Setelah selesai memeriksa puluhan bangsal pasien. Wendy yang memilih beristirahat sejenak malah mendapatkan kabar dari salah satu rekannya jika adiknya ada di rumah sakit ini.
Mengesampingkan kakinya yang terasa pegal. Dia memaksa kaki itu untuk bergerak membawanya menuju ke sebuah ruangan. Melihat jika yang di tujunya sedang duduk di sebuah kursi panjang gadis itu berlari lalu menarik tubuh itu dalam dekapannya.
Sejenak Wendy menormalkan nafasnya yang memburu sebelum bertanya kepada seseorang yang membuatnya panik itu.
"Kenapa tidak mengatakan jika ingin melepas jahitan?" Wendy bertanya seraya melepaskan dekapannya.
Yeri tentu saja terkejut dengan kedatangan Wendy yang tiba-tiba. Di tambah dia harus mencari alasan karena kalimat sang kakak.
"Aku bisa sendiri Unnie. Hanya tinggal datang saja ke sini saja, selebihnya mereka yang menangani, 'kan?"
Memang tidak salah dengan ucapan Yeri, tapi tetap saja dia tidak membenarkan sikap sang adik yang benar-benar ingin melakukan semuanya sendiri tanpa memberitahu keluarga mereka.
"Yeri--"
Gadis berseragam itu menaruh jari telunjuknya di bibir sang kakak ketika sadar jika wajah Wendy terdapat titik-titik keringat, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Setelah dapat, Yeri mengusap keringat itu dengan lembut menggunakan tissue yang selalu di bawanya kemana-mana. Tidak hanya itu, Yeri memberikan sebuah permen yang kebetulan dia beli hari ini dan susu hangat kesukaannya.
"Kenapa Unnie tidak istirahat?" Mengulas senyum termanis, Wendy menerima suapan permen itu dengan perasaan terharu. Terkadang dia masih tidak yakin jika Yeri dapat berbuat semanis ini.
"Hm, nanti Unnie istirahat." Wendy menatap penuh kasih sayang wajah sang adik sambil mengelus pelan pipi berisi itu.
Dengusan samar terdengar dari Yeri yang memasukkan kembali tissue ke dalam tasnya. "Unnie, aku sudah besar. Gwenchana."
Yeri sadar, jika keempat kakaknya itu terlalu posesif pada dirinya. Padahal dia tidak melakukan hal buruk. Namun tidak di pungkiri jika tubuhnya sering terluka. Mungkin itu juga menjadi salah satu penyebab posesif keempat kakaknya.
"Apanya yang sudah besar? Ini?" Wendy mencubit pipi berisi Yeri.
"Awh~ Ya, Unnie!" Yeri merengek, melepaskan cubitan itu dengan paksa sampai membuat pipinya terasa semakin melar.
Sedangkan Wendy tampak tertawa puas. Tanpa di sadari, interaksi mereka menjadi sebuah hiburan bagi seorang lelaki yang berjalan mendekat dari lorong rumah sakit tersebut.
"Annyeonghaseyo."
Mendengar suara yang di kenalnya, Wendy yang sedang tersenyum reflek menoleh dan langsung bertatapan dengan seorang lelaki yang memiliki dimple itu.
Yeri yang masih terduduk itu menatap sang kakak yang berdiri di hadapannya, lalu beralih ke lelaki jangkung yang mengenakan jas kedokteran.
Heol, Yeri merasa geli sendiri melihat pemandangan di depannya kini. Bagaimana bisa mereka masih bertatapan seperti itu? Di tambah melihat tatapan yang di berikan dokter lelaki itu sangat berbeda. Yeri dapat tahu, ada rasa cinta yang besar masih terkubur di dalam sana.
"Nde. Annyeonghaseyo, dokter." Yeri yang tidak mau terlarut dalam keadaan seperti saat ini, beranjak berdiri seraya membungkuk singkat.
Wendy yang langsung tersadar membuang pandangannya dengan cepat. Lalu ikut membungkuk singkat seraya mengulas tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complete
Fanfiction"Ya, kau tidak punya mata? Lihat, buku ku jadi kotor!" Sosok yang sedang membersihkan seragamnya tersentak kaget mendengar pekikan tersebut. Matanya berkedip tidak percaya. Heol, jelas-jelas dia yang korban disini. Mengapa jadi dia yang di salahkan...