17. Bakar Sate dan Efek Sampingnya

1.7K 226 10
                                    

Kami tidak banyak berinteraksi sampai di rumah, dia langsung menuju ke kamarnya dan aku juga melenggang ke kamarku. Aku menemukan diriku sangat penasaran dengan apa yang dia pikirkan, terhadapku, terhadap semua ini, terhadap apa yang akan kita lakukan setelah ini. Seandainya aku bisa membaca isi kepalanya.

¨Udah cipokan belum kalian?¨ tanya Kristina. Aku membutuhkan pengalihan dari Genta, tadinya aku berpikir, kedua sahabatku ini akan menjadi pengalihan jitu, tetapi pertanyaan pertama yang dilemparkan Kristina sangat sangat tidak membantu.

¨Sialan. Gue kan ke sini bukan buat pacaran,¨ gerutuku.

¨Yeh, biarpun cuman pura-pura, jangan sampe rugi dong. Secipok dua cipok kan lumayan.¨

¨Lo kira, gue ikan cupang!¨ semburku.

¨Eh tapi, serius. Gimana, Bo-Nyok lo percaya nggak? Bisa lolos lo, dari terkaman si kumis?¨ Kali ini Erina bertanya.

¨Genta, cukup jago berakting ih. Gue mulai curiga, jangan-jangan dia pernah ikutan kelas teater atau apa?¨

¨Jangan lupa cipok, bo. Pasti banyak tempat-tempat gelap kan disitu. Di rumpun pisang atau rumpun bambu kek!¨ cerocos Kristina.

¨Lo kira, gue kuntilanak!¨

Terdengar suara ketukan di pintu, diikuti dorongan pintu terbuka, tanpa menunggu ijin apalagi permisi. Genta berdiri di ambang pintu, rambut basah seperti habis keramas, ya iyalah, memang mau basah pake apalagi. Tangan bersedekap di dada, kedua mata lurus ke arahku. Dengan terburu-buru aku menekan tombol merah di layar ponsel, tanpa berpamitan dulu ke kedua sahabatku.

¨Aku belum ngasih ijin kamu boleh masuk apa enggak.¨

Alih-alih meminta maaf, dia menutup pintu, melangkah ke arahku. Aku merapatkan diri ke kepala tempat tidur begitu dia menghempaskan badan di sampingku.

¨Itu kenapa pintu di tutup? Nanti Bapak sama Ibu nyangka kita yang enggak-enggak,¨ kataku gugup.

¨Kenapa memangnya? Menurut sepengetahuan mereka kita kan pacaran.¨

¨Tapi bukan berarti kita bisa bebas berdua dengan pintu tertutup. Itu diluar perjanjian.¨

Dia menaikkan sebelah alis. ¨Suara kamu. Suara kalian, nyaring terdengar di luar.¨

Mampus!

¨Memang, kamu denger apa?¨

Dia mengelus dagunya yang hari ini terlihat lebih gelap dari kemarin. ¨Something about cipok. Ikan cupang dan akting?¨

Aku mengerang memelas. Membenamkan kepalaku ke atas bantal. Dia mendengar kata cipok mencipok, gimana aku akan bisa menghadapi makhluk ini dengan kepala tegak sekarang.

¨Should we do it?¨ tanyanya.

¨Apa?¨

¨Cipok.¨

Aaarrrggghhhh.

Dia tertawa rendah.

¨Aku ke sini, cuman ngasih tau, jangan sampai Bapak dan Ibu kamu denger. Suara temen kamu nyaring banget. Itu yang bilang cipok, cipok.¨

Aku hanya mampu membalas dengan erangan. Ini terlalu memalukan.

Lagi-lagi dia tertawa. ¨Ayuk, kita ditungguin di luar.¨

¨Sama siapa?¨

¨Galih dan Bapak kamu, lagi bakar sate di luar.¨ Dia berdiri, mengulurkan tangan ke arahku. ¨Kecuali kamu mau di sini dulu, buat cipokan.¨

¨Shut up!¨

Wangi aroma daging yang bertemu dengan api langsung membuatku lapar, di halaman samping Galih sibuk membolak balik bertusuk-tusuk sate yang dibakar di atas tungku, sedangkan Bapak sibuk mengiris tomat dan bawang merah.

Di keluarga kami memang sangat umum kaum lelaki terjun ke dapur untuk memasak. Pemandangan Bapak berkutat dengan tungku dan wajan adalah hal yang sangat lumrah, dan itu menurun ke Galih. Dia adalah laki-laki yang sangat bisa diandalkan di dapur. Aku penasaran dengan Genta, dia bisa masak? Atau tidak? Bayangan dia memakai apron di depan kompor tiba-tiba melintas tanpa permisi, terlihat seksi menggoda, apalagi dengan dada telan–

¨Dinda. Dinda!¨ Suara Genta menarikku ke alam sadar, aku memandangnya, masih terhalusinasi dengan bayangan dia memakai apron tanpa baju, pipiku memanas. Dia mencurengkan alis. ¨Kamu, kenapa? Pipi kamu merah gitu?¨

Tanganku sontak meraba ke arah pipi. ¨Enggak, kok. Cuman ... itu,¨ tangan menunjuk ke arah tungku. ¨Panas.¨

Kedua matanya menyipit, tidak percaya. ¨Nih, buat kamu.¨ Menyodorkan piring berisi beberapa tusuk sate.

Aku memandang ke arah sate, lalu ke wajahnya, berganti ke arah sate lagi. ¨Sejak kapan memutuskan untuk mengambil piring berisi tusukan sate jadi pekerjaan yang sulit?¨ bisik Genta.

¨Mas Bro, nih, buat kamu.¨ Galih menyodorkan piring ke arah Genta.

¨Buat Ratih atau Tante dulu, saya bantuin bakar sate.¨

¨Wis, to, Mas Bro. Sampeyan ini tamu spesial, jadi harus dijamu dulu. Kita, kita, selow aja.¨

Genta duduk di sampingku, meletakkan beberapa tusuk sate miliknya ke piringku, karena punyaku sudah habis, tandas ke perut. ¨Kayanya kamu lagi laper,¨ katanya.

Aku menggumamkan thanks, mencocolkan tusukan sate ke sambal kecap, memasukkannya ke mulut. Kedua mata Genta mengikuti gerakanku, seolah aku menggigit sate adalah suatu pertunjukan terindah di dunia. Perlahan-lahan kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum.

¨What?¨ tanyaku.

Dia masih mengulum senyum, jarinya menunjuk ke sudut bibirnya sendiri. ¨Ada, kecap di situ.¨

Sialan. Sejak kapan aku makan belepotan begini.

¨Di mana?¨ tuntutku.

Dua manik berwarna hitam itu seolah berdansa, lalu jatuh ke bibirku, tanpa aku ekspektasi ibu jarinya terangkat ke wajahku, menyapu lembut sudut bibirku, membuat jantungku berhenti sesaat. Mungkin dua saat, atau tiga? Jangan-jangan aku sudah tidak hidup lagi sekarang. Kedua matanya masih menggenggamku ketika dia membersihkan ibu jarinya dengan mulutnya. Oke, mungkin sekarang. Saat ini. In this very moment. Aku memang sudah berada di alam lain.

Suara batuk yang disengaja dan sangat berlebihan terdengar dari arah Galih. ¨Pak, siap-siap sebentar lagi mantu.¨

Aku mencabut perhatianku dari Genta, mengaduk sate ke sambal kecap dengan berlebihan. Dia sendiri masih mengulum senyum, menggigit satenya seolah yang baru saja bukan hal besar.

¨Yo ndak papa. Bapak siap buat mantu lagi. Iyo to, Bune?¨

Ibu mesam-mesem penuh arti. ¨Ibu ini lho, udah ndak sabar pengen nggendong cucu lagi.¨

Mampus!

Aku mengalihkan fokus ke arah sate, sia-sia, semburat hangat akibat sentuhan tangan Genta di sudut bibirku masih terasa sangat jelas. What's all this? Dia yang terlalu menghayati perannya atau dia melakukan ini tulus dari hati? Aku tidak menampik, suatu tempat di sudut hatiku mengharapkan apa yang dia lakukan adalah tulus, bukan akting, tetapi perkataan dia tadi sore bahwa 'we are not friends' membantingku ke realita. Sepertinya dia bahkan tidak ingin berteman denganku, walaupun aku juga tidak yakin akan bisa hanya menjadi sekedar teman untuk dia.

Kampreeet. Seharusnya weekend ini hanya akting, tidak dipenuhi komplikasi perasaan seperti ini! Aku tidak mengantisipasi semua ini, dan lebih jelas lagi, aku tidak mempersiapkan hatiku untuk menghadapi terjangan demi terjangan pesona dari pria bernama Gentala Abimanyu.

Aku berdiri, berjalan ke arah Ibu dan Ratih yang sedang duduk berbincang-bincang. Aku tidak bisa membiarkan diriku terus menerus terseret oleh arus banjir dari Genta, dimulai dari menjauhkan fisikku darinya. It's all strictly business. Dia memenuhi kewajibannya, dan aku akan memenuhi kewajibanku.

Love4Real.comTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang