36 | Teardrops

577 82 7
                                    

Build tengah berbaring di ranjang, memakai kaus oblongku dan masih memakai celana pendeknya sambil membaca majalah, aku yang baru keluar dari kamar mandi—langsung berjalan ke arah tas yang kuletakkan di lantai, tepat di bawah meja.

"Kenapa tidak makan?" Aku manatap makanan yang sempat kami pesan di resepsionis di atas meja, belum tersentuh.

"Tidak lapar," Jawab Build, meletakkan majalah ke atas nakas. Menarik selimut sambil membenarkan posisi bantal, aku meraih kaus tanpa lengan, lalu berjalan dengan kedua lutut di atas ranjang. Membuka kaus kebesaran yang dipakai Build, merangkak masuk ke dalamnya—mengecup perut, naik ke dada lalu sampai menembus pada bagian leher.

"Bible!!!" Build berteriak sambil tertawa keras. "Kausnya nanti melar!!"

"Beli lagi," aku memeluknya erat, menghirup bau tubuhnya yang menenangkan di dalam kausnya. Aku kembali masuk dan membiarkan rambutku yang terlihat. "Hmm, nyaman."

"Huh, dasar." Build memelukku, menepuk punggungku dengan lembut, ini sudah pukul delapan malam. Setelah berdebat panjang dengan Om Roy dan perjalanan yang tidak ada hentinya, aku memutuskan untuk beristirahat di hotel yang murah dan sepi. Terlalu beresiko jika memilih hotel berbintang, mereka akan memeriksa segala hal, apalagi mereka pasti memiliki keamanan yang ketat. Itu akan mempersulit.

Mataku terpejam erat, tubuh Build sangat hangat. "Biu,"

"Hm?"

"Jangan tinggalkan aku,"

Build terkekeh. "Memangnya mau ke mana? Aku saja tidak tahu ini di mana."

"Tidak tahu," aku mengedipkan mata sekali, pandanganku menerawang. Berada di dalam kaus yang Build pakai memang membuat sesak, tetapi aku sesak bukan karena itu. "Just following my gut feeling,"

Build menarik kausnya, mengeluarkan aku dari dalam. Dia merapikan selimut dan kembali memelukku, satu tangannya mengusap rahangku, menatap dengan sorotan sendu. "Aku di sini, berada di sekitarmu."

_____

"Damn," aku menggumam dengan mata terpejam, mengeratkan pelukan pada tubuh Build.

Sial.

Ini adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami, di saat seperti ini, kenapa aku harus melaluinya. Tidak bisakah biarkan aku hidup tenang sejenak saja? Aku membuka mata perlahan, mataku sudah memanas. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulit di setiap inci tubuhku.

"No, please, jangan sekarang." Perutku rasanya melilit, aku ingin muntah. Aku sangat ingat jika aku tidak menurunkan suhu pendingin ruangan, tetapi tubuhku menggigil. Aku memeluk tubuh Build dengan erat, mencari ketenangan.

Aku menggeliat kesakitan, seluruh tubuhku nyeri, bahkan kurasakan sesuatu mengikat kepalaku begitu erat.

"Bible," Suara Build lirih memanggil, dia terbangun. Tangannya mengusap peluh di seluruh wajahku, lalu dia menepuk pipiku agar aku membuka mata. "Hey, are you okay?"

Tubuhku masih menggigil, aku menutup wajah dengan masuk ke bahunya, tidak ingin sampai Build melihatku.

"Bible … Tubuhmu berkeringat, kenapa?"

"No, i'm okay," Aku semakin menenggelamkan wajahku.

Build menggeser tubuhnya, dia berganti posisi menjadi miring dan mencoba mengangkat wajahku. Namun, aku tetap melepaskan tangannya dari kedua sisi wajahku.

"Biu, pergilah."

"Ada apa?" Build sampai duduk dan mencoba mengubah posisi tubuhku yang telungkup dan terus menggeliat resah, aku kesakitan. "Bible!! Kamu kenapa sih!!"

Hilang Naluri [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang