16. Naima & perasaannya

31 12 25
                                    

Aku tak henti-hentinya menggerutu. Aku sekarang bingung harus bagaimana. Apa aku bisa tampil di panggung besar itu sambil membawakan puisi buatanku yang entah itu bagus atau tidak. Siapapun tolong aku sekarang!

"Than, jangan aku dong siapa gitu kek yang ikut tapi jangan aku ya." Aku terus membujuk Fathan sekali saat kami di parkiran. Laki-laki itu hanya diam dan pura-pura tak mendengarkanku.

"Ayo dong jangan kayak gini. Aku gak PD banget Than," tuturku.

Laki-laki itu menghentikan langkahnya kemudian menatapku datar. Ia lalu berkata, "Kamu pasti bisa Ren, kamu punya bakat nulis kan jadi ngapain musti gak PD. Lagian, gak ada kandidat lain yang cocok buat ikut musikalisasi puisi dan aku maunya kamu yang jadi patnerku."

"Kenapa aku Than, alasannya apa?" tanyaku penasaran.

"Udah pokoknya aku cuma maunya Kamu yang jadi patner aku kalau bukan kamu, aku gak mau ikutan lomba itu." Laki-laki itu melenggang pergi begitu saja dari hadapanku. Aku sama sekali tidak mengerti alasan Fathan yang tetap ingin aku ikut lomba.

"Than, aku belum selesai ngomong," pekikku sambil mengejar Fathan. Aku masih harus mencari penjelasan pada Fathan.

"Kasih aku satu alasan kenapa harus aku?" tanyaku.

"Aku capek Ren, mau pulang. Pokoknya, kamu harus siap ikut lomba dan bikin puisi yang bagus dan menarik." Fathan kemudian mengayuh sepedanya meninggalkanku sendiri.

"Ih ditinggal gitu aja lagi." Aku benar-benar kesal dengan Fathan yang pergi begitu saja sebelum memberiku penjelasan.

***
Aku masih berdiam diri di kamar. Aku sedari tadi sibuk menulis bait-bait puisi untuk lomba. Sudah berapa kertas yang aku sobek karena belum cocok. Aku memang suka nulis puisi namun, itu hanya aku simpan di buku diary dan hanya teman dekatku saja yang tau, itupun entah bagus atau tidak puisiku.

"Aih, kesel banget sih sama Fathan, kenapa harus aku yang ikut musikalisasi puisi apa coba alasannya," gerutuku.

"Gimana coba kalau puisiku jelek, tar malu-maluin lagi," gumamku.

Aku beranjak sebentar dari meja belajar. Aku ingin mencari inspirasi dulu karena pikiranku benar-benar  buntu. Jika aku paksa menulis, yang ada malah buruk hasilnya.

"Apa aku diskusi sama Fathan aja ya besok, biar dia juga mikir bikin puisinya kan dia juga yang ngiringin pake gitar," gumamku pada diriku sendiri. Aku tak mau pusing sendirian biar adil, kan.

Aku kemudian menutup buku catatanku dan rebahan di kasur. Aku mulai terlelap dalam dunia mimpi.

***

Aku segera memakai seragam putih biruku dengan tergesa-gesa. Aku terlalu pulas tertidur sampai tidak mendengar alarm berbunyi. Jam sudah menunjukkan pukul 06.25 dan aku tadi baru bangun jam 6 pagi.

"Bang, yuk anterin ke sekolah takut nanti ditutup gerbangnya!" perintahku. Abangku yang masih sibuk dengan ponselnya menatapku datar.

"Kamu tuh emang kebiasaan Ren, selalu aja dadakan nyuruhnya, mana belum mandi ini."

"Alah udah deh buruan, daripada aku telat terus kena hukuman," bantahku. Aku terus memaksa Abangku karena aku tak mau baris di tengah lapangan dan panas-panasan.

"Yaudah deh, tapi jangan protes kalau bau ya," celetuk Abangku.

"Tenang aja aku ada masker jadi nanti kalau bau, aku pakek," ucapku sembarangan. Abangku segera mengambil kunci motornya.

"Bu, Renia berangkat dulu ya, nanti keburu ditutup gerbangnya," teriakku karena Ibuku sedang berada di dapur.

"Gak sarapan dulu, Ren?"

Fathan & Putih Biru (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang