25 | Doubt Me

703 108 24
                                    

Wajah tenang Build yang pertama kali kulihat saat membuka mata, dia tidur sambil memeluk tanganku yang di letakkan tepat di depan wajahnya. Satu tangan yang bebas kuangkat untuk mengelus pipinya yang tembam. Setelah aku mengungkapkan semuanya ; tentang hubunganku dengan Build dan tentang bagaimana perasaanku pada Build. Om Ghazam hanya tersenyum tipis, menghampiriku dan Build—menepuk bahuku beberapa kali, wajahnya menunjukkan bahwa dia bangga kepadaku, sedangkan Tante Kiena hanya berbalik meninggalkan kami.

Aku diajak oleh Om Ghazam untuk makan malam bersama, tanpa Tante Kiena.

"Bunda sedang tidak enak badan, kita makan bertiga saja, ya?" Ucap Om Ghazam sambil duduk di bangku kebiasaannya. Aku tahu, Om. Tante Kiena bukan sedang tidak enak badan, Tante Kiena pasti sedang mencoba menahan rasa kesal kepadaku.

Setelah acara makan malam itu, aku dan Build duduk di ruang tengah, membicarakan hal radom, sedangkan Om Ghazam berpamit untuk memastikan keadaan Tante Kiena. Aku masuk ke kamar Build sekitar pukul sembilan malam, kami kembali berbincang banyak hal sampai aku tidak sadar telah tertidur.

Aku mengangkat setengah badanku untuk mengecup pipinya.

Build melenguh kecil, matanya terbuka sedikit. "Eung ... Bible kok bangun?"

"Aku pulang, ya?"

Build kembali menutup matanya, memeluk tanganku semakin erat. "Menginap saja."

Aku terkekeh kecil, mungkin Build sama denganku, rasanya tidak ingin berpisah meski sebentar saja, setelah apa yang terjadi pada kami beberapa waktu lalu. Aku menggeleng, "Besok aku antar ke kampus, ya?"

"Hm, boleh."

"Kalau begitu, aku pulang."

Dengan mata tertutup, Build mendekat ke arahku dan mengecup bibirku. "Okay, hati-hati di jalan."

Aku tersenyum, kutahan tengkuknya, kuisap bibirnya lebih dalam. Saat kurasakan kedua tangan Build mulai memeluk leherku, aku melepaskan ciuman itu. Tidak boleh terlalu jauh. "Good night, baby."

Build hanya mengangguk, tangannya bergerak meraba—mencari guling untuk dijadikan pengganti tanganku.

Sebelum benar-benar meninggalkan ranjang Build, aku mengelus puncak kepalanya agar dia kembali nyaman dalam tidurnya. Lalu, turun dan meraih ranselku yang tergeletak di atas meja. Sempat kulihat ke arah jam yang terpajang di dekat rak buku, pukul sebelas malam. Mungkin Om Ghazam dan Tante Kiena sudah tidur.

Kakiku melangkah pelan menuruni anak tangga, lampu ruang utama masih menyala dengan terang. Saat melihat sepasang suami-istri di ruang tamu, langkahku terhenti.

"Hai, mau pulang?"

Aku mengangguk kecil setelah mencoba menetralkan detak jantungku. "Iya, Om."

"Bi, sudah tidur?"

"Iya, Om."

Tante Kiena yang duduk di samping Om Ghazam—membelakangi, tiba-tiba berdiri menatapku. "Bisa bicara sebentar."

Aku mengangguk samar, kakiku melangkah mendekati keduanya, duduk dengan jarak cukup jauh. Mungkin, mereka akan menentang hubungan kami. Membuatku teringat akan cerita Zaviya tentang serial korea berjudul The Smile Has Left Your Eyes, seorang pria yang dinilai buruk oleh keluarga dari wanita yang di cinta. Namun, aku akan menjadi seperti pemeran pria itu, berjuang menunjukkan bahwa aku tidak seburuk itu dan mampu memberikan kebahagiaan yang besar. Zaviya bilang, meski memiliki kisah akhir yang tragis ; keduanya mati sambil berpelukan, Zaviya tetap menganggap kisah cinta mereka langka dan menyentuh hati.

Tidak ada yang bersuara, hanya kulihat Om Ghazam dan Tante Kiena saling menatap dalam. Om Ghazam mengangguk dan Tante Kiena menghela napas sambil menatapku. "Bible, bukan maksud saya tidak suka mendengar soal hubungan kalian. Orang tua mana yang tidak suka mendengar anak mereka memiliki sebuah rasa cinta? Akan tetapi, semua ada konsekuensinya, kamu ataupun dia harus memikirkan ke depannya, sayang."

Hilang Naluri [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang