11 | Gaara Is A Reminder

1K 123 20
                                    

Kepulan asap terbang ke udara, mataku terpejam kuat menikmati sensasi dari setiap tarikan isapan dari sebatang gulungan kertas pada selipan di kedua jariku. Mataku terbuka sedikit, menatap langit-langit ruangan. Mulutku mendesah berat ketika euforia dalam kandungannya mencekat erat otakku.

Ini sangat nikmat.

Bolehkah aku katakan kalau rasanya ini sama dengan Build? Sangat nikmat. Aku merasa dapat melihat senyum manis Build saat kami berbincang, dan bibirku bergetar ketika aku tiba-tiba membayangkan isapan manis dari bibirnya. Sial. Aku tidak mungkin bermain di sini, 'kan?

"Bible ...."

Aku menjawab dengan gumaman, untuk membuka mataku dan menoleh saja, aku malas, apalagi harus bersusah payah mengangkat tubuhku untuk melihat siapa yang datang.

Pintu tertutup pelan beriringan dengan suara klik—pertanda pintu telah terkunci. Langkahnya terdengar perlahan mendekat dan duduk di sebelahku yang sedang duduk setengah berbaring.

"Tumben kau tidak pesan barang denganku, sekali datang malah meminta ganja." Ucapnya, tidak peduli jika aku sedang berhalusinasi karena mengisap ganja terlalu kuat.

"Kudengar kau habis menjenguk Papamu, ya?" Tanyanya lagi.

Aku masih menikmati kenikmatan ini. Tidak ingin menjawab pertanyaan apa pun yang keluar dari mulut sialan Mew.

Saat tanganku terangkat tepat di depan wajah, Mew manahan pergelangan tanganku. "Jangan mengisap lewat hidung, bodoh!!"

Aku mendesah berat, "Bright benar, lewat hidung lebih nikmat."

"Bright sialan itu kau percaya!!" Mew menarik lintingan ganja di sela jariku, dia turut mengisapnya dan bersandar sepertiku, menatap ke langit-langit ruangannya. "Sialan, sudah lama aku tidak mengisap ganja."

"Aku juga, terakhir kali mungkin lima atau enam tahun yang lalu." Ucapku mengingat-ingat.

Mew mengangguk kuat, "Kau ingat tidak? Kita berkenalan di rumahmu waktu itu juga karena ganja, 'kan? Kau duduk sendirian di balkon lantai tiga menatap rumah kaca itu sambil mengisap ganja."

Aku ikut mengangguk kuat, mengingat kesendirianku saat itu. Ketika di lantai dua dan tiga banyak aktifitas haram yang terjadi, aku sendirian di lantai tiga menikmati euforia dari sebuah lintingan berisi daun kering. "Rumah yang menenangkan, dari lantai tiga, aku jelas mendengar bagaimana alunan tuts piano itu berbunyi. Sangat indah. Guru les piano itu pernah memainkan satu lagu kesukaan Mama."

"Sialan. Kau jatuh cinta pada ibumu, ya?"

"Bodoh, memangnya ada yang tidak jatuh cinta pada ibu sendiri?" Orang bodoh mana yang tidak melakukan hal itu, "Seburuk apa pun seorang ibu, tetap menjadi cinta pertama bagi anak-anaknya."

Mew tiba-tiba menaruh punggung tangan di dahiku. "Wahh, sarafmu sudah kena, Bible."

"Sialan!!" Aku mengumpat sambil menghempaskan tangannya.

Mew terbahak. "Lalu, bagaimana dengan kabar rumah kaca itu? Aku tidak pernah berkunjung ke rumahmu lagi."

Memiliki standar kesadaran, aku mencoba mengingat memori itu. "Sudah pindah, suaminya mendapat tugas di tempat lain."

Mew berdiri ke arah kulkas, membukanya dan meraih dua kali soda beralkohol rendah. Melempar ringan ke arahku yang langsung dapat kutangkap dengan baik. Dia kembali berjalan ke arahku.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, jerk. Kau menjenguk Om Maxime?"

Aku hanya menggumam.

"Bagaimana kabarnya?"

Hilang Naluri [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang