Aku sedang bersama laki-laki itu sekarang. Dia mengajakku ke taman belakang sekolah. Aku menumpahkan air mataku tanpa peduli dengan Fathan yang ada di sebelahku. Adegan tadi sudah cukup menjelaskan bahwa aku harus menyerah dengan perasaan ini. Aku tak mau terluka lebih dalam lagi.
"Keluarin semua air mata kamu, habisin sekarang tapi inget, besok jangan tangisin dia lagi."
"Buat apa tangisin orang yang gak peduli sama kamu, itu gak ada gunanya sama sekali, yang ada cuma buang energi aja," sambungnya dengan pandangan teduhnya.
Aku masih diam tak bergeming. Pandanganku masih buram. Wajahku sangat jelek karena terus menangis. Saat itu adalah pertama kalinya aku merasakan cinta jadi wajar saja, aku berlebihan menyikapinya. Aku juga tidak tahu apa yang bisa membuatku menyukainya. Semua terjadi begitu saja.
"Kamu harus move on Ren, dia gak pernah suka sama kamu. Dia gak pernah peduli sama kamu."
"Tapi aku gak bisa lupain dia gitu aja," jawabku.
"Pelan-pelan Ren, kamu pasti bisa. Cowok gak cuma dia aja, masih banyak yang mau sama kamu," ucap Fathan.
"Siapa hah? siapa yang mau sama aku?"
"Ada pokoknya. Intinya, kamu berhak bahagia." Fathan terus meyakinkanku.
"Aku mau jadi sahabat buat kamu selain Sitha sama Desi asalkan, kamu mau lupain dia."
"Lagian gak capek apa sakit hati terus?"
"Tuh tuh mukanya jelek banget kayak nenek lampir," ejek Fathan. Laki-laki itu kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Ihh nyebelin banget sih."
Fathan masih menertawakanku. Aku semakin kesal dengannya.
"Biarin aja kalau masih nangis, aku panggil aja nenek lampir, hayolo."
"Tinggal pilih aja mau dipanggil nenek lampir apa gula aren?" sambungnya.
"Bodo amat, ngak peduli." Ketusku.
Aku masih belum bisa melupakan Fendi begitu saja. Entahlah, mungkin
Suatu saat nanti aku bisa melupakannya tapi tidak untuk sekarang."Nanti pulang sekolah jalan-jalan yuk, aku mau ajak kamu ke simpang lima, mau gak?"
"Ngapain ke sana?"
"Udah pokoknya ikut aja, aku gak terima penolakan." Aku menghela nafas kasar. Aku sudah tak ada energi untuk berdebat dengan Fathan.
***
Aku dan Fathan mengayuh sepeda pelan sambil menikmati senja sore ini. Aku sudah minta izin dengan abangku pulang terlambat.
"Wah, rame banget ya ternyata kalau sore," seruku saat tiba di simpang lima. Jujur saja, aku jarang kesini semenjak abangku merantau.
"Di sini emang rame apalagi kalau ada konser, penuh ni lapangan," jelasnya. Aku hanya manggut-manggut sambil mengamati sekitar.
"Yuk ke sana!"
"Kita, duduk di deket orang yg lagi main layangan." Aku hanya mengikuti arah Fathan. Aku memakirkan sepeda di lahan parkir dan berlari ngikuti Fathan.
"Eh, kamu mau batagor gak? Kalau mau aku beliin dulu di sana," tunjuk Fathan ke arah stand kaki lima.
"Boleh deh satu tapi jangan pedes banget ya, sedang aja." Aku menyerahkan uang lima ribu pada Fathan.
"Oke, siap."
Aku kembali melanjutkan kegiatan menonton orang yang sedang bermain layangan. Aku jadi ingat abangku yang dulu sering mengajakku bermain layangan. Kita bercanda dan tertawa menikmati permainan. Aku mengikuti arah layangan, takut jika jatuh dan hilang. Hidupku dulu sangat indah dan ceria. Aku rindu masa kecilku yang tidak pernah merasakan apa itu patah hati. Bebas tertawa riang tanpa ada beban yang berarti.
"Woii, ngelamun aja kesambet baru tau rasa lho, nih batagornya sama es tehnya."
"Lho, aku perasaan gak pesen es teh deh, kok ada es teh?"
"Itu bonus dari aku, masa makan batagor gak minum, kalau seret gimana?"
"Oh ya deng," cengirku.
"Makasih lho udah beliin es teh segala, tapi ini ikhlas kan?"
"Ikhlas lah kalau gak ikhlas, aku udah minta ganti ke kamu."
"Okelah kalau begitu."
Aku melahap batagor dengan semangat. Gara-gara menangis tadi, energiku terkuras habis sehingga lapar melanda.
"Kamu lahap banget, kalem kali tar keselek lho," celetuk Fathan.
"Biarin aja, aku laper banget gara-gara nangis tadi."
"Yaudah tapi pelan-pelan napa kalau keselek kan repot," ucapnya.
Aku hanya mengangkat jempol sebagai respon. Aku benar-benar lapar kali ini, tak peduli dengan segalanya.
Setelah kegiatan menyantap selesai, aku kembali menatap orang yang bermain layangan.
"Kamu liatin mereka kenapa? pengen main layangan?"
"Aku gak bisa main layangan, Abangku yang jago main layangan."
"Aku juga jago kok, mau liat gak?"
"Oh ya? coba tunjukin, aku mau liat nih."
Fathan berjalan menuju orang yang sedang duduk. Sepertinya, sedang beristirahat. Fathan berbicara sebentar dengan orang itu, kemudian meminjam layangannya.
"Ren, tolong pegangin layangannya!"
Aku bangkit dari tempat dudukku menghampiri Fathan.
"Siap ya dalam hitungan ke tiga, kamu terbangin layangannya," teriaknya.
"Satu...Dua...Tiga." aku mulai menerbangkan layangan ke udara. Rasanya bahagia sekali sore ini. Masa kecilku bersama abangku terulang lagi. Rasa sakit hatiku terlupakan begitu saja dengan kehadiran Fathan. Andai saja Fathan tidak mengajakku ke sini, aku bisa saja berada di kamar berteman dengan tisu-tisu yang berserakan mengotori lantai kamarku. Sungguh, itu sangat menyedihkan.
"Gimana seru kan?"
"Iya seru banget, ternyata jago juga ya seorang Fathan ini," pujiku.
"Siapa dulu, Fathan gitu lho," ucapnya dengan penuh percaya diri.
"Sombong kamu."
"Bukannya sombong tapi itu faktanya jadi, jangan gengsi untuk mengatakannya."
"Oke, terserah deh," jawabku pasrah.
"Tapi sekarang udah happy dong?"
"Ya, lumayan lah. Btw, makasih ya buat hari ini udah bikin aku bahagia setelah adegan menangis tadi."
"Sama-sama. Pokoknya harus bahagia. Aku gak mau ya punya temen kayak nenek lampir, serem tau." Fathan terkekeh geli karena berhasil membuatku kesal.
"Tuh kan, mulai lagi deh. Nyebelin tau gak," rengekku.
"Makanya jangan nangis terus."
Aku masih kesal sekaligus bahagia. Kehadiran Fathan selalu bisa membuatku terhibur.
Selamat malam wahai para pembaca setiaku. Buat yang masih setia baca aku ucapkan banyak terima kasih karena bersedia baca cerita dariku ini. Gimana hari ini? Pokoknya harus tetap semangat ya🤗💙
Part ini author ikutan bahagia karena tingkah Fathan 💙💙
Buat yang lagi patah hati kayak Renia, harus tetap semangat ya, harus selalu bahagia pokoknya🤗🤗
Jangan lupa vote dan komen ya supaya, author jadi semangat lagi nulisnya.
See you💙💙. Oh iya, ada salam dari Fathan nih katanya "Jangan lupa bahagia hari ini."
Thanks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fathan & Putih Biru (Completed)
Fiksi RemajaMasa remaja memang masa yang paling indah untuk dikenang. Masa dimana kita mulai mencari jati diri dan bertemu dengan seseorang yang membuat kita pertama kali merasakan jatuh cinta. Meski terkadang cinta pertama tak selamanya indah namun, cinta pert...