Love Command ( Bab 23 )

774 16 0
                                    

Seseorang dari masa lalu itu datang, tanpa diundang. Membuat rasa yang kini ada perlahan meradang. Dan pemilik kepingan hati itu pun bimbang.*Ada sesuatu yang berbeda. Cukup signifikan, namun belum terasa. Bagi Rio setidaknya.Ternyata potongan coklat Hershey's itu hanyalah permulaan. Permulaan yang meluluhlantakan kokohnya gerbang penutup masa lalu Rio dengan jala tak kasatmata. Seperti tetesan air lemah yang mulai merembesi karang dan membuatnya berlubang, perlahan. Seakan tanpa maksud atau pesan.Pelbagai bingkisan harian kecil lain menghujani dan membuat jantung serta perut Rio tergelitik oleh nostalgia setiap kali membukanya. Seperti pagi ini, Rio bangun pagi-pagi buta, tak sabar membuka pintu kamarnya yang pasti diketuk oleh orang yang sama di jam yang sama, untuk membawakan kotak berbeda.Pemuda itu melirik jam digital di sebelah tempat tidurnya. Berharap kedua jarum disana bergerak lebih cepat hingga berhenti di angka-angka serupa. 5.25.Sepuluh menit .. Lima menit .. Dua menit .. Satu menit ..Rio mengetuk-ngtuk bagian atas jam tadi, meghitung mundur dari angka enam puluh. Ternyata baru mengeja angka dua, pintu kamar yang sedari tadi diliriknya sudah berbunyi.Rio menuruni undakan tak sabar, lalu membuka pintu dan tersenyum cerah melihat pelayan berkacamata –yang sejak awal menjadi pengantar kotak coklat Hershey's- itu membungkuk pelan, mengucapkan salam lalu mengangsurkan sebuah kotak –yang kali ini berwarna- hijau muda."Terimakasih," ucap Rio berbunga-bunga, tak lama berlalu untuk menutup pintu lalu tiba-tiba membukanya lagi. Ia lupa memberi pesan yang sebenarnya sudah ia katakan setiap hari."Hei, tolong jangan sampai Shilla tahu ya," pinta Rio sekilas, menunggu anggukan pelayan yang sudah hampir berbalik badan tadi."Baik, Tuan."Rio mengangguk, menutup pintu, menaiki undakan dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia menimang kotak di tangannya, perlahan menarik nafas. Rio memandangi kotak itu dengan perasaan tak karuan,sungguh ingin segera membuka kenangan yang sedang tergenggam di ruas-ruas jemarinya.Kelakuan pemuda itu sekarang persis anak kecil yang senang sekaligus tak sabar melihat isi tersembunyi di dalam bingkisan hasil acara tukar-menukar kado, namun dipaksa untuk tidak membukanya hingga sampai di rumah.Rio mengurai ikatan putih di permukaan kotak lalu menahan nafas sekilas saat mengangkat tutupnya. Sebuah jepit kecil dengan aksen beruang merah-hitam tergeletak disana, membuiat Rio tersenyum tertahan.Ia merogoh dasar kotak dan mendapati sebuah kartu yang –juga- berwarna hijau muda, ditulis dengan huruf-huruf rapi jali lagi.'Kamu ingat ? Ini hadiah dari kamu untuk ulangtahunku waktu kita kelas satu :) Kamu berkeras mengatakan kamu yang pergi ke dept. store dan memilhnya sendiri (Walau aku tahu pasti kamu ditemani Bi Okky). Pasangan lain jepit ini masih ada di accessories box-ku, tolong simpan yang ini sampai aku mengambilnya lagi. M'Tapi kapan gadis itu akan mengambilnya kemari ? Ah, haruskah Rio membeku kembali dalam penantian tak pasti ? Namun paling tidak Rio tahu bahwa masa lalu indah itu akan menyapa lagi.Rio menyunggingkan senyum girang yang langsung pupus seketika. Menyadari ada yang salah. Tanpa sadar, ia baru saja mengingkari janji untuk menggembok rapat-rapat kenangan cinta pertamanya. Mengingkari satu-satunya gadis dalam jangkauannya kini, yang sementara sudah tercap miliknya.Pemuda itu terdiam, merasa bimbang karena sebelumnya tak pernah dihadapkan pada hal bernama dilemma. Dilemma soal kisah cinta pula. Hidup Rio yang selama ini notabene terlalu kekeringan hal indah itu, jelas tak pernah menjebaknya dalam situasi dimana ia harus memilih antara dua sosok yang menempati hatinya. Sosok mana yang berpijar paling kuat disana. Rio tak mampu merabanya.Rio menghela nafas. Sebetulnya –tentu saja- merasa bersalah merahasiakan hal ini dari gadisnya. Tapi entahlah, ia merasa bingkisan-bingkisan ini pun bukanlah sesuatu yang tepat untuk diceritakan pada Shilla."Hhhh," Rio mendesah pelan lagi, lalu membanting tubuhnya ke belakang , mengangkat jepit mungil di tangannya tinggi-tinggi. Ia –tanpa sadar- menikmati perasaan senang bercampur waswas dan resah yang mengusik hatinya setiap pagi.Mungkin beginilah rasanya 'selingkuh'. Debaran bernada pengkhianatan yang mematikan sekaligus terkadang dapat membuat seseorang kecanduan. Walau menurut Rio, dirinya toh hanya menyelingkuhi benda mati lewat kotak-kotak ini. Atau penyangkalan paling maksimal dari otaknya, ia hanya menyelingkuhi nostalgia.Rio tak salah bukan ? Walau toh akhirnya hanya satu yang bisa didekapnya nanti, tak apa-apa untuk sesaat jika ia memilih masa lalu dan masa depan bersamaan kan ? Karena toh memaksa pun, ia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari dilemma ini. Ya, biarlah begitu untuk sementara, putus Rio untuk dirinya sendiri.Pemuda itu bangun dari posisinya, memasukkan jepit kecil tersebut ke kotak tadi dan mulai bergerak untuk menyembunyikan rangkai kenangan keempat itu di laci meja komputernya yang terkunci. Diam-diam ikut mengubur kebenaran bahwa hatinya suah terbagi.*Ada sesuatu yang berbeda. Tidak signifikan namun sudah terasa. Bagi Shilla setidaknya.Gadis manis itu berani bertaruh, demi lima ton mangga yang panen setiap tahunnya di kebun mang echa, ada kabut kejanggalan yang sedang merayapi pemuda tampan di sebelahnya, kabut yang entah kapan pasti harus menghantamnya. Hanya saja gadis itu belum berani menerka apa dampak yang akan ditimbulkannya. menata kerikil kah atau malah memporak-porandakan segalanya ?Shilla menghela nafas entah untuk keberapa kali, kembali melirik pelan pemuda yang sedang menggerakkkan setir seraya memandangi jalanan di depan mereka tanpa ekspresi. Gadis itu mendesah lagi."Kamu kenapa ?"Shilla terkesiap pelan saat merasakan setruman pendek menjalari punggung tangannya, ternyata telapak tangan Rio baru mendarat disana, mengusapnya pelan.Gadis itu mengangkat wajah, memandangi senyuman pemuda di sampingnya dan lagi-lagi menarik udara memasuki penciumannya. Itu bukan senyum Rio yang biasa. Bukan senyum yang membuatnya merasa dapat mengarungi samudera. Senyum itu menyembunyikan sejuta kecemasan yang tak terbaca, untuk apa."Aku ? Kenapa ?" Shilla mengerutkan kening saat melempar pertanyaan sarkatis tadi. Ia menarik tangannya dari tumpuan telapak Rio lalu bersedekap "Bukannya kamu yang harusnya ditanya begitu ?"Rio menggerakkan jemarinya yang kini hanya mencengkram udara "Aku kenapa ?" pemuda itu balik bertanya, memindahkan tangannya lagi ke atas tuas gigi sambil memandang gadisnya heran.Shilla menggertakan gigi pelan, membuang pandangan menembus kaca kendaraan lain di luar jendela "Ya udahlah ga usah dijawab,"Ucapan bernada 'mati' dari Shilla tadi membuahkan beberapa menit yang terlewat tanpa suara. Membuat gadis itu mencebik dan mendengus kecewa, betul-betul tak habis pikir hal apa yang baru saja meracuni benak pemuda di sampingnya.Seharusnya ya –secara Shilla hafal benar tabiat tuan muda satu itu- Rio akan meluncurkan rudal kata-kata andalan bernada TAK MAU KALAH (mohon di bold, italic, underline) saat di skak kata-kata cemen beraksen ambekan macam "Ya udahlah ga usah dijawab," oleh Shilla.Sekarang nyatanya ? Pemuda itu diam saja seakan di sebelahnya tak ada siapa-siapa. Shilla melengos tak percaya.Keheningan terus mengambil alih kekuasaaan hingga jaguar Rio berhenti di pelataran parkir Season High. Shilla menoleh sekali lagi. Mendapati Rio masih menjelma jadi patung. Ia menggeleng-gelengkan kepala kesal, membuka seatbelt lalu memutuskan turun terlebih dulu menuju gedung kelasnya.Gadis itu mengambil langkah-langkah panjang. Bersikap masa bodo demgan pemudaNYA yang tak memedulikanNYA. Sejak awal minggu. Sejak hari pertama purna insiden rumah pohon. Indahnya dunia. Batin Shilla sarkatis.Ia merasa tak punya pacar sejak hari senin kemarin. Dikiranya Rio akan sumringah atau bersikap bagaimana gitu setelah Shilla menjawab pilihan hatinya. Bukannya apa-apa, dia kan ingin diperhatikan. Diperhatikan dengan gaya songong ala Rio yang biasa pun tak apa.Shilla berdecak. Ia mengetuk-ngetuk dahi sambil menempelkan student card ke mesin absen. Setelah terdengar bunyi bip dua kali, gadis itu berjalan memasuki elevator sambil tenggelam dalam pikiran yang berkecamuk di batok kepalanya.Entah dia yang terlalu peka atau apa, Shilla merasa Rio emngurangi frekuensi pertemuan mereka secara sepihak akhir akhir ini, padahal ironisnya –tolong catat- mereka tinggal serumah. Shilla merindukan ketukan iseng tak jelas di pintu kamarnya yang dilakukan Rio hanya untuk membuatnya keluar dan marah-marah. Ia pun jadi kepingin sekali mendengar berbagai ejekan kreatif menyakitkan hati dari Rio yang dieksklusifkan untuknya.Semua itu seolah menguap, tidak tahu karena apa. Shilla jadi gemas sendiri, ingin bertanya sekaligus menggucang bahu tegap pemuda yang kerap ditemukannya melamun tak tentu. Shilla rindu kejahilan Rio. Tapi juga sedikit gengsi untuk mendatangi Rio dan mengatakan bahwa ia rindu.Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan Rio hingga setiap kali Shilla mengetuki pintu jati bergambar tengkorak itu akan terdengar bunyi grasa-grusu yang tak nyaman di telinganya. Suara berisik yang menandakan sesuatu yang dirahasiakan. Darinya. Tapi lagi lagi Shilla pun tak tahu bagaimana menanyakannya.Mata Shilla masih menerawang, hingga gadis itu tak sadar elevator sudah membawanya ke lantai tiga."Shil, ga turun ?" Dua orang teman sekelas Shilla, Hilda dan Silvia mencolek bahu gadis itu."Oh," Shilla mengerjap pelan lalu memandangi dua orang tak asing yang sedang menatapinya dengan pandangan heran. Mungkin mereka berdua bertanya-tanya apakah dirinya sedang day-dreaming atau semacamnya, pikir Shilla. Ia pun melangkah keluar elevator sambil tersenyum pada dua orang yang mengikuti langkahnya "Oiya yuk ..""Eh, bytheway kok lo ga bareng Rio sih ?" celetuk Hilda iseng. Shilla bisa melihat Silvia memelototi Hilda sekilas, mungkin mengisyaratkan gadis yang terkenal cukup cablak dan gila di kelas mereka itu untuk tak bertanya yang aneh-aneh.Hilda memeletkan lidahnya tak kentara ke arah Silvia, seakan menyimbolkan 'ye naynya begitu doang sih'.Shilla tersenyum kecil melihat tingkah lucu dua orang di depannya "Aku sama Rio kok .. tapi aku dulan ke atasnya," Diam-diam Shilla menghela nafas lagi."Oh, padahal harusnya pasangan baru itu nempel nempel terus odng kayak am ... adaw .." Hilda manyun saat Silvia menginjak kakinya, tuh kan betul sohibnya ini bertanya macam-macam, kesannya seperti mencampuri rumah tangga orang. Silvia jadi merasa tak enak saat melihat Shilla tersenyum masam."Sorry ya, Shil. Dia emang nih. Gue ajak Hilda ke kelas Acha dulu ya .." Silvia tersenyum sambil menggeret Hilda memasuki salah satu kelas yang mereka lewati sambil memasang tampang 'Aduh-lo-ini-ampun-deh'.Shilla tersenyum sekilas, lalu terdiam. Di benaknya terngiang kalimat asal Hilda tadi. Kalimat yang dimulai dengan kata bernada penuntutan 'Harusnya ..'Shilla mulai berjalan memasuki kelas sambil memrinci daftar keinginan 'harusnya' yang seandainya dapat dia ungkapkan pada Rio sekarang.Harusnya, saat ini Rio sedang melangkah sambil terus menggenggam dan meledekinya macam-macam sepanjang jalan. Harusnya, saat ini Rio sedang melakukan gerakan kecil nan spontan seperti usapan kecil di puncak kepala yang dapat membuat darah berkumpul di pipinya padahal tak ada hajatan disana. Harusnya, saat ini dirinya sedang melele ditatapi bola mata pencair tembaga milik sosok tampan itu. Harusnya, .... Shilla berhenti dan mengernyit di samping bangkunya.Harusnya Shilla heran mendapati benda yang sedang bertengger di meja belakang bangkunya. Sebuah kotak jingga berpita ? Di meja tuan mudanya ?Gadis itu berjalan selangkah lebih dekat. Menunduk dan memperhatikan kotak cantik itu lekat-lekat. Kotak imut ini .. serius untuk Rio ?Baru saja tangan Shilla hendak terulur untuk menyentuh kotak itu, saat tiba-tiba si empunya meja –dan kotak berpita- melesat melewati Shilla sambil merenggut kotak 'kepunyannnya'.Shilla mengangkat wajah, bingung melihat Rio sednag memluk kotak yang tadi diperhatikannya. Shilla memicingkan mata, menyelidik, membuat pemuda rupoawan itu salah tingkah.Salah tingkah, hah ?Shilla belum pernah sekalipun melihat Rio salah tingkah. Rio tak pernah tampil dalam wujud se'imut' itu –menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum tipis-. Pasti ada yang tidak beres, demi lima ton mangga mang echa lagi.Tiba-tiba saja semua pikiran kesal di otak Shilla berebutan menyembur keluar "Oh," ia tersenyum sesinis mungkin "Dari selingkuhan kamu ya ?" Gadis itu mendengus keras, berbalik lalu menghempaskan tubuhnya keras-keras di kursi hingga benda itu berderit.Shilla melepas lalu membanting ranselnya ke meja, membenamkan wajah disana sambil menahan amarahnya. Ia serasa ingin menjerit. Ah, Shilla pun tak mengerti kenapa ia menjadi begitu emosional ? Cemburukah ? Lagipula, apa sih maksudnya Rio main rahasia-rahasiaan kotak begitu ? Jangan-jangan benar Rio itu punya WIL ? Wanita Idaman lain ? AAAAARGH Terus dia ini apa dong ? Kekasih yang tak dianggap ? Kok kayak lagunya Pinkan Mambo ? Ah, Shilla jadi kepingin makan es mambo. Tapi enakan mana ya es mambo sama es kebo ? Loh, kok pikiran Shilla jadi menjayus sendiri begini ? Eh, jayus bukannya yang korupsi itu ya ? Jayus Tambunan ? Halah, kenapa pikirannya melantur makin jauh sih, Tadi Shilla lagi mikitin apa ya ? Tampaknya cemburu membuat otak jadi kacau siaga satu nih.Shilla sontak mengangkat wajah saat merasakan colekan di punggung lengannya. Karena memikirkan si jayus tambunan, gadis itu jadi lupa bahwa dirinya sedang menahan kesal sedari tadi."Shil," Rio menduduki kursi yang berada tepat di depan gadisnya, lalu menggerakkan tangannya dan menyergap jemari Shilla.Gadis itu memberontak pelan, berusaha menarik tangan dari kurungan jemari besar pemuda di hadapannya. Dalam sekejap ingat alasan kesalnya yang tak punya hubungan sama sekali dengan es mambo.Shilla menggeram rendah, membuang muka dan memutuskan berhenti memberontak karena kekuatan tangan itu makin menyakiti jemarinya."Shil ..""....""Shil-laaa..""....""Sayang .." Rio mengeluarkan amunisi terakhirnya, tahu Shilla paling tidak senang disebut dengan panggilan cinta sejuta umat itu. Benar saja, Rio tersenyum tipis saat Shilla menatapnya dengan pandangan tersiksa."Apa ? Ga nyiumin kotak selingkuhan kamu itu ?" tukas Shilla kesal, mencibir ketus.Rio terkesiap pelan lalu tersenyum lagi "Aduh .. kamu tambah cantik deh kalu camburu ,," Rio emnaik-turunkan alisnya iseng "sayang," tambahnya lagi, membuat Shilla mengerang tak senang."Kamu kan tahu fansku banyak," kilah Rio, dalam hati memohon maaf pada Tuhan karena berencana berbohong, Sekali ini sajaaaa Tuhan, ijin Rio "Itu cuma salah satu fansku kok, itu kan emang resikonya kamu punya pacar setampan aku," Rio tersenyum miring.Shilla memutar bola mata, mencibir pelan namun diam-diam merasa senang karena inilah Rio yang dikenalnya, senyum angkuhnya nampak seperti biasa. Hmm. Mungkin memang benar selama ini ia sendiri yang berfikir terlalu jauh."Eh, hari ini kita jalan yuk ?" Rio tesenyum "Aku bengong mulu loh mikirin kita mau nge-date kemana,"Excuse Rio kali ini lagi-lagi mematahkan kerisauan Shilla soal tatapan kosong pemuda itu. Ia mengiyakan saja perkataan Rio, merasa mungkin saja pemuda itu melamun sedemikian lama demi wangsit tempat kencan mereka. Hehe. Boleh dong Shilla ge-er sedikit.Rio mencubit pipi Shilla dengan gemas, memagut perlahan bola mata gadisnya, membuat Shilla seakan mengarungi samudera "Kamu tahu ga ?" Rio tak tersenyum saat mengatakan ini, tapi kebenaran terpancar dari raut mukanya "Aku sayang kamu .."Shilla berbunga. Tak dinyana kata romantis macam begitu yang dikeluarkan Rio setelah membuatnya keki setengah mati. Rio pun berbunga. Tapi ada satu yang berbeda.Di bawah meja, telunjuk dan jari tengah Rio saling berkait. Karena pemuda itu menyadari yang baru membuat hatinya membuncah bukan gadis ini, tapi kehadiran sang kotak jingga. Kotak yang tadi pagi dinanti dan tak mendarat juga di rumahnya. Kecemasannya sekejap sirna saat melihat benda itu disini. Dan kini, benda itu pula terparkir rapi, di laci meja sekolahnya, tersembunyi.Tiga kata tadi bergaung lagi. Menyusuri meja mereka, melompat menuju jendela, bergelayut di ranting-ranting pohon akasia, menungganggi punggung sekawanan burung dara. Mencari-cari seseorang yang masih berada dalam selubung atmosfir yang sama.Karena tiga kata tadi, juga disampaikan Rio untuk sang pengirim kotak jingga. Pemilik tiga huruf nama dalam kalbunya. M-A-I.*Shilla menggigit Chocolate Pretzel Auntie Anne's nya pelan-pelan. Meresapi kerenyahan bagian luar dan kelembutan bagian dalam adonan kue asing berbentuk pita dilapisi coklat beku hangat yang meleleh di mulutnya itu."Aaaah .. Enaaak .." katanya sambil mengecap lidah. Baru sekali merasakan kue selezat ini. Biasanya kan gadis itu Cuma makan kue talam atau kue cucur yang walau juga enak tapi tak ada elit-elitnya itu. Hehehe.Shilla menaruh sisa pretzel ke dalam bungkus kertas yang tergeletka di atas meja lalu menghirup bubble drinknya. Ia tersenyum senang-senang norak saat menelan bulatan hitam kenyal yang terasa licin di lidahnya. Makanan orang Jakarta memang aneh-aneh (dan enak-enak) ya.Shilla mengambil pretzelnya , baru mau mulai menyuap ia tiba-tiba menurunkan kue itu lagi. Shilla mengedarkan pandangan jauh dari gerai penjualan bubble drink yang disinggahinya. Mencari-cari Rio yang tadi katanya mau ke toilet. Kenapa lama sekali ?Shilla mengangkat bahu sendiri lalu melahap kue di tangannya dengan barbar. Dasar Rio, batinnya, ngelamun dari awal minggu kirain mau ngajak ke tempat apa gitu eh tau-tanya ke mall juga. Ah, rupanya Shilla masih percaya alibi Rio.Hingga pretzelnya tandas, Rio belum muncul juga. Shilla mulai bergerak cemas di bangkunya. Masa iya Rio sejahat itu sambil meninggalkannya disini ? Mana Shilla belum pernah ke pusat perbelanjaan sebesar ini pula. Duh gawat.Mata shilla menjelajahi tiap jejak pantulan kaca dari gerai lain di sekitarnya. Ia mulai mengedarkan tangannya ke meja untuk mengambil bubble drink sambil terus celingak-celinguk.Tiba-tiba sepotong tangan menyambar melewati wajahnya dari atas, merebut gelas plastik minuman miliknya tanpa ijin.Shilla menengadah ke atas, melihat rahang Rio bergerak gerak menyesap minuman tadi sambil berdiri di belakang bangkunya. Rio menurunkan pandangan, menyentil pelan ujung hidung Shilla yang sedang mendongak. Ia masih menelan bubble tanpa tampang berdosa, lalu mendorong puncak kepala gadis di depannya ke posisi normal lagi.Shilla menggaruk ujung hidungnya yang disentil Rio. Belum sempat memprotes, pemuda itu sudah menarik tangannya memasuki sebuah ruangan coklat berpintu kaca di dekat situ. Spontan Shilla mengendus begitu menjejak kakinya. Wangi khas ruangan itu sedikit menggoda. Campuran wangi berondong jagung dan kopi susu. (Popcorn dan Cappucino)Shilla yang tinggal di kampung jauh lebih lama dari di kota jelas bingung. Apaan sih ini ? Café gitu ya ? batin gadis itu saat melihat food menu bar terpampang besar-besar di depan sana. Eh, tapi kok ada tempat mainan gamenya ? Shilla heran melihat sub-ruangan berisi belasan game machine yang baru dilewatinya."Kita nonton yang itu ya," Rio menunjuk sebuah reklame kecil yang menempel mesra di salah satu dinding beledu merah. Tangannya masih menggenggam tangan Shilla, sementara tangan lainnya tanpa sadar Ia masukkan ke saku blazernya."Hah ? Nonton ?" tanya Shilla. Ini tempat apa sih emangnya ? Terus itu reklame apa ? Hun .. Hunger Games The Movie. Movie. Movie ? Oh ini tempat nonton itu ya ? Biskoskop ? Atau apa ya ?"Kita mau nonton di biskoskop ?" tanya Shilla lalu tiba-tiba merasa mendapat pencerahan "eh maksudku bioskop," sanggahnya sedikit malu, sudah menemukan kata yang benar.Ia menoleh ke arah Rio, menunggu semburan tawa dan celaan yang kira kira berbunyi : 'Bi-os-kop. Tuh tahuuu. Biskoskop apa pula ? Bis baru jurusan cikokol ?' dari pemuda itu."Yo ?" Shilla mencolek Rio yang terlihat sedang terperangkap dalam dimensi berbeda."Hmm," Rio terkesiap pelan, lalu menoleh ke arah Shilla yang sedang memandanginya cemas. Dua mata bulat membesar itu seakan sedang menyelidik, menembus kertas rahasia yang kini diremasnya kuat-kuat dalam saku blazernya."Yuk masuk studio," Rio tersenyum singkat, entah kenapa tampak seperti orang linglung. Ia melangkah ke depan sambil memasang wajah datar saat suara wanita pemanggil penonton yang sudah kondang terdengar di teater seantero Indonesia itu terdengar.Shilla menunduk, mencermati ujung sepatunya yang mengekori langkah Rio, menghayati genggaman tangan pemuda itu di jari-jarinya, seakan berusaha mencari tempat berpegangan sebelum tubuhnya limbung. Ia merasa ingin menjerit keras-keras. Senyum tadi bukan senyum Rio lagi.*Adalah kertas rahasia itu yang menggelayuti pikirannya, perlahan berubah menjadi beban seberat gajah Afrika dewasa disana. Mungkin karena sel-sel otaknya dikacaukan kertas itu hingga Rio sekilas menjadi tak peduli akan gadis di sebelahnya. Lekukan benaknya hanya diracuni oleh tiga hal : Mai, Mai dan Mai.Kerats ini adalah satu-satunya pengisi kenangan dalam kotak jingga.Salah. Kertas itu pun tak bertulis nostalgia. Hanya ada enam baris kalimat berarti yang Riok tak mengerti didalamnya. Isi kertas itu adalah teka-teki. Yang entah kenapa, berubah menjadi rapalan dalam pikiran Rio sedari tadi.Rio sudah berbohong dua kali hari ini. Keduanya karena kotak jingga yang sama. Sejujurnya tadi Rio terbirit-birit kembali ke parkiran, bukannya ke toilet seperti yang ia katakan pada Shilla. Ia kesana memanfaatkan kesendirian dalam mobilnya untuk membuka kotak tadi. Yang ternyata malah berisi misteri. Tertulis dalam kertas yang berada dalam sakunya kini.Sambil memperhatikan lampu bioskop yang mulai meredup, Rio memejamkan mata dan memanjatkan doa. Sekali itu saja (lagi) Tuhan, katanya sadar bahwa sudah berdosa.Rio melirik sekilas ke arah Shilla yang nampak serius (sekaligus takjub) memperhatikan layar lebar di depan mereka. Dalam keadaan normal, harusnya Rio akan tertawa, mengejeki gadisnya yang selalu norak tak terkira dimana-mana. Tapi tampaknya, benaknya memang sudha muali tak waras.Shilla sendiri masih melongo pelan memandangi layar raksasa di hadapannya. Dengan heboh, ia sempat terlonjak pelan saat suara berkualitas Dolby Digital Surround menyergap pendengarannya.Gadis itu mengerjap sekali lalu menoleh ke arah Rio dan bertanya sepintas "Yo, mau jagung dong .." pintanya. Karena jagung yang dimaksudnya –popcorn- berada di sisi kanan Rio, bukan di tengah mereka.Karena tidak ada respon, Shilla memicingkan mata ke arah Rio. Dalam keremangan, Shilla masih bisa menangkap siluet tampan di sebelahnya menjadi makin mempesona. Terlebih tulang pipi dan rahangnya yang tegas itu.Tak lama, ia menghela nafas, kecewa saat menangkap gambar gambar yang terpantul di mata Rio mengindikasikan tatapan pemuda itu sedang mengembara entah kemana. Entah pada siapa. Kenapa sih pemuda ini berubah menjadi bunglon ? Tadi pagi begini, tadi siang begitu, sekarang begini lagi.Shilla mendesah pelan, berusaha tidak mengaitkan pandangan kosong Rio dengan hal yang macam-macam. Bisa saja kan Rio sedang mengantuk. Ya, sedang mengantuk. Gadis itu tak sadar, ia terdengar seperti berusaha meyakinkan diri sendiri.Shilla memutuskan tersenyum saja lalu mencoba mengulur tangan melewati tubuh Rio untuk mengambil jagung yang diingininya. Gadis itu berjingkat susah payah hingga tak sadar wajahnya semakin mendekati sisi kiri wajah Rio.Rio yang tidak sadar bahwa lengan Shilla tanpa sengaja mengurungnya, menoleh sekilas dan entah kenapa membuang muka saat merasakan nafas gadis itu di telinganya. Nafas itu membuyarkan pikirannya. Sial.Shilla yang sejak awal memang tak piunya rencana untuk 'mengapa-apakan' Rio mau tak mau terkesiap juga. Menyadari pemuda itu baru saja membuang muka darinya. Ia mengerutkan dahi, kembali ke posisi duduknya setelah meraup kardus popcorn. "Kamu kenapa sih ?" tanya Shilla dengan nada menyelidik."Bisa ga kamu stop nanya aku kenapa ?! Aku ga kenapa napa.Harus berapa kali dibilangin sih ?"Shilla terperanjat saat mendengar ucapan ketus Rio tadi. Belum pernah Rio membentaknya dalam konteks seserius itu. Mata pencair tembaga itu berkilat aneh. Tak melelehkan, tapi serasa menghanguskan."Ak .." Shilla memutuskan membatalkan sanggahannya. Ada hal aneh yang menahannya untuk tidak terpancing.Gadis itu menunduk, tiba-tiba tak berselera menonton adegan-adegan di hadapannya. Otaknya seperti berkedip-kedip memperingati bahwa ada yang salah disini. Dan jelas itu bukan dirinya.Pikiran Shilla memerintahkannya untuk marah-marah karena Rio kembali ke sikapnya belakangan ini, malah lebih parah dengan bumbu mengerikan macam tadi. Tapi hatinya berkata untuk mengambil keputusan dulu baru bertindak.Shilla menatap Rio yang sudah membuang mukanya lagi dan malah tersenyum ganjil. Gadis itu kini malah merasa iba melihat Rio menjelma menjadi abg labil yang kehilangan jati diri.Shilla menyadari cemburu buta pun takkan menghasilkan apa-apa. Ia mulai memikirkan derajat dirinya dan malah berterima kasih pada Rio. Ia bukan siapa-siapa. Sudah untung Rio masih mau bersamanya dan mengajaknya bicara di sekolah tadi. Berhakkah dia menuntut apa-apa ? Tidak.Ah, mengenaskan. Rupanya gadis itu sedang mengasihani (sekaligus menyangkal rasa sakit) dirinya sendiri.Entah kenapa, Rio merasa tak bersalah sudah membentak Shilla. Tapi bukankah sudah dikatakan ? Sel otaknya sedang diporak-porandakan hingga ia tak bisa memilah. Fokusnya hanya mengacu pada satu hal. Kertas dalam saku blazernya.

Love Command ( repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang