14 | Agree To Disagree

941 117 16
                                    

Tanganku bergerak lincah pada layar tablet milik Build yang sempat dia berikan sebelum aku pulang tadi malam. Kami sampai di rumah sekitar pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Om Ghazam tidak benar-benar melapor ketika aku membawa Build pulang terlambat. Aku bahkan sempat diminta untuk makan malam bersama di meja makan, hidangan rumahan yang sudah lama tidak kurasakan.

Tante Kiena memberikanku sepotong kue buatannya sebelum aku pulang, lalu, sempat kumakan pagi ini, nikmat seperti pertama kali aku mendapatkan bingkisan sebagai tetangga.

Kepalaku menoleh pada rumah berdesain kaca itu, kulihat dengan jelas kalau Build tengah pusing akan mengenakan pakaian apa hari ini. Ranjang empuknya dipenuhi setumpuk pakaian, tubuhnya yang terbalut bathrobe berwarna abu-abu itu berjalan ke arah lemari pakaian dan ke arah ranjang—dia benar-benar pusing.

"This is just a casual date, come on ... don't overdo it, baby.

Aku menatap bathrobe yang terjatuh ke lantai, sepertinya Build sudah menentukan pilihan akan mengenakan apa.

Sambil menyuap kue terakhir, aku memasukkan tablet milik Build ke dalam tas, meninggalkan balkon. Tidak perlu menatap tubuh telanjang itu terlalu lama, aku sudah mengirim pesan akan menjemputnya lima belas menit lagi. Terlalu singkat jika aku sempatkan untuk bermain dengan milikku, maka dari itu, lebih baik menghindari.

Menuruni anak tangga dengan cepat, meraih kunci motor dan helm milik Mama yang tergeletak rapi di atas bufet. Aku berharap kali ini bisa menggunakan motor untuk berkencan.

Mengunci seluruh pintu rumah dan mendorong motor tepat di halaman rumah Build. Setelah mengantar Build semalam, aku kembali ke bengkel untuk menukar mobil Mew dan motorku. Kulihat Om Ghazam tengah melakukan peregangan kecil di halaman, ditemani Tante Kiena yang sedang menjemur pakaian, dan ada Mbok In yang tengah menyirami tanaman.

"Hai, ganteng …."

Aku tersenyum tipis mendengar sapaan pagi dari Tante Kiena. Om Ghazam menghentikan aktivitasnya dan berjalan pelan ke arahku, sedangkan Mbok In hanya menoleh sekilas dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Hai, tumben rapi, mau kemana?" Aku menatap pakaianku, rapi apanya? Aku hanya mengenakan pakaian seperti biasanya, kaos putih dan leather jacket.

Aku tertawa kecil, "Rapi? Hanya berpakaian seperti biasanya, Om."

"Oh tidak, saya membicarakan rambutmu."

Aku sempat mengusap rambutku, hari ini memang sengaja kuikat. Aku tertawa kecil. "Cuaca terlihat cerah, Om, kemungkinan akan gerah jika dibiarkan terurai."

Om Ghazam mengangguk-angguk. "Yap, benar, mungkin akan lebih terlihat bagus jika memangkasnya sampai pendek." Om Ghazam menggeleng kecil. "Bi pun begitu, rambutnya memanjang dan dia menolak untuk di potong, saya risih melihat poninya."

"Lalu, untuk apa Bunda membeli jepit rambut kalau dia memiliki rambut yang pendek?" Tante Kiena tidak menghentikan aktivitasnya, tetapi tetap mengikuti pembicaraan kami. "Salah sendiri bersikeras ingin memiliki anak perempuan. Saat lahir ternyata laki-laki, jadi, anak Ayah laki-laki cantik, 'kan?"

"Kan Ayah ingin memiliki menantu yang gagah nantinya, bisa bermain boxing di waktu weekend." Balas Om Ghazam dengan tangan yang bergerak seakan sedang meninju ke arahku. 

Tante Kiena menggeleng jengah. "Kan bisa saja bermain boxing bersama Bi, lalu, memiliki menantu cantik yang bisa memasak dan membuat kue enak bersama Bunda."

"Bi tidak bisa bermain, dia selalu merengek jika Ayah baru mengajaknya berlatih kuda-kuda." Om Ghazam mendengus—mengeluhkan seluruh sikap putra cantiknya. "Tetapi Bun, zaman sekarang memiliki anak laki-laki bisa memiliki menantu laki-laki juga."

Hilang Naluri [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang