Chapter 4: Ribuan jarum tak kasat mata.

3.6K 270 6
                                    

Happy reading
Stay healthy and keep smiling

√√√

"Hah... Akhirnya sampe dirumah." Helaan napas terdengar saat Azkano baru saja menidurkan tubuhnya yang lelah di kasur kesayangan.

Ia termenung menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, entah apa yang dipikirkannya hanya ia dan tuhan yang tau.

Brak

Sedang asik-asiknya melamun ia di kejutkan dengan suara pintu yang di buka kasar. Azkano menoleh ke pintu kamarnya dan disana terdapat sang ayah dengan keadaan kacau, namun ada yang aneh dengan ayahnya kenapa ayahnya menatap ia dengan pandangan tajam monolognya.

Septian mendekati sang anak yang sedang menatapnya dengan pandangan takut, ia menarik tangan Sang anak agar berdiri lalu mencengkram kedua pipi Azkano.

Azkano gemetar, ia sungguh takut sekarang. Keringat mengalir dari pelipis Azkano, ia sungguh takut dengan keadaan Septian yang sekarang, tidak biasanya sang ayah seperti ini.

"A-ayah... Ada apa?" Tanya Azkano setelah mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya kepada sang ayah. Septian tidak menjawab, ia menatap lekat wajah Azkano lalu tiba-tiba menyeringai.


Septian melepaskan cengkraman tangannya pada tangan dan pipi Azkano.

Azkano yang merasakan cengkraman sang terlepas pun segera mundur menjauhi sang ayah, namun Septian tidak tinggal diam ia mendekati Azkano yang berjalan mundur.

Terpojok. Azkano terpojok sudah tidak ada jalan untuk menghindari sang ayah.

"Heh... Kenapa tidak menghindar lagi?" Tanya Septian dengan seringaian lebar di mulutnya.

Azkano panik, bingung, takut, Azkano rasanya ingin menangis, ingin berteriak meminta pertolongan tapi kepada siapa? Tidak ada seorang yang bisa di mintai tolong olehnya.

Pak Mahmat? Jauh, rumahnya sangat jauh dari rumah Azkano, ke warungnya saja perlu beberapa menit dari rumahnya. Tetangga? Tetangga mereka tidak ada yang peduli, tetangganya terlalu cuek untuk mengurusi urusan orang, seperti 'Urusan Lo ya urusan Lo, urusan gue ya urusan gua' jadi sia-sia meminta pertolongan kepada tetangganya.

"Azkano Arkan Nicholas.... Sungguh nama yang sesuai dengan rupanya." Septian menjeda ucapannya, ia mengusap pipi Azkano ".... Rupa yang sempurna. Kulit putih, rambut hitam legam, wajah kecil dengan pipi tembam, mata besar berwarna hitam, tubuh mungil, dan beberapa luka yang mewarnai tubuh indah ini."

Azkano makin gemetar ketakutan. Septian sudah seperti kesurupan, tiba-tiba mengucapkan ciri-ciri tubuhnya.

Ada apa dengan ayahnya?

"Azkano ah tidak kita panggil dengan tuan muda Azkano." Setelah mengucapkan itu Septian makin menyeringai dengan lebar.

'Tuan muda' sejak kapan ia punya sebutan itu? Pikir Azkano dengan heran ketika sang ayah mengucapkan itu.

"Lo tau? Selama gua ngebesarin Lo..." Septian seketika mengubah kosakatanya "Lo itu bukan anak kandung gua."

Deg

Seketika rasa takut Azkano hilang mendengarnya, Azkano menatap wajah Septian ia menatap lekat wajah itu.

Memang benar, ia tidak ada kemiripan sama sekali dengan Septian mau pun dengan sang ibu.

Happiness for AzkanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang