3. Sebuah Kesempatan

51 12 14
                                    

Aku masih tidak tenang memikirkan kejadian tadi. Aku merasa Fendi seperti tidak suka saat Fathan berbicara kepadaku, seperti cemburu. Ah, aku ini kenapa jadi PD sekali mana mungkin Fendi cemburu denganku, tertarik denganku saja sepertinya tidak karena laki-laki itu sangat cuek tapi yang namanya perasaan tidak ada yang tau, kan.

Aku segera bersiap untuk mandi karena setelah aku pulang sekolah, aku nya berdiam diri di kamar melamun memikirkan kejadian tadi siang.

"Ren, itu ada temanmu dateng ibu suruh nunggu didepan, kamu cepetan mandinya." Aku yang masih ganti baju kaget. Siapa gerangan orang yang datang?

"Lho Fathan, kamu ngapain ke rumahku?" Aku kaget melihat laki-laki yang kupikirkan beberapa menit yang lalu muncul dihadapanku sekarang. Aku mempersilahkan Fathan masuk.

"Aku mau minta maaf soal tadi siang, aku udah kelewatan tadi," tutur Fathan. Aku terdiam sesaat.

"Aku udah sok tau dengan ngatain kamu, aku minta maaf ya," tambah Fathan.

"Lain kali kalau kamu belum tau yang sebenarnya kamu jangan menilai sesuatu hanya dari satu sisi aja karena kamu gak tau apa yang orang lain itu alami," tegasku.

"Maaf Ren, aku tadi salah ngomong harusnya aku gak ikut campur ngatain kamu segala," sesal Fathan.

"Ya aku maafin," ujarku.

"Oh ya nih aku kasih kamu, ini tadi beli di supermarket deket rumahmu." Fathan memberikan bungkusan padaku.

"Ini dalam rangka apa?" tanyaku.

"Ya buat permintaan maaf aku gitu, biar kamu gak BT lagi," sahutnya. Aku hanya manggut-manggut. Ternyata Fathan tak seburuk yang aku pikirkan.

"Oke, thanks ya," ucapku. Fathan kemudian pamit pulang. Rumah Fathan memang lumayan dekat dengan rumahku. Aku masih tak menyangka bahwa Fathan datang ke rumahku dan meminta maaf padahal bisa saja besok di sekolah.

***
Hari ini, cuaca di kota Kediri sangat cerah. Aku senang sekali karena hari ini tidak mendung seperti kemarin dan semoga sampai dengan pulang sekolah karena nanti, aku akan pergi bersama Farhan, Abangku yang baru pulang dari rantau. Dia bekerja di Jakarta sebagai kurir paket. Abangku masih berumur 19 tahun saat itu. Nasibnya juga sama denganku yang sekarang, tidak bisa kuliah dan harus bekerja membantu ayah. Sekarang dirinya sudah tidak bekerja di Jakarta. Dia ikut membantu paman mengurus bengkel. Ya, paman punya bengkel walaupun tidak besar. Ah, balik lagi yuk ke cerita awal.

Aku bersenandung kecil melewati lapangan sekolahku. Dulu aku pernah menolak untuk bersekolah disini namun, pada akhirnya takdir membawaku disini. Aku kagum dengan lingkungan sekolah yang bersih dan rapi. Disini pula, kenangan awalku bertemu Fendi dan akhirnya menjadikan laki-laki itu sebagai cinta pertamaku. Rasanya sangat indah untuk dikenang.

"Ren!" Teriak seseorang dibelakangku membuyarkan lamunanku. Aku menoleh melihat siapa orang itu.

"Fathan," kejutku. Kenapa laki-laki ini harus muncul sekarang. Sungguh, aku tak berselera untuk berdebat sekarang.

"Kamu suka kan sama pemberianku kemarin?" tanyanya.

"Oh itu. Iya suka kok," responku.

"Bagus deh, nanti pulang sekolahnya bareng aku, mau gak?"

"Hah..pulang sama kamu?"

"Iya, aku mau ajak kamu makan bakso langgananku soalnya, aku gak ada temen yang mau aku ajak. Mau yah," pinta Fathan. Aku masih bengong ditempat. Aku tak tau harus berekspresi apa.

"Nanti aku yang traktir deh, pokoknya harus mau nih," paksa Fathan.

Aku sebenarnya ingin pergi bersama Abangku namun kasihan juga dengan Fathan. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima ajakannya

"Ya deh mau, tapi cuma bentar aja ya soalnya aku juga ada janji," ujarku.

"Oke siap. Makasih ya. Sampai jumpa nanti." Kemudian laki-laki itu meninggalkanku. Aku kemudian mengetikan pesan pada Abangku agar perginya nanti sore saja.

"Eh, nanti kamu ada acara gak Ren?" tanya Sitha.

"Kalau gak ada acara, main yuk ke rumahku nanti aku tunjukin kucing kesayanganku, katanya kamu pengen liat," tambah Sitha.

"Duh gimana ya, aku udah ada janji sama temen," sahutku. Aku tak mungkin menjelaskan akan menemani Fathan.

"Oh gitu, oke deh."

"Maaf ya Sit, kapan-kapan aku main ke rumahmu," ujarku.

"Oke, gak papa kok Ren," balasnya sambil tersenyum.

Bel masuk pun sudah berbunyi, aku segera menyiapkan materi yang akan dipelajari hari ini.

"Anak-anak minta perhatiannya sebentar!" Seru Bu Aini, wali kelasku.

"Sebelum memulai pelajaran, ibu mau kalian menulis nama kalian masing-masing di kertas kecil kemudian digulung, jika sudah bisa dikumpulkan ke depan. Ibu ingin mengacak tempat duduk kalian agar bisa lebih akrab satu dengan yang lainnya!"

"Yah, gak bisa duduk sama Naima lagi dong," celetuk Karina.

"Yah gak bisa sebangku sama Bisma dong, ah gak seru," gerutu Denis.

"Yah jangan dong Bu, kami udah nyaman sama teman sebangku kami masing-masing," protes Tama.

Begitulah reaksi teman-temanku. Mereka keberatan kalau harus acak tempat duduk. Aku hanya diam saja tak ikut berkomentar karena sedang memikirkan Fathan yang tiba-tiba saja ingin mengajakku pergi. Aku rasanya seperti orang yang baru saja diajak berkencan. Aku segera mengenyahkan pikiran-pikiran aneh dikepalaku.

"Pokoknya ibu gak mau tau, kalian harus cepat tulis nama kalian kemudian kumpulkan ke depan, sekarang!"

Akhirnya satu kelas pun menyerah. Aku menulis namaku lalu mengumpulkannya ke meja guru.

Setelah semuanya mengumpulkan, Bu Aini memanggil nama kami secara acak untuk mengambil salah satu gulungan.

"Renia, silahkan maju ke depan!" perintah ke depan. Aku tak menyangka bahwa namaku yang pertama dipanggil.

Aku segera melangkah maju dan mengambil kertas gulungan itu random. Berapa terkejutnya aku melihat siapa nama yang tertera.

Apakah aku sedang bermimpi?

Aku masih tidak percaya kenyataan ini.

"Siapa namanya Renia?" tanya Bu Aini.

Kira-kira siapa ya yang bakalan duduk semeja sama Renia? Author ikutan penasaran nih wkwk.

Jangan lupa vote dan komen biar lebih semangat lagi nulisnya. Author mengucapkan terimakasih banget buat yang mau baca cerita ini 💙💙.


Fathan & Putih Biru (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang