13. Sabun Lavender

1.9K 235 24
                                    

Selesai makan malam, aku menggiring Genta ke kamar yang sudah disiapkan Ibu untuknya, alias bekas kamar Galih. Dia melihat kamar berukuran 3x3 dengan poster Nirvana serta The Smashing Pumpkins yang masih menempel di dinding. Ranjang single berposisi rapat ke tembok, sekarang aku baru sadar, mungkin ranjang kecil dan naas itu tidak akan muat untuk menampung badan Genta yang tinggi menjulang, belum lagi tidak ada AC di kamar ini.

¨Oke. Kamu tidur di kamarku!¨ Aku menyimpulkan. Dia menoleh ke arahku.

¨Kenapa?

¨Nggak ada AC di kamar ini, kulit kotamu yang cemerlang itu bisa meleleh sewaktu-waktu.¨

Keningnya berkerut. ¨Kamu pikir aku es batu.¨

¨Kamu tidur di kamarku aja, di sana ada AC dan itu,¨ jariku menunjuk ke arah tempat tidur. ¨Tidak akan sanggup menampung badan kamu.¨

Kedua matanya mengikuti arah jari telunjukku. ¨Siapa bilang. Cukup. Aku bisa tidur di sini.¨ Dia berjalan dan menghempaskan diri ke tempat tidur yang sekarang tampak seperti liliput, kedua telapak kakinya bergelantungan di ujung tempat tidur. Mau tidak mau aku terkekeh.

¨Tempat tidurku lebih besar. Hayuk.¨ Aku mengambil koper milik Genta, lalu berbalik badan.

¨Genta,¨ panggilku. Dia masih terbaring di tempat tidur.

¨I will be ok, Dinda. Kamu yang tidur di ruangan berAC, supaya kulit Putri Solo kamu yang tidak meleleh.¨

Kedua pipiku menghangat, tetapi aku tidak menyerah. Aku berjalan menghampiri dia yang masih berbaring di tempat tidur dengan kedua tangan berada di belakang kepala. ¨Aku nggak bakal memberikan kamu alasan untuk berakting buruk karena kamu tidak mendapatkan akomodasi yang memadai! Hayuk.¨ Tanganku meraih pergelangan tangannya, menariknya dengan sekuat tenaga, tetapi dia bergeming, hanya bibirnya yang perlahan-lahan menyunggingkan senyum. ¨Genta ...,¨ aku menarik lagi, dengan hasil nol. Dia membalik telapak tangannya, kini menggenggam tanganku. Aku tidak siap dengan posisi ini, jantungku memacu seperti Rahwana yang melihat Dewi Sinta, pipi yang sebelumnya hangat suam-suam kuku langsung mendidih, siap untuk membuat telur rebus. Kedua matanya menangkapku, seperti menawarkan sesuatu, entah apa, karena saat ini aku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Aku meloloskan tanganku dari genggaman tangannya.

¨Fine! Kalau kamu ngotot. Jangan salahin aku kalau kamu nggak bisa tidur.¨ Ngeloyor pergi, meninggalkan Genta, menata diriku yang saat ini sedang kocar-kacir. Sialan. Tujuan utama mengajak Genta kesini adalah untuk bersandiwara, bukan meluluhlantakkan tatanan diriku.

Aku kembali lagi ke kamar Genta, maksudku kamar Galih yang sekarang dihuni oleh Genta sebelum lima menit berlalu. Kedua tangan menggotong kipas angin ukuran jumbo berwarna putih, kalau besok pagi dia harus kerokan ya biarkanlah, minimal dia bisa tidur. Tanganku mendorong pintu tanpa permisi apalagi mengetuk terlebih dahulu, hal kemudian yang aku lihat membuatku langsung kejedot tembok.

¨Aaww. Kupret. Aduh.¨ Tanganku membekap pelipis yang menjadi korban tabrak lari oleh tembok. Genta sedang membuka kemejanya, menampakkan tubuh bagian atasnya yang berotot bak atlet profesional. Mungkin dia adalah golongan cowok heteroseksual yang selalu berlari di treadmil, dilanjut dengan ban press 2000 kali dengan sarapan protein shake dua ember. Ototnya, gila, gila! Ini efeknya akan membuatku sulit tidur, lebih sulit dibandingkan pocong gentayangan yang menyambangi kamarku.

¨Dinda, kamu nggak papa?¨ Genta muncul di depanku, dia melepaskan tanganku yang menutupi pelipis.

¨Aaww, jangan ditekan. Sakiitt!¨

¨Ini ... benjol. Kudu di kompres.¨

Tanganku meraba pelipis yang sekarang mempunyai gelembung kecil. ¨Nggak papa. Cuman benjol kecil.¨ Dia mengenakan kembali kemejanya, dengan tiga kancing teratas dibiarkan terbuka. Ini sengaja? Aku membuang pandangan mata, menolak magnet untuk mengintip ke balik bajunya yang sedikit terbuka. ¨Aku cuman nganterin ... ini.¨ Tanganku menunjuk ke kipas angin yang berdiri tak acuh dengan interaksi kami. Lha iya, cuman kipas angin.

¨Mmm, thanks. Ambil es batu dulu, biar aku kompres.¨ Matanya masih menelitiku.

¨Nggak papa. Dulu waktu kecil aku jatuh dari pohon setinggi tiga meter dan langsung lari-lari lagi.¨ Dia geleng-geleng kepala.

¨Aku pengen mandi. Kamar mandi di mana?¨

¨Oh. Hayuk.¨ Dia masuk sebentar ke dalam kamar, mengambil dompet toiletrisnya. ¨Baju. Itu. Dikancingin!¨ desisku. Jangan sampe Bapak dan Ibu ngeliat dia mondar mandir dengan dada setengah telanjang, bisa-bisa besok pagi penghulu langsung datang ke rumah. Dia hanya membalas dengan cengiran lebar.

¨Bentar. Aku ambilin sabun dulu.¨ Melangkah ke arah kamarku, yang bersisian dengan kamar Galih. Dia berdiri di ambang pintu, pandangan menyapu ruangan kamarku yang didominasi warna pink.

¨Britney Spears? Backstreet Boys?¨ salah satu alisnya terangkat ke atas.

¨Hey, Britney Spears itu genius, dan Backstreet Boys, bisa dibilang klasik.¨ Dia mendengus.

¨Memang, musik apa yang kamu dengerin. Mozart? Choppin?¨

Dia menyilangkan kedua tangan di dada. ¨Bukan, Backstreet Boys.¨

¨Backstreet Boys is the best boy band ever! Disamping NKOTB!¨ kali ini tawa renyah meluncur dari mulutnya. ¨Nih.¨ Aku memberikan tas bening yang berisi sabun cair dan shampo, benda ini selalu menemani kemanapun aku traveling.

¨Ini ... lavender,¨ katanya terbata.

¨Ya ... so?¨

¨Nanti, aku berbau ... lavender.¨

Giliran aku yang mengerutkan kening. ¨Ada yang salah dengan bau lavender?¨

Dia garuk-garuk kepala.

¨Hayuk. Jadi mandi enggak?¨

Dia memandang pouch bening yang berisi sabun lalu berganti ke wajahku. ¨Nanti kalau aku jadi gemulai setelah pake sabun ini, kamu bakalan kehilangan pacar.¨

Aku berdeham untuk membersihkan tenggorokan, bukan karena dia yang terancam jadi gemulai, tetapi kata pacar yang baru saja keluar dari mulutnya. Hah ... pacar!

¨Nggak papa. Bapak sama Ibu tetep bakal suka sama kamu, walaupun kamu beraroma lavender.¨

¨Kalau kamu?¨ tanyanya.

Mampus!

Love4Real.comTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang