8 | Never Give In

1.2K 137 23
                                    

Aku tidak bisa tidur sepanjang malam, berbaring di atas ranjang dengan mata yang terbuka lebar. Mendengar suara mobil dari sebelah rumahku sekitar pukul delapan malam, itu berarti Build sendirian sejak aku tinggalkan.

Tidak ada keberanian dalam diriku untuk meminta maaf, atau paling tidak tetap menemaninya sampai kedua orang tuanya pulang.

Sekitar pukul setengah delapan pagi, aku sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Meski tidak tidur, aku tetap bugar seperti biasanya. Langkahku pelan menuruni anak tangga sambil mengunyah sepotong sandwich, aku sempat membuatnya sekitar pukul tujuh tadi, kubawa ke kamar sambil menata apa saja yang akan kubawa ke kampus hari ini. Akan ada kegiatan melukis sekitar pukul sembilan pagi, peralatanku harus lengkap.

Sebelum melangkah keluar rumah, aku pergi ke arah dapur lebih dulu untuk mengambil segelas kopi yang sempat aku buat menggunakan coffee maker. Tumben sekali aku melakukan kegiatan normal ini. Aku menuang kopi ke dalam cup kertas dan kuminum sambil berjalan. Mataku menatap sebuah bubuk putih di dalam plastik klip berukuran mini di atas meja.

Menatapnya sejenak sebelum akhirnya kuambil dan kumasukkan ke dalam tempat pensil yang kubeli secara bersamaan. Aku melangkah keluar, mengunci pintu, dan mendorong motor sampai ke depan pintu pagar. Setelah kukunci pintu pagar, aku melempar kotak pensil itu ke dalam tong sampah yang akan diangkut setiap hari minggu oleh truk sampah.

Ketika aku berjalan menuju motor yang sudah menyala, aku menatap seorang pria cantik yang berdiri di perbatasan antara rumahku dan rumahnya. Kepalanya menunduk, kakinya saling menindih—bergerak tidak nyaman.

"Hai," aku memilih menyapanya lebih dulu, melupakan perbuatan yang kulakukan kemarin sore.

Dia mendongak dan tersenyum tipis, tidak manis, lebih terasa kaku disitu. "Sudah mau berangkat?"

"U'hum," aku mengangguk sambil duduk di atas motor, menurunkan hoodie untuk memakai helm. Aku juga tidak menatap Build penuh, hanya lewat ekor mata. Aku tahu kalau dia tengah mencoba mengajakku bicara.

"Bible, sepertinya—"

"Sorry, Build. Maybe another time? Ada kelas dan aku sedang terburu-buru." Aku memotong kalimatnya. Aku tahu dia akan mengatakan maaf lagi perihal sore itu, aku tidak ingin membahas itu karena sejujurnya aku sedang merasa kecewa pada diriku sendiri.

Aku bahkan tidak menatap Build. Bukannya tidak mau, aku hanya tidak bisa.

Build menunduk. "Oh, okay, take care, Bible."

Tanpa membalas, aku melajukan kendaraan. Untuk saat ini, menghindari Build jauh lebih baik. 

Maafkan aku, Build.

_____

Tangan yang bergerak fokus mendadak terhenti saat sebuah percikan warna lain mengenai lembar lukisanku. Semula sempurna, kini terlihat berantakan karena percikan itu mengenai setengah dari lukisan aslinya. 

"NODT!! WHAT ARE YOU DOING!!" Teriak Zaviya, salah satu perempuan di kelasku yang kebetulan sekelompok denganku pada tugas kali ini. "LOOK!! ARGHH,"

Aku yang melihat amarah Zaviya mencoba menenangkan perempuan itu dengan tersenyum tipis dan menggumam, It's okay

Pria yang menjadi penyebab lukisan milikku dan Zaviya berantakan hanya tertawa kecil, kedua tangannya terkatup di depan dada. "Hey, calm down. Aku tidak sengaja. Sorry."

Aku menurunkan hoodie yang kukenakan, menatap Zaviya yang tiba-tiba berdiri dan berkacak pinggang, matanya tersorot tajam. "Fuck shit!!"

Aku meraih lengannya. "Hey, relax, Zaviya. It's okay, kita masih bisa membuat yang baru."

Hilang Naluri [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang