21. Si Munchin

1.6K 212 11
                                    

Monday is always full of s–, oke, sopan Dinda, maksud aku full of work. Iya toh, iya toh? Siapa coba yang bisa ongkang-ongkang di hari senin? Pegawai kelurahan mungkin? Nanti aku tanya Bapak dulu.

Dimulai dari weekly meeting dengan semua tim, marathon, sudah persis seperti lari, ada efek menggeh-menggeh juga, bedanya kedua kakiku nggak kemeng. Menyisakan hari yang sudah hampir habis, bahkan untuk menjawab email yang sudah menggunung pun membuatku tersengal-sengal, belum lagi intermezo dari beberapa staff dan manager yang ingin berbicara empat mata, dari hati ke hati. Semuanya harus aku ladeni, dengan senyum mengembang, karena aku adalah Ibu mereka di sini, walaupun gilaaaaa ... ini email kapan bisa aku jawab?

Sisi positifnya, aku tidak memikirkan tentang Genta atau si Munchin. Not one bit! Oke, baiklah, sedikit. Ketika aku sedang break meeting dengan tim jersey, sewaktu menunggu cangkir kopiku terisi, tiba-tiba wajah Genta sudah nyelonong tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sialnya, ketika aku coba usir dari kepalaku, dia malah dada-dada sambil nyengir, yang membuat bayangannya menguap adalah 70.000 rok tutu untuk anak-anak yang terancam terlambat shipment. Hmm, ini benar-benar jauh dari konsep pegadaian 'mengatasi masalah tanpa masalah.'

Dan masalah berlanjut ketika aku sampai di apartemen. Karena otakku yang sebelumnya sibuk berpencak silat dengan pekerjaan kini mendadak mendapatkan penghuni ilegal, tidak lain dan tidak bukan adalah pria bernama Gentala Abimanyu. Ketika tanganku meraih ponsel untuk mengecek beberapa misscall dan puluhan pesan yang belum terjawab, yang pertama ingin aku temukan adalah apakah diantaranya ada dari Genta. Ada rasa kecewa tanpa dasar yang muncul ketika kenyataan yang aku temukan adalah tidak ada. Tak satupun misscall atau pesan dari lelaki itu.

Kampreeet!

Untuk siapa? Genta yang tidak mengirim pesan, atau diriku yang tanpa sadar sudah menginvestasikan terlalu banyak emosi untuk dia. Si Genta, laki-laki yang tidak mau terikat dan mempunyai si Munchin Kunchin. Aarrggghh.

Hari-hari setelahnya berlangsung kurang lebih sama, setiap denting telepon diam-diam aku mengharapkan itu dari Genta, dan jawabannya masih tetap sama. Tidak ada pesan apalagi telepon dari si makhluk bernama Genta! Lalu aku rasa kecewa timbul yang semakin lama semakin dalam. Dia bener-bener nggak mikirin aku? One tiny weeny bit? Yang kemarin di Pengging itu nggak ada artinya selain hanya berpura-pura? Omaigad, aku belum pernah secapek ini memikirkan seorang lelaki.

¨Dindaaa. Ya ampuun, lo lama banget sih, Nek, sampainya. Kita-kita sampe sudah mau kering nih nunggunya.¨ Kristina berteriak dengan tingkat kecemprengan yang mampu membuat beberapa pengunjung restoran menolehkan kepala.

¨Sorry guys.¨ Aku menghempaskan pantas ke kursi kosong dengan dramatis. ¨Dari pabrik langsung, macetnya, gilak! Kapan sik, Jakarta bisa nggak macet?¨

¨Kalo nenek lo, udah jadi Presiden!¨ sahut Erina, dari gelas minuman yang dari bentukannya bisa aku tebak adalah lemonade. Tanpa gula. Dia memang paling imun terhadap yang asem-asem, apalagi mukaku, yang memang sering terlihat asem.

¨Lo ngapain masih perlu ke pabrik?¨

¨Pan Adibusana, bok. Tau sendiri, gue kudu saingan dengan dua brand sport kelas dunia itu. Kalo nggak gue datengin sendiri, mana mau mereka ngasih kapasitas buat INITIAL.¨ Pan Adibusana adalah salah satu dari sedikit pabrik garment di dunia dengan teknologi dan kapabilitas sangat tinggi. Dua brand olahraga tersohor dunia adalah mitra bisnis mereka selama bertahun-tahun, mendapatkan kapasitas produksi di sana, membutuhkan pendekatan yang tidak akan cukup di level merchandiser manager.

Hari kamis malam adalah jadwal kami bertiga ngumpul, karena jumat malam adalah jadwal Erina pacaran, walaupun aku dan Kristina masih ngenes tanpa pacar.

¨Oke. Cukup urusan pabrik! Haram hukumnya membicarakan pekerjaan setelah jam kantor. Jadi, gimana itu si Genta? Dari kemarin lo bilang 'nanti, nanti' mulu, setiap kita tanya, lo kira kita nagih utang?¨ Kristina menegakkan badan bak seorang Ibu hakim.

¨Biar gue pesen minum dulu kek. Dehidrasi nih gue.¨

¨Udah gue pesenin. Es teh, gula dipisah. Makanan juga udah kita pesenin, kalo nunggu elo, kita semua bisa mati kelaparan!¨ kali ini Erina yang berbicara.

¨Jadi. Genta! Kalian jadi cipokan enggak?¨

¨Kepala, cipok melulu isinya.¨ Aku bersungut. Pelayan datang, membawakan minumanku, yang langsung aku sikat setelah mengucapkan terimakasih. ¨Ini, di luar rencana,¨ kataku, menikmati sensasi dinginnya es teh yang turun ke kerongkongan.

¨Apanya yang diluar rencana?¨ tuntut Kristina.

¨Genta?¨

¨Bicara yang tuntas kenapa, Jangan sepotong-sepotong! Erina terlihat tidak sabar.

Aku menarik napas. ¨Ketika merencanakan untuk 'bertransaksi' dengan dia, gue nggak merencanakan ini. Until this very moment, nggak ada kabar berita dari dia! Walaupun gue belum menyelesaikan 'transaksi' dari pihak gue, dan sebelum berpisah dengan jelas-jelas gue bilang bahwa dia yang ngatur jadwal 'transaksi' itu, dan untuk alasan dengan kemisteriusan kenapa Bran the Broken bisa duduk di Seven Kingdom dan Dani mati, gue galau. Level akut!¨

Ladies and gentlemans, ketahuilah, empat hari telah berlalu setelah kami berpisah di hari minggu petang, sampai detik ini, jam 8.13 menit, sekitar 44 detik, makhluk bernama Genta itu seperti hilang. Lenyap ditelan bumi. Tanpa kabar berita. Membiarkan diriku terkatung-katung.

Seharusnya aku senang. Karena dengan tidak ada kabar dari dia, mungkin dia lupa, dan aku tidak harus memberikan tubuhku kepadanya, tetapi yang terjadi kenapa malah sebaliknya? Setiap hari pikiranku dipenuhi oleh Genta. Genta dan Genta! Capek Jendral!

¨Gile, jangan-jangan, lo kena pelet,¨ Kristina bersuara.

¨You think so? Gue mesti mandi air tujuh sumur gitu? Biar daya peletnya ilang?¨

¨Hhmm, sulit. Sekarang nggak ada sumur lagi. Moso diganti dengan air tujuh ledeng.¨ Kali ini adalah pendapat tidak penting dari Erina.

¨The thing is. I don't think dia sejelek perkiraan gue?¨

Erina mencurengkan alisnya.

¨Sewaktu dia di kampung. Somehow gue ngerasa semua yang dia lakuin ke keluarga gue, ke gue, adalah genuine. Nggak dibuat-buat. Like, dia memang begitu, bertanggung jawab.¨

¨Yah, bo. Semua playboy memang kayak gitu kali, a charmer. Makanya dia bisa memikat banyak orang.¨

Aku terdiam. Itu juga yang selalu aku tekankan di kepalaku, kalau dia memang a charmer, karena ada maunya, tetapi di sudut hatiku yang kedalamannya tidak diketahui orang mengatakan, he is not like that.

¨Pas kita di taksi, dia nerima telpon dari Munchin.¨

¨Siapa, Munchin?¨ tanya Kristina.

¨Kalau gue tau, Kris, gue nggak perlu pake penasaran segala. Yang jelas, dia pake bilang I love you segala.¨

¨Mampus!¨ sahut Erina.

Kristina menepuk punggungku. ¨Aku padamu, sista. Dah, lupakan tuh orang. Kan misi awal memang butuh dia cuman buat jadi pacar pura-pura. Kerahkan energi lo buat mikirin Pan Adibusana, saingan lo berat di sana.¨

¨Iya. Lagian kalau dia nggak ngehubungin elo, lo nggak harus tidur sama dia. Kecuali, kalo emang lo pengen tidur sama dia.¨ Erina mengedip jail.

Bukan masalah tidur atau tidak, tetapi entah kenapa di sudut hatiku seperti ada yang gatal, karena tidak ada kabar darinya. Mungkin aku benar-benar ingin tahu lebih lanjut tentang dia. Or worse, deep down, walaupun pikiran itu selalu aku coba kikis, I want him more. More than just a brief fake boyfriend. Walaupun hanya sekilas, aku seperti tahu bahwa dia adalah seseorang yang baik. Bertanggung jawab. Someone ... I want to be with.

Mampus kan gue!

Love4Real.comTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang