0,34

445 69 10
                                    

Setelah memastikan pesawat yang di naiki oleh pasangan muda itu lepas landas dengan selamat, mereka segera pergi menggunakan mobil Seulgi bersama-sama. Untuk mobil Junmyeon di bawa oleh supir mereka.

Sejak sepuluh menit berlalu suasana di dalam sana hening. Semuanya tampak sibuk dengan pemikiran masing-masing. Seulgi sebagai pengemudi, tampak melirik bergantian para adiknya itu.

Sebelum bersuara, gadis itu berdeham. "Kita akan kemana dulu?"

"Aku," Sahut Wendy mengalihkan pandangannya yang semula ke arah luar menatap sang kakak dari kaca tengah.
"Kebetulan jaraknya tidak jauh. Nanti baru ke kantor mu."

"Arraseo." Seulgi mengangguk, lalu memasukan gigi ke tiga untuk menambahkan kecepatan, karena tadi sempat terjadi macet.

Wendy menoleh ke kiri, memperhatikan wajah yang menatap kosong ke arah depan itu. Dia merubah raut wajahnya menjadi ceria, sambil bergeser mendekat pada adik bungsunya.

Yeri tersentak kaget merasakan sepasang tangan melingkari perutnya. Ketika menoleh, dia menemukan Wendy yang tersenyum manis.

"Yeri-ya,"

"Hm? Wae?"

Dokter itu menaruh dagunya di bahu sang adik, menatap wajah itu dengan lekat. "Jika suatu saat nanti, Unnie jarang atau bahkan tidak lagi memanjakan mu. Apa boleh, Unnie yang manja pada mu?"

Mata Yeri mengerjab cepat. Kenapa Wendy berbicara seperti ini padanya? Jujur saja, dia merasa bingung harus bagaimana menyikapi pertanyaan itu.

"Kenapa Unnie mengatakan hal seperti itu?" Yeri berbalik bertanya, bahkan sekarang pandangannya sudah beralih ke depan.

Apakah suatu saat nanti, Wendy tidak mau untuk menghabiskan waktu bersamanya lagi? Kenapa? Apa karena mereka akan memiliki keluarga baru nantinya? Lalu dirinya di tinggalkan sendiri?

Entahlah, tiba-tiba saja Yeri merasa sensitif jika ada pembahasan mengenai ke empat kakaknya. Rasa sedih itu tidak dapat Yeri hindari.

Melihat wajah itu berubah murung, Wendy gelagapan. Sepertinya dia membahas di waktu yang tidak tepat. "A-ani, jangan salah paham dulu, Yeri-ya."

Wendy bergerak menangkup wajah sang adik. Ketika mereka berhasil beradu tatap, Wendy dapat melihat jika mata itu menyiratkan kesedihan.

"Kenapa akhir-akhir jadi sering sedih, hm? Ada yang mengganggu pikiran mu?"

Wendy bertanya pelan, mengusap lembut pipi Yeri yang sekarang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Seketika, dokter itu lupa mengenai pertanyaannya.

Lihat, bagaimana bisa Yeri melepaskan begitu saja kasih sayang seperti ini? Gadis itu mengulum bibir sambil menggeleng pelan, lalu terkekeh singkat.

"Boleh."

Dahi Wendy mengerut mendengar jawaban yang tidak sesuai itu. "Mwo?"

Yeri berusaha mengulas senyum lebarnya, mengambil kedua yang ada di wajahnya itu untuk di genggam. "Iya, aku mengizinkan Unnie ku yang pintar dan cantik ini untuk manja pada ku."

Wendy tertegun, menatap silih bergantian sepasang mata coklat itu. "Eh. Tapi bukannya selama ini Unnie sudah manja pada ku, ya?"

Gadis itu seolah tersadar mendengar lanjutan dari kalimat Yeri. Yang awalnya dia merasa tersanjung malah menjadi kesal. Lalu dia menepuk pelan paha sang adik.

"Bagaimana? Kapan? Dimana?" Matanya memincing menatap Yeri.

"Hanya Sooyoung dan Joohyun Unnie saja yang manja pada mu. Unnie belum."

CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang