Ini agak aneh. Oke, terlalu aneh. Berdiri di konter check in dengan Genta di sampingku. Kami belum berbicara sepatah katapun begitu turun dari mobil. Galih dan Bapak mengantar kami ke bandara.
¨Nitip Dinda, Nak Genta. Tolong dijagain baik-baik,¨ kata Bapak.
¨Baik, Om,¨ jawaban Genta, dengan suara yang terdengar final, seolah setelah ini kami memang masih akan tetap berhubungan. Seolah menjagaku adalah menjadi sesuatu yang dengan senang hati akan dia lakukan. Seolah yang terjadi sepanjang weekend ini bukan sekedar transaksi bisnis dan setelah itu kami tidak akan pernah bertemu kembali.
¨Kalau bisa, jangan lama-lama. Cepet disahkan, biar plong.¨ Bapak menepuk punggung Genta, dia melirikku sekilas.
¨Saya akan bicarakan dengan Dinda, Om.¨ Walaupun aku tahu pasti semua kata yang keluar dari mulutnya tidak akan pernah menjadi nyata, tetapi aku cukup berterima kasih karena dia menjalankan perannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan terlalu meyakinkan, aku takut membayangkan bagaimana nanti reaksi Bapak dan Ibu ketika aku mengabarkan bahwa aku 'putus' dengan Genta. Mudah-mudahan, sewaktu aku harus menyampaikan berita itu, aku benar-benar sudah mempunyai seorang pacar.
Kami masih sama-sama terdiam ketika berjalan ke arah lounge. Saat ini, ingin sekali aku tahu apa yang berada di dalam isi kepalanya, tentang kami, tiga hari dan dua malam yang baru saja kami lalui di kampung halamanku, tentang kami setelah ini? Apa dia memikirkan aku dan dia setelah ini? Uuurrgghh, terlalu over thinking, bikin sakit kepala, mana nggak bawa panadol!
¨Mau, aku ambilin kopi?¨ suaranya memecah kesunyian. Kami telah sampai di lounge, dan aku masih berdiri dengan bodoh di pintu masuk.
¨Uh?¨ hanya itu yang berhasil keluar dari mulutku.
¨I am sure they have decent coffee here.¨
Mataku sekilas menyapu ke meja berisi jajaran kudapan, terdapat mesin kopi yang menjanjikan kafein berkualitas berdiri manis di atas meja, lalu kembali ke arah wajahnya, dia masih menunggu jawabanku.
¨Yah. That will be ... nice.¨
Genta meraih koper dari tanganku, menempatkannya di sisi salah satu sofa kosong. Aku membuntutinya, duduk, kedua mataku mengikuti punggungnya yang berjalan ke arah mesin kopi. Ke badan menjulangnya. Hanya tiga hari dan dua malam, tetapi seperti sangat banyak yang sudah terjadi di rentang waktu pendek itu. Dari aku yang tidak tahu dia sama sekali, ke ... well, I am not sure I can say aku tahu dia sekarang, tetapi seperti ada sesuatu yang terbangun di antara kami. Apa ini perasaan ge erku saja? Yang tanpa malu terbangun dan membesar di dalam diriku?
¨Thanks,¨ kataku, ketika dia meletakkan kopi di depanku. Buih berwarna coklat serta wanginya mengundangku untuk meminumnya.
¨What are you thinking?¨ tanya Genta dari balik cangkir kopi miliknya.
¨Hah? Mmm ...,¨ aku menyerup kopi, mengulur waktu untuk berpikir. Apa yang aku pikirin? Mmm ... you? ¨Work. Jumat cuman setengah hari, dan nggak ada internet sepanjang weekend. Capacity, quantity ... garment business related stuff, and all that.¨ Aku meracau, gugup lebih tepatnya. Tanganku meraih tas laptop untuk menyamarkan kegugupanku. Sejujurnya, weekend ini terasa seperti liburan bener. Lebih libur dari liburan, karena kepalaku tidak dipenuhi dengan pekerjaan, tidak seperti weekend weekend biasanya, di mana interupsi pekerjaan selalu terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat.
¨Right.¨ Seperti ada nada kecewa dalam suaranya. Entahlah. Kedua matanya menggenggamku sebentar sebelum dia kemudian juga meraih Macbook miliknya. Tanpa menunggu lama, kami tenggelam dalam dunia kami masing-masing, mata terpaku ke layar laptop, kami duduk berhadapan, tetapi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Aku mencuri-curi pandang ke arahnya dari balik bulu mataku, tetapi dia seperti tidak menyadari kehadiranku di sini, seolah aku hanyalah satu dari sekian calon penumpang yang kebetulan berada di lounge ini, dan ini membuatku mencelos. Aku menginginkan kedekatan yang sempat terjalin di antara kami, tetapi sekarang, kami berdua kembali menjadi dua orang asing. Dinda dan Genta yang berada di Pengging seperti sebuah lakon wayang, dan sekarang adalah realita. Di alam realita ini, kami berdua hanya dua orang yang kebetulan berseberangan di tengah jalan. Dia tertarik denganku hanya sebatas tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love4Real.com
ChickLitBerada dalam kondisi kepepet karena rencana perjodohan oleh Bapaknya dengan pria berkumis yang sangat jauh dari tipenya, Adinda Sudibyo, seorang wanita karir sukses berumur 36 tahun (dua bulan lagi), mengikuti saran dua sahabatnya untuk bergabung ke...