Bab IV : Obrolan Di Warung Kopi

305 35 3
                                    

Anggi menggeliat dan membuka kedua matanya. Dimana ini? Gadis cantik itu berusaha mengenali suasana di sekelilingnya. Ah, aku tertidur di dalam mobil rupanya, di tempat yang begitu asing yang baru pertama kali ini dilihatnya. Suasana diluar nampak begitu gelap dan sepi. Dikirimnya arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam empat lewat limabelas pagi.

Ah, pantas saja, gadis itu menguap lebar, lalu dengan gerakan sedikit malas membuka pintu dan keluar dari mobil. Hawa dingin khas pegunungan segera menyambutnya, membuat gadis itu refleks merapatkan kancing jaketnya.

Kedua mata gadis itu lalu memicing, berusaha menembus keremangan dan mengenali suasana di sekitarnya. Ada bangunan besar nan gelap di hadapannya. Sebuah pasar tradisional dengan lahan parkir yang lumayan luas. Di salah satu sudut lahan parkir itulah ia kini berdiri.

Tak jauh dari tempat mobilnya terparkir, nampak beberapa laki laki yang duduk diatas jok motor masing masing sambil asyik mengobrol. Sepertinya para pengojek yang sedang menunggu penumpang. Sementara di sudut lain, seorang ibu ibu gemuk penjaja kopi menggelar dagangannya diatas sebuah meja reot dengan diterangi lampu minyak tanah. Tak jauh dari meja itu, nampak Angga tengah duduk diatas tikar yang digelar di pelataran parkir, menikmati secangkir kopi dengan ditemani oleh seorang laki laki muda berselimut kain sarung lusuh. Anggipun bergegas menghampiri abang kembarnya itu.

"Kenapa aku nggak dibangunin sih Bang?" Setengah menggerutu gadis itu duduk disebelah Angga. Sekilas ekor matanya sempat melirik ke arah laki laki yang menjadi teman ngobrol Angga, bertepatan dengan si laki laki yang memandang ke arahnya. Anggi mencebik. Ia merasa tak suka dengan cara laki laki itu memandangnya. Tatapan matanya, nampak seperti tatapan seekor kucing yang tengah melihat dendeng.

"Kamu tidur lelap sekali Nggi, tak tega aku mau membangunkanmu," Angga menjawab sambil menoleh ke arah si laki laki berselimut sarung lusuh. "Oh ya, kenalkan. Ini Mas Parto. Kebetulan dia adalah salah satu warga dari desa yang akan kita tuju. Dan dia juga tak keberatan untuk mengantar kita kesana."

"Parto." Laki laki menyebut namanya, sambil mengulurkan tangan dan menynggingkan senyuman tipis. Sedikit segan Anggi menyambut uluran tangan itu, juga sambil menyebutkan namanya.

"Jadi kita sudah sampai?" Anggi menyulut sebatang rokok mentholnya, menghisapnya pelan lalu menghembuskan asapnya kuat kuat. Segelas kopi hitam kental ia pesan kepada si perempuan gemuk pemilik warung.

"Hampir," Angga menyahut. "Masih sekitar lima atau enam kilometer lagi untuk sampai di desa itu. Dan sepertinya kita butuh persiapan ekstra, karena kata Mas Parto, jalan menuju kesana lumayan ekstrim."

"Betul Mbak, jalanan nya susah. Sempit, licin, dan berlumpur. Apalagi sekarang musim penghujan," tanpa dipersilahkan, laki laki bernama Parto itu menyambung ucapan Angga. Dan tanpa dipersilahkan juga, ia tanpa segan meraih bungkusan rokok milik Anggi, mengambil isinya sebatang, lalu menyulut dan menghisapnya dengan sangat nikmat.

"Maklum, desa kami desa terpencil Mbak. Jarang dikunjungi orang luar, apalagi pakai kendaran roda empat seperti yang sampeyan kendari itu," lanjut Mas Parto, sebelum laki laki itu terbatuk oleh asap rokok yang dihisapnya. Anggi tersenyum kecut. Laki laki desa itu, pasti tak terbiasa menghisap rokok beraroma menthol.

"Apakah benar desa itu angker?" Anggi bertanya, langsung to the point, sambil mengeluarkan kameranya, menjepret si ibu pemilik warung yang tengah sibuk menyiapkan kopi pesanannya.

"Bukan desanya yang angker Mbak, tapi hutan yang mengelilingi desa itu. Soal keangkerannya jangan ditanya lagi. Jalma mara jalma mati kalau kata orang orang dulu. Warga desa kami saja, nyaris habis dimangsa sama penghuni hutan itu," Mas Parto membuang sisa rokok menthol yang baru sekali dihisapnya itu, lalu beralih meraih bungkus rokok kretek milik Angga.

Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang