Ramalan yang Rumpang

19 4 2
                                    

Jen dan kroni-kroninya—entah kenapa semua orang di tempat ini mengenal nenek itu— sedang sibuk memperdebatkan teh mana yang paling enak, teh oolong atau teh hijau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jen dan kroni-kroninya—entah kenapa semua orang di tempat ini mengenal nenek itu— sedang sibuk memperdebatkan teh mana yang paling enak, teh oolong atau teh hijau.

Sedangkan aku, dihadapkan dengan dua buku besar yang katanya harus aku baca terutama di bagian sejarah kudeta.

Aku sudah mengatakan bahwa keberadaanku bukan untuk belajar, tetapi berlama-lama di tempat ini, kupikir juga tidak buruk. Setidaknya aku bisa menganggap diriku sedang liburan.

Meski beberapa kali lelaki pendek gemuk yang tali pinggangnya mencapai perut itu mencuri pandang ke arahku.

Sebisa mungkin aku merasa tidak jijik dengan tatapannya, kucoba mengalihkan perasaanku pada model plafon dari kaca berwarna-warni di langit perpustakaan kecil ini. Kaca itu entah bagaimana dibuat mengerucut seperti lampu hias yang menyala.

Setelah puas dengan teh mereka, Jen mendekati mejaku, kupikir ada yang buruk karena dia membawa lelaki gemuk itu mendekat, tatapannya masih aneh. Dua pria lain membereskan sajian teh sisa ke lorong panjang yang kurasa menuju ke dapur, yang satu lagi membawa cawan keemasan, oh tidak sepertinya perunggu—ke sebuah meja bundar berukuran sedang yang di kelilingi lilin.

“Selamat datang di markas, tuan Gil.” Lelaki gemuk itu sedikit membungkuk, memberi salam padaku dengan khidmat, disusul tiga orang lainnya yang berdiri di belakang Jen. Markas? Jadi perpustakaan indah ini adalah markas? Tapi markas apa?

“Ada apa ini?”

“Gil, bukankah aku memintamu membaca?”

“Ya, dan sudah kulakukan. Aku bahkan tidak mengerti apa hubungannya denganku.”

Jen menatap lelaki gemuk dengan cemas, bergantian ke wajahku juga, dan aku tidak mengerti tujuan mereka. “Apakah kita harus menunggu? Mencari yang satunya?” kata lelaki gemuk.

“Kupikir sebaiknya begitu, mereka sejiwa.”

“Tidak!” Jen mengambil napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, tangannya yang penuh perhiasan itu bertaut dengan kuat.
“Lebih cepat lebih baik.”

“Bisakah kalian membicarakan hal yang bisa kumengerti?” Aku sedikit berteriak, bukan karena marah, tetapi karena mereka membuang-buang waktu berhargaku yang bisa kugunakan untuk mencari Nou.

Sialnya, aku tidak tahu soal tempat ini, atau ke mana Nou pergi, jika setidaknya bersama Jen bisa memberikanku sebuah petunjuk, itulah alasan sebenarnya aku berada di sini.

“Berhenti membuang-buang waktu Jen, aku harus menyelamatkan temanku!” nyaliku mengerdil, tolong laso aku sejauh-jauhnya dari situasi yang tidak menyenangkan ini.

Dengan membuat diriku terus merasa bodoh, Jen mendekati jendela lantai dua bangunan ini, ia menunjuk ke bawah, jalanan kota Pegon yang masih ramai, “lihatlah.”

Sepertinya aku tidak melihat benda itu menyala sebelum masuk ke sini, “jika kau bingung, itu namanya reklame, papan iklan bodoh yang dibuat begitu besar.”

Tora : The Thief & The Lost PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang