustakaan itu membuat Shilla tertampar dan tersadar dari keterpanaannya.Gadis itu meneguk ludah lalu memutuskan berjingkat mundur, menutupi diri dengan barisan rak buku-buku filosofi di dekat situ, sebelum sosok lain disana menyadari keberadaannya.Shilla beru saja berbalik dan bersiap mengambil ancang-ancang untuk pergi menjauh saat ia menangkap suarayang menggetarkan pendengarannya."Sebentar, Shilla .."Shilla baru menyadari, sosok itu bahkan belum mengangkat wajah dari bundelan di hadapannya.*Ia mengusap kepalanya yang terbentur pintu tingkap dengan sebelah tangan, meringis pelan lalu melayangkan tangannya kembali ke sisi tangga tali reyot yang bergoyang lemah dan mulai licin dipelumasi hujan.Ia menarik nafas, menyerapi wangi tanah basah dan harum tanaman hydrangea yang mengusik indra penciumannya lalu mengacungkan satu tangannya lagi ke atas untuk meraba serta menggeser pelan bukaan pintu yang tadi meninju puncak kepalanya tanpa ampun.Garis bawah matanya kini melintang sejajar dengan lantai bangunan. Ia mengerjap sekali lalu memicingkan mata, namun yang ditangkap fokusnya hanyalah guratan coklat dan semburat oranye kemerahan yang bergerak-gerak tak tenang.Setelah meniti satu anak tangga lagi hingga kepalanya sudah tersembul semua, ia menumpukan kedua telapak tangannya di dua sisi sebelah rongga pintu. Agak tak sabar mendorong tubuhnya, setengah melompat ke atas hingga bagian bawah tubhnya kini menjejak salah satu sisi lantai.Ia merapikan anak rambut yang menempel di wajahnya akibat rekatan hujan, lalu berusaha memperjelas penglihatannya. Semburat oranye yang sedari tadi bergerak itu ternyata adalah nyala dari perapian listrik yang terus meretih gelisah.**Tiga cangkir putih mengepul itu berjajar di permukaan kayu mahogany, masing-masing menyurukkan harum asing yan berbeda namun hampir serupa.Pemuda di sisi lain meja menyorongkan dua cangkir mendekat ke hadapan Shilla, menggelitik penciuman gadis itu untuk menghidu tiap-tiap aroma yang bergolak terbawa udara."Yang mana ?" Tanya pemuda itu pelan.Shilla membenahi posisi duduknya dengan gelisah, tak lama mengangkat wajah sesaat setelah mendengar pertanyaan itu lalu menunduk lagi. Sedikit kalut, takut dirinya tenggelam karena aliran tenang mata itu untuk kesekian kali. Shilla menyerapahi debaran pelan di dadanya dalam hati."Yang mana yang mau kamu minum ? Yang menarik penciumanmu ? Jangan takut begitu. Ini cuma teh, bukan bubuk mesiu .." Gabriel memerinci pertanyaannya kali ini, masih dengan senyum ramah tersungging di bibirnya.Shilla mendesah pelan. Bingung kenapa dia bisa berada di kondisi seperti ini, bersama salah satu sosok yang sedang dihindarinya pula.Shilla berdeham salah tingkah lalu menarik kepalanya mendekat ke arah dua cangkir putih terdepan tandi. Reflek, hidung gadis itu mulai mengendus, mengikuti instingnya.Gabriel mengangkat sebelah alis saat melihat gadis di hadapannya menerka pilihan. Ia tidak begitu terkejut saat Shilla mendorong salah satu cangkir lebih dekat. Jawabannya."Ini ... boleh diminum ?" Tanya Shilla polos. Memandangi Gabriel dengan mata bulat membesar.Gabriel tersenyum lalu mengangguk.Shilla baru saja mendekatkan bibir cangkir ke mulutnya saat tiba-tiba Gabriel menahannya dan berkata"Eh, sebentar. Lebih baik kamu coba dulu yang ini."Pemuda itu mengangsurkan cangkir yang tadi tak dipilihnya.*Ia berdiri, merapikan bagian belakang pakaiannya lalu berjingkat pelan, gemerisik langkahnya tersamar oleh nyanyian hujan yang merintiki atap dari luar.Pupil matanya membesar seiring format keabuan yang disuguhkan. Karena nyala perapian ternyata tidak begitu membantu pencahayaan. Ia berjalan meraba-raba apa yang dirasanya adalah dinding dan menghela nafas lega saat menemukan tonjolan yang diterkanya sebagai saklar.Trek .. Flash .. Flash .. Flash ..Mulutnya tak bisa berhenti melebar saat kilat-kilat buatan di hadapannya susul-menyusul menyala. Ia ternganga.Itu aurora, cahaya jingga keunguan bak langit kutub utara. Terkonversi dalam bentuk galeri kotak kotak kaca.**"Kamu ... betul-betul berencana menghabiskan teh itu sekaligus cagkir-cangkirnya ya ?"Shilla mengangkat kepala dengan tampang super 'pilon' saat mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba menurunkan cangkir yang sedari tadi ditiupi dan direguknya dengan semangat '45. merasa agak malu, pasti ia kelihatan rakus sekali deh, hingga Gabriel berucap dengan nada geli seperti itu.Gabriel menelusuri pinggir halaman bundel yang sedang dibacanya, melontarkan senyum simpul yang nampak sudah terikat mati di wajahnya pada Shilla "mau dihabisin juga gapapa sih .. Tapi kan masih ada ini .."Pemuda itu kini mendorong cangkir lain, cangkir yang sebelumnya dipilih Shilla."Oh," Shilla berujar sedikit kecewa. Ia mulai menggeser cangkir yang baru diminumnya –cangkir pertama-, agak tidak rela sebenarnya, sebab ternyata cangkir yang tak dipilihnya itu berisi teh –yang walau agak asing,namun- bercitarasa sedikit manis tanpa gula.Gabriel memperhatikan Shilla agak ragu mengangkat cangkir kedua, lalu tertawa kecil saat gadis itu menyesapnya dan seketika menjulurkan lidah."Pahit," komentar Shilla sambil mengernyit, tiba-tiba agak menyesal memilih cangkir ini tadi.Gabriel mengangguk pelan menyetujui pendapat Shilla, lalu tiba-tiba berdeham, berusaha menyambar mata gadis di hadapannya "Kalo saya boleh tahu ... kenapa kamu milih cangkir itu tadi ?"Shilla menunduk, mengalihkan tumbukan matanya dari dua telaga milik Gabriel. Sambil berusaha berpikir keras, ia memandang dua cangkir yang baru diminumnya bergantian."Karena aroma cangkir ini.." Shilla menunjuk cangkir kedua itu –yang tadi dipilihnya "agak familier dan terasa ... hangat tapi .. entahlah .." Shilla kini memainkan jarinya di kuping cangkir pertama, bimbang."Jadi," Gabriel memotong ucapan Shilla, memulai kuisnya lagi "Kamu berubah pikiran ? Sekarang kamu lebih pilih yang mana ?"Keraguan Shilla terlihat lebih jelas dari air mukanya "Cangkir tadi memang tercium lebih familier, tapi cangkir ini .." Shilla menelusuri bibir cangkir pertama dengan telunjuknya "punya rasa yang lebih manis, jadi ..."Lagi-lagi Gabriel menyambar ucapan Shilla yang belum selesai "Kenapa .. kamu jadi bingung ?" Gabriel mengangkat sebelah alis saat Shilla menatapnya "Kenapa kamu harus menganulir pilihanmu sendiri hanya karena .. sekecap rasa ?"Shilla tersentak, menyadari pertanyaan retoris yang dilontarkan Gabriel bukan hanya menyangkut cairan pekat di hadapan mereka berdua.*When I was younger, I saw my daddy cry

Love Command ( repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang