18. Puisi untuk Lomba

24 8 26
                                    

Kejadian kemarin masih terbayang hingga saat ini. Bayangkan saja orang yang kalian suka akhirnya mengajak untuk pulang bersama. Mulai saat ini, momen itu adalah momen yang bersejarah dalam hidupku.

"Kayaknya ada yang lagi bahagia nih," celetuk Sitha. Sepagi ini aku sudah berangkat sekolah karena terlalu bersemangat.

"Sit, aku kemarin pulang bareng Fendi."

"Hah?? bareng Fendi?" Sitha tampak kaget dengan ucapanku.

"Iya, tau nggak, dia yang nawarin buat bareng duluan lagi, wah seneng banget aku." Aku sangat kegirangan menceritakan ini pada Sitha.

"Cie cie, pantes aja udah berangkat pagi begini, nggak taunya karena pengen ketemu Fendi lagi ya. Semoga aja habis ini, kebagian PJ alias pajak Jadian."

"Masih jauh banget Sit, belum tentu si Fendi suka sama aku."

"Ya kali aja selama ini, Fendi suka sama kamu tapi gengsi kan," tutur Sitha. Aku hanya mengedikan bahu tanda tak tau.

"Udah deh Sit, aku gak mau kebanyakan halu dulu, ntar yang ada nyesek lagi," kataku.

"Yaudah deh, terserah."

Aku celingukan mencari keberadaan Fendi. Laki-laki itu belum nampak batang hidungnya, biasanya sudah hadir.

"Kok belum dateng ya, apa jangan-jangan gak masuk? tapi kemarin aja abis nganterin aku, gak ada tanda-tanda sakit," batinku. Aku perang batin dengan pikiranku sendiri. Aku tak mau menerka yang tidak-tidak.

Kurang 5 menit lagi bel berbunyi namun, Fendi belum datang juga.

"Eh Rin, kamu tau Fendi gak?" tanyaku pada Karin siapa tau, Fendi memberitahu Karin.

"Fendi hari ini izin gak masuk, sakit katanya. Ini suratnya aku bawa, kemarin dia ke rumahku nitip surat," ucap Karin. Lagi-lagi kenyataan seakan mempermainkanku. Aku tetap berusaha tenang kali ini.

"Oh gitu, yaudah deh." Aku kembali ke mejaku. Semangatku mendadak lenyap entah kemana.

"Hey, gula aren." Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku sangat mengenali suara itu, siapa lagi kalau bukan Fathan.

"Ngapain bengong aja, muka udah kusut banget," celotehnya.

"Apaan sih, Udah deh aku lagi males ribut."

Fathan lalu kembali ke meja belakangku tanpa kata. Aku sedang malas untuk menanggapi ocehan randomnya.

"Hay Than, aku minta ajarin rumus yang ini dong, aku gak paham nih," ucap Naima yang aku dengar. Sepertinya, Naima sedang mulai mendekati Fathan. Aku kembali fokus dengan buku tak memperdulikan mereka.

"Selamat pagi anak-anak, kita mulai pelajaran hari dengan doa, silahkan Fathan dipimpin doa!" titah Pak Samsul.

Kami mulai menundukan kepala untuk berdoa.

"Ren, geser dong," bisik seseorang dibelakangku. Aku menengok ke belakang ternyata Fathan.

"Apa?

"Geser dong, aku mau duduk disitu," ucap Fathan.

Aku tak enak dengan Naima yang duduk disebelah Fathan.  Aku melirik kearah Naima yang juga menatapku dengan ekspresi datar.

"Ngapain sih, kasian Naima tar sendirian," ucapku. Semoga saja laki-laki ini mengerti.

"Udahlah Naima gak papa kok, ya kan Nai?"

"Iya kok, gak papa," ucap Naima pelan.

"Fathan, Renia! Jangan berisik ya, atau kalian berdua mau saya hukum berdiri di depan kelas." Aku spontan langsung gelagapan. Seluruh isi kelas menatap kearahku dan Fathan. Aku takut dihukum.

"Maaf pak, tadi saya mau pinjem pulpen sama Renia, Pak," jawab Fathan berbohong.

"Yasudah, tapi sekali lagi kalian berisik, saya suruh berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran saya habis!" ancam Pak Samsul.

"Ren, buruan geser, sekalian nanti kita diskusi buat lomba musikalisasi puisi," ucap Fathan.

"Gak papa kan Nai?" tanya Fathan pada Naima.

"Ya, gak papa kok," ujarnya pasrah.

Laki-laki itu kemudian pindah duduk disebelahku. Aku menatap Naima dengan tatapan minta maaf. Aku takut Naima marah padaku. Naima membalas menatapku sambil berkata,"Nggak papa," tanpa suara. Fathan benar-benar membuat posisiku serba salah.

***
"Naima, tunggu dulu!" teriaku memanggil Naima yang akan keluar kelas.

"Aku minta maaf ya Nai, aku merasa nggak enak sama kamu. Pasti kamu sedih karena Fathan tadi duduk disebelahku ya?"

"Enggak papa kok Ren, kamu kenapa minta maaf sih, Fathan itu bukan pacar aku jadi, aku gak berhak marah sama siapa cewek yang deket sama Fathan. Aku cuma berusaha untuk deket sama Fathan," ucap Naima.

"Aku akan berhenti ketika Fathan udah nentuin pilihannya karena, perasaan gak bisa dipaksain." Aku melihat raut kesedihan dibalik ucapan Naima. Siapa yang tidak sedih ketika cintanya bertepuk sebelah tangan?

Aku juga merasakan hal yang sama karena aku juga menyukai laki-laki yang sedang dekat dengan perempuan lain.

"Aku salut banget sama kamu Nai, kamu sabar banget, semoga perasaan kamu berbalas ya."

"Aamiin Ren. Aku duluan ya Ren, mau ke ruang OSIS sebentar," pamit Naima.

"Iya Nai."

Aku menyusul teman-temanku ke kantin karena Sitha dan Desi pasti sudah menungguku.

***

"Ren, gimana kalau kita bikin puisinya di taman komplek rumahku aja, sekalian nanti aku ambil gitar dulu ke rumah," ujar Fathan.

"Oke deh."

Aku dan Fathan pergi menuju taman kompleks dekat rumah Fathan.

Sesampainya disana, Fathan pamit untuk pulang sebentar mengambil gitar.

"Ren, aku pulang sebentar ya. Kamu mau ikut ke rumahku aja atau nunggu disini sebentar?" tanya Fathan.

"Aku nunggu di sini aja deh Than, gak papa kok," tolakku. Aku malu jika harus ke rumahnya saat itu.

"Yaudah deh, aku pergi dulu ya," ucapnya.

Aku memilih duduk di kursi taman yang berada di pinggir taman karena dekat dengan pohon sehingga tidak kepanasan. Aku menulis beberapa kata untuk puisi kami.

Setelah beberapa menit berlalu, Fathan datang dengan gitarnya. Kancing bajunya dibuka semua hingga menunjukkan kaos putihnya.

"Than, ni aku udah buat separuh puisinya menurut kamu gimana?" tanyaku

"Hm, lumayan sih, oke deh nanti aku lanjutin separuhnya," katanya.

"Sumpah aku bingung banget buatnya, kamu kenapa sih gak pilih siapa gitu selain aku. Aku demam panggung, Than."

"Gak papa Ren, justru kamu harus lawan rasa takut itu," jawab Fathan.

"Gak tau deh, semoga hasilnya memuaskan ya."

"Ya, semoga aja." Setelah Fathan menyelesaikan menulis puisi, ia mencoba memainkan gitarnya untuk menyelaraskan puisi dengan irama gitarnya.

Setelah selesai, aku pamit pulang karena hari sudah semakin sore.

"Yaudah aku pulang dulu ya," pamit Fathan.

"Oke Ren, hati-hati." Aku hanya menganggukkan kepala.

Halo selamat malam para readers. Semoga tetap semangat ya. Semoga juga masih setia ngikutin kisahnya Fathan dan Renia apapun alurnya hehe.

Btw, nyesek juga ya jadi Naima, jatuh cinta sendirian😭😭

Jangan lupa vote dan komennya 🤗💙💙

See you.

Fathan & Putih Biru (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang