21 | Half Of My Heart

914 113 24
                                    

"Ganteng kok kurusan."

Aku yang sempat termenung sontak menoleh pada Tante Kiena yang berjalan pelan membawa nampan ke arahku. Bawaannya di taruh tepat di hadapanku ; dua cangkir kosong, satu piring roti kering dan teko berisi teh hangat.

Aku tersenyum tipis menatap wanita berbalut kemeja dan rok span berwarna putih itu. "Perasaan sama saja, Tante."

"Tidak tuh, kamu betulan kurusan. Bukannya saya sudah bilang ya, kalau mau makan ke sini saja. 'Kan ada Mbok In." Ucap Tante Kiena sambil menuangkan teh ke dalam cangkir kecil dan diletakkan tepat di depanku duduk. "Kata Mbok In, kamu sama sekali tidak ada ke rumah selama kami pergi."

Aku kembali tersenyum tipis dan menggumam terima kasih. "Banyak tugas, Tante. Jadi, makan di kampus, terkadang membungkus untuk dibawa pulang-makan di rumah."

"Masih gagah kok," Ujar Om Ghazam dari arah halaman, tangannya yang terbalut sarung tinju-mengayun pelan sambil melangkah mendekat, seakan-akan sedang meninjuku.

Aku sedang duduk di teras rumah mewah berdesain kaca itu, duduk sejak lima belas menit lalu. Hanya berbincang kecil dengan Om Ghazam yang tengah asyik berlatih boxing.

"Ayah, nanti kena betulan loh Bible-nya." Tegur Tante Kiena.

"Tidaklah-" Tiba-tiba tubuhku terguncang ke arah kanan ketika Om Ghazam memukul bahuku cukup kuat, bahkan sampai terdengar suara hantamannya. Om Ghazam menatap Tante Kiena dengan mata terkejutnya sambil menegapkan tubuh.

Tante Kiena sendiri, menatap Om Ghazam dengan wajah sangat datar. "Baru juga dibilang, awas kena Bible."

"Maaf, Bun." Tangan yang terbalut sarung tinju itu perlahan mengelus bahuku. "Kau tidak apa-apa, 'kan? Maaf, Nak."

"Eh, tidak apa-apa kok." Ujarku tidak enak melihat tatapan Tante Kiena pada Om Ghazam. Aku sempat mengusap bahuku sekilas, cukup sakit juga sebenarnya. Namun, tidak mungkin kukatakan rasa sakitnya.

"Ganteng mau ajak Bi jalan-jalan lagi?" Tante Kiena bertanya setelah menaruh teh untuk Om Ghazam. Wanita anggun itu, duduk di sebelahku, sempat melirik sebal pada Om Ghazam. "Kali ini mau kemana?"

"Mungkin keliling dekat sini saja, Tante." Mengingat jika terlalu jauh kalau keluar dari Ibu Kota, belum lagi sampai di rumah kemalaman. "Tidak apa-apa kan, Om-Tante?"

Om Ghazam terkekeh, melepas kedua sarung tinjunya. "Om malah senang, kamu menjadi teman baik Bi, mau menemaninya berkeliling di saat kami tidak memiliki waktu untuknya bersenang-senang."

"Terpenting ... Tante selalu mendapat kabar dari Build, itu sudah cukup tenang." Timpal tante Kiena.

Aku mengangguk samar, "Maaf kalau pergi pertama kali tidak bisa membuat Build mengabari Tante, tempatnya cukup susah sinyal."

Om Ghazam dan Tante Kiena sempat saling pandang-menatapku tenang. "Untungnya kami tahu kalau Bi sama kamu, kalau dia menghilang begitu saja. Om pasti langsung melapor."

Om Ghazam tampak mendengus pelan. "Tante selalu menangis kalau Bi tidak ada kabar, bikin pusing. Jadi, ya Om bikin laporan orang hilang saja."

Aku tertegun sejenak, memang seharusnya orang tua seperti itu, 'kan? Khawatir berlebihan kepada anaknya. Mungkin, hanya keluargaku saja yang tidak begitu. Aku mengangguk kecil. "Saya usahakan Build tetap bisa memberi kabar kepada Om dan Tante."

Saat Tante Kiena terlihat menoleh ke arah rumah, aku turut menolehkan kepala. Melihat Build berjalan menghampiri Mbok In dan meraih segelas susu putihnya. Build masih mengenakan baju serba panjang.

Tante Kiena berdiri, "Bi masih sakit?"

"Enggak, Bunda."

"Kok masih pakai turtle neck?"

Hilang Naluri [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang