11. Bertemu Mertua

2K 245 17
                                    

Kami mendarat di Bandar udara Adi Soemarmo solo dengan selamat. Tidak ada tolak angin atau panadol yang perlu aku konsumsi, lagian nggak bawa juga sih. Kami masing-masing hanya membawa koper kecil yang sebelumnya bobo manis di dalam kabin, jadilah sekarang kami langsung bisa melenggang keluar dari bandara.

Penampilan Genta yang berjas tampak mencolok di airport kecil ini. Mustahil kalau dia belum pernah berkunjung ke kota kecil ini, tetapi kenapa dia tidak tahu anjuran berpakaian di sini? Siapa yang menganjurkan, aku sendiri tidak tahu, mungkin hanya aku yang membuat anjuran tidak tertulis dan hanya mandeg di hati, jadilah tidak satu makhluk di dunia ini yang berhasil mengetahuinya.

¨Kita naik apa ke Pengging?¨

¨Taksi, bukan dokar,¨ jawabku, sembari berjalan ke konter taksi yang berada tidak jauh dari sisi pintu keluar.

¨Dokar itu, yang pake kuda bukan? Kayaknya seru juga kalau pake dokar.¨

Aku melirik ke arahnya. ¨Iya, sampe rumah nanti tengah malam, dan habis itu harus langsung kerokan.¨

Tawa renyah yang keluar dari bibirnya mengalahkan suara merdu Ed Sheeran, dan aku sudah mirip seperti groupie yang meleleh leleh di depan panggung.

Bapak supir taksi yang bertampang kalem seperti baru saja selesai semedi di gunung Semeru selama tujuh hari tujuh malam, meminta kami untuk mengikutinya, menggunakan jempol tangan menunjuk dengan kesopanan khas solo ke arah taksi berwarna putih yang berada tidak jauh dari kami.

¨Monggo, Mbak. Mas.¨

Genta meraih koper dan tas laptop dariku, meletakkannya di bagasi, mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu lalu menutup pintu. Dia sendiri berjalan memutar untuk menaiki taksi dari pintu sebelah. Hmm, ini adalah kualitas yang agak jarang ditemukan dari cowok Indonesia. Kenapa sik dia harus menjadi penjahat kelamin? Lalu aku tersadar, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Real life is cruel cintah, ini juga menjelaskan kenapa cewek seperti aku dan Kristina sulit mendapatkan pacar, karena cowok yang berkualitas memilih cuman menjadi walang keket, hinggap sono sini, tanpa berkeinginan untuk menetap. nasib.

¨Bade ten Pengging to, Mbak e?¨ (Mau ke Pengging kan, Mbak?) Pak supir bertanya dengan tingkat keademan suara melebihi hujan rintik-rintik.

¨Radi tebih sithik, Pak. Ten Malangan.¨ (Agak jauh sedikit. Ke Malangan)

¨Ooo, sing wonten wit gedene niko, to?¨ (Oh yang ada pohon besarnya, kan?) Pohon besar. Itu memang jadi penanda desaku dari jaman dulu, tapi kami bukan kumpulan demit atau apa. Pohon yang membutuhkan paling tidak pelukan lima orang dewasa itu, sudah ada sejak jaman Belanda, itu kata Simbah. Jaman kecil aku paling suka ngadem di bawah pohon itu, yang membuatku langsung dijewer Simbah, kata Beliau, jangan suka bengong di situ nanti kesambet Eyang. Yang ada, Simbah Putri yang nyambet aku.

¨Nggih, Pak.¨

¨Si Masnya ini, calonnya ya, Mbak. Orang Jakarta ya, Mas e?

Aku baru saja hendak membuka mulut untuk bersuara, tetapi Genta mendahuluiku. ¨Iya, Pak. Sudah pantes belum, nih?¨ Dia duduk merapat ke arahku, membuat lengan kami kini saling berhimpitan.

¨Cocok Mas. Mbak e cantik dan Masnya sudah kayak bintang pilem. Apa mudik buat nikah, to mbak?¨

Mampus, si Bapak ini sok taunya melebihi wartawan infotainment. Lagi-lagi aku kalah cepat dari Genta. ¨Mau ngelamar nih, Pak.¨ Dia melirikku. Wajahku saat ini pasti sudah penuh dengan kobaran api saking panasnya. Damkar mana. Damkaaar!

¨You see, I am taking my role seriously.¨ Kedua matanya tertuju ke wajahku, membuatku saat ini langsung sesak napas. Perasaan aku nggak punya penyakit asma. ¨I think you should recheck about 'no butt stuff' policy.¨ Kelopak matanya berkedip menggoda.

Love4Real.comTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang