0,11

734 74 12
                                    

Sepi. Satu kata yang cocok untuk mendeskripsikan perasaan Yeri saat ini. Jika biasanya dia akan bersemangat untuk mengganggu sang Bibi memasak, namun kali ini tampak berbeda. Yeri memilih untuk langsung duduk di meja makan besar itu seorang diri, menunggu Bibinya selesai memasak lalu menghidangkan untuknya.

Tentu saja itu semua tak luput dari pandangan Bibi Choi. Wanita itu hanya bisa menatap sendu sang nona bungsu setelah menghidangkan masakan untuk satu orang saja di depan Yeri.

"Ahjumma, aku hanya ingin meminum susu dan memakan roti. Bolehkah?"

"Ah, ne. Tentu saja, Nona."

Yeri langsung menggeser piring itu, lalu mengambil roti dan susu yang berada di sampingnya. Dengan perlahan, dia mulai menyuapkan ke dalam mulutnya. Walaupun sebenarnya enggan.

Dua puluh menit yang lalu Eugene dan Yongwoo pergi ke rumah sakit, membawa pakaian ganti untuk ketiga kakaknya itu. Eh, ralat, mungkin ke empat kakaknya? Karena Wendy pun lembur di rumah sakit. Dan kemungkinan besar anak ketiga Kim itu akan mampir terlebih dahulu di ruang rawat Joohyun ketika jam kerjanya telah usai.

Sebenarnya, mereka ingin mengantarkan Yeri ke sekolah sebelum menuju ke rumah sakit. Tapi seperti biasa, Yeri menolak. Dengan berbagai alasan yang membuat kedua orang tuanya pasrah.

Sang ayah pulang tepat tengah malam, entah apa yang Yongwoo lakukan di luar sana, pastinya mengurusi hal yang menyangkut kecelakaan Joohyun itu. Dan Yeri berharap, semoga masalah ini berjalan sesuai aturan yang berlaku, tanpa merugikan pihak manapun nantinya.

Setelah meneguk habis susu itu, Yeri beranjak dari kursi. Baru beberapa langkah berjalan suara Bibi Choi membuatnya berhenti. Kepalanya menoleh pada lawan bicara.

"Igeo, saya sudah membuatkan bekal." Sejenak, Yeri menatap Bibi Choi. Lalu menerima kotak makan itu.

"Gomawo, Ahjumma." Yeri mengulas senyum tipis, membiarkan Bibi Choi mengusap lembut kepalanya.

- - - -

Hal pertama yang Joohyun lihat saat matanya terbuka ialah keberadaan keluarganya yang tengah mengelilingi kasur tempatnya terbaring seolah menanti dirinya dari tidur lelapnya itu.

"Bagaimana? Apa ada yang sakit?" Mata yang terbuka sedikit itu melirik ke arah sang ibu di samping kepalanya.

Menelan salivanya terlebih dahulu, dengan lemas, mulut itu terbuka hendak menjawab pertanyaan dari Eugene, tapi yang terjadi Joohyun malah meringis kecil ketika rasa sakit memeluk perutnya.

Seketika, ingatannya kembali berputar mengenai kejadian yang menimpanya kemarin. Saat itulah Joohyun menyadari, jika dirinya sudah melakukan operasi yang berhasil menyelamatkan nyawanya.

Alhasil gadis itu memilih tidak menjawab. Setelah berhasil mengendalikan rasa sakit itu, dia memilih untuk menatap satu persatu anggota keluarganya. Tapi, ada satu orang yang tidak terlihat olehnya.

"Akhirnya kau bangun, Unnie." Seulgi mendekat, mengusap pelan tangan sang kakak yang terpasang infus.

Joohyun diam, dia lebih tertarik menatap wajah Seulgi. Lihat, mata sipit itu sudah berkaca-kaca, apa itu karena dirinya?

"Naneun, gwenchana." Secara tiba-tiba Joohyun berucap lemas. Sungguh, dia tidak suka jika dirinya lemah seperti ini. Dan membuat keluarganya sedih akan hal itu.

"Tentu, semua putri Eomma adalah anak yang kuat." Eugene tersenyum dengan mata yang berembun, lalu mengecup pelan kening itu.

CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang