Bab X : Permadi Dan Wak Salim

263 26 6
                                    

Desa Ngantiyan

Wak Salim sedang sibuk membersihkan kebun saat sepeda motor itu berbelok memasuki halaman rumahnya. Pengendaranya turun, melepas helm, lalu bergegas menghampiri laki laki setengah baya yang masih terbengong bengong itu.

"Wak," sapa laki laki berambut gondrong itu sambil menyalami dan mencium tangan Wak Salim.

"Ah, kau rupanya, Permadi," Wak Salim segera memeluk laki laki yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu. "Lama tak ada kabar, kukira kau sudah lupa pada Uwakmu ini. Ayo masuk, kita ngobrol didalam."

Permadi mengikuti langkah Wak Salim masuk kedalam rumah. Masih seperti dulu, rumah besar itu terlihat sepi. Wak Salim memang tinggal sendiri. Istrinya sudah lama meninggal. Sementara anak anaknya, semua sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing masing.

"Angin apa yang tiba tiba membawamu kembali Nak?" Tanya Wak Salim setelah duduk di ruang tamu. Seperti biasa, laki laki setengah baya yang tak banyak omong itu langsung to the point bertanya.

"Banyak hal yang sudah terjadi Wak," seperti di rumah sendiri, tanpa canggung Permadi menyeduh dua cangkir kopi, lalu meletakkannya diatas meja ruang tamu.

"Dan sampai detik ini, aku masih juga belum bisa menemukan ketenangan. Seperti ada firasat yang mengatakan bahwa Nengsih masih hidup, dan saat ini ia sedang sangat membutuhkanku. Juga Wahyuni. Tak seharusnya aku menelantarkan darah dagingku sendiri. Lalu, karena kecerobohanku, beberapa hari lalu dua orang asing sampai nekat datang ke desa itu. Aku tak ingin mereka sampai menjadi korban dari bayan tua yang tak tau diuntung itu! Karena itulah aku kembali Wak."

"Ah, ucapanmu itu Nak," Wak Salim menyela ucapan Permadi, setelah menyalakan rokok tingwenya. "Masih juga menyiratkan dendam dan kebencian. Sudah berapa kali Uwak ingatkan, jika kau kembali hanya berbekal dendam dan kebencian, lebih baik kau tak usah kembali ke desa itu."

"Maaf Wak," Permadi meralat ucapannya. "Maksudku, setelah sekian lama menimbang nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk kembali. Dan sebelum menginjakkan kaki kembali di desa itu, kurasa tak ada salahnya kalau aku singgah kemari Wak, sekedar untuk meminta restu, sekaligus nasehat dan bimbingan dari Uwak."

"Aku sudah menduga," Wak Salim menghembuskan asap rokoknya, lalu mencicip sedikit kopi yang tadi dihidangkan oleh Permadi.

"Keputusanmu untuk kembali, itu sudah tepat Permadi. Ya meski agak terlambat sebenarnya. Karena semenjak kepergianmu dulu, desa Patrolan benar benar telah hancur. Hampir semua warganya lenyap menjadi korban ketamakan dan kerakusan, sampai kini, hanya tinggal beberapa keluarga yang tersisa dan mampu bertahan disana."

Permadi terperanjat mendengar ucapan Wak Salim itu. Ia tak mengira kalau apa yang dulu pernah diperbuatnya, akan berdampak sampai separah ini.

"Tak usah kaget begitu," Wak Salim yang menyadari perubahan raut wajah Permadi, menyambung ucapannya. "Dari awal kamu pasti juga sudah sadar, bahwa kejadiannya akan seperti ini. Tapi tak perlu khawatir. Keluargamu semua aman. Anakmu sekarang sudah besar, diasuh oleh Parto, anaknya Mbok Tonah. Ibumu juga sampai saat ini masih sehat wal afiat, meski jiwanya sedikit terganggu akibat kepergianmu dulu."

"Ah, maafkan aku Wak. Bukan maksudku untuk ...."

"Uwak tau, dulu kau pergi karena terpaksa, dan bukan atas kemauanmu sendiri. Jadi tak perlu meminta maaf seperti itu," lagi lagi Wak Salim memotong ucapan Permadi.

"Kau sudah mau kembali, itu sudah lebih dari cukup untuk menebus semua kesalahanmu dulu. Desa itu membutuhkanmu Nak. Kau harus mengakhiri apa yang dulu telah dimulai oleh manusia serakah itu. Dan soal Nengsih istrimu, Uwak juga punya firasat yang sama. Dia masih hidup, dan butuh pertolongan darimu. Segera, sebelum ia tersesat semakin jauh."

"Syukurlah kalau begitu Wak," Permadi menghela nafas lega. "Lalu bagaimana dengan si Bayan tua ..., eh, maksudku Mbah Atmo ...."

"Sekali lagi kuperingatkan Nak. Kendalikan emosimu, dan buang jauh jauh rasa dendam di hatimu itu," tandas Wak Salim.

"Maaf Wak."

"Kang Atmo, dia sekarang masih hidup. Tapi kondisi fisiknya sekarang sudah sangat memprihatinkan. Raganya hanya bisa tergolek tanpa daya diatas dipan. Sementara jiwanya yang telah lama dikuasai iblis, tak pernah merelakan nyawa laki laki tua itu untuk lepas dari raganya. Hidup segan mati tak mau. Iblis yang telah sekian lama bersemayam didalam jiwanya, terus saja memanfaatkan laki laki malang itu untuk mencari korban. Dan dua orang asing yang kamu ceritakan tadi, kudengar dari Parto, salah satunya telah ditandai. Tinggal menunggu waktu sampai malam purnama nanti, salah satu dari orang itu akan menjadi tumbal selanjutnya."

"Astaga! Apa itu berarti ...," lagi lagi Permadi terperanjat mendengar penjelasan dari Wak Salim.

"Ya. Waktumu tak banyak Nak. Malam purnama, itu berarti besok malam. Kamu harus bergegas. Tuntaskan masalah ini sampai ke akar akarnya, agar tak ada lagi korban yang jatuh."

"Sial!" Permadi mengumpat dalam hati, sambil meremas rambut gondrongnya. "Tidak bisakah Uwak membantuku? Maksudku ...."

Wak Salim terkekeh. "Apa yang kau harap bisa dilakukan oleh orang tua yang lemah sepertiku Nak? Berdoalah kepada Tuhan, karena hanya Dia-lah yang mampu untuk membantumu. Bersihkan hati dan jiwamu dari rasa dendam dan kebencian, lalu minta petunjuk kepada-Nya."

"Yach! Aku paham Wak. Tapi paling tidak, berilah aku sedikit petunjuk, tindakan seperti apa yang harus aku ambil."

"Itu mudah saja Nak. Pergilah ke Patrolan, selamatkan apa yang masih bisa diselamatkan, dan akhiri apa yang seharusnya diakhiri."

"Sial!" Kembali Permadi merutuk dalam hati. Orang tua ini, selalu saja seperti itu. Tak pernah berubah dari dulu.

"Temui saja Parto," seolah bisa mendengar suara hati Permadi, Wak Salim akhirnya memberi saran juga.

"Parto?" Permadi bertanya heran. Kenapa orang tua ini justru menyarankan kepadanya untuk menemui Parto?

"Ya. Uwak yakin, meski anak itu terlihat sedikit bodoh dan lugu, tapi sedikit banyak ia pasti bisa membantumu," jelas Wak Salim.

"Lalu bagaimana dengan Mbah Mo Wak?" Tanya Permadi lagi.

"Mbah Mo, kurasa kau tak bisa terlalu berharap pada sesepuh desa Patrolan itu. Ilmunya memang lumayan tinggi. Namun dengan segala kebimbangan dan rasa bersalah serta penyesalan akibat kesalahan yang pernah ia lakukan di masa lalu, Uwak rasa laki laki itu tak akan banyak bisa membantumu," jawab Wak Salim.

"Hmmm, seperti itu ya Wak?"

"Ya. Sasaran utama yang harus kau selamatkan adalah Kang Atmo, karena dialah akar dari semua masalah yang kini melanda desa itu. Bebaskan ia dari segala pengaruh buruk iblis yang menguasai jiwanya. Soal kedua kedua orang asing itu, Uwak rasa hanya menjadi bonus. Menjadi jalan dan perantara bagimu untuk kembali ke desa itu dan menyelesaikan semuanya. Uwak juga punya firasat, akan ada kekuatan tak terduga yang akan membantumu untuk menuntaskan masalah ini. Coba kamu ingat ingat. Uwak yakin dulu kamu tak begitu saja bisa keluar hidup hidup dari dalam hutan Tawengan, tanpa ada campur tangan dari pihak lain."

Cepat dan tegas ucapan Wak Salim, membuat Permadi justru semakin pusing setelah mendengarnya. Sedikit susah memang untuk memahami ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut laki laki setengah baya itu. Dan sedikitpun Permadi tak punya keberanian untuk membantah.

Akhirnya, Permadi mohon pamit, dengan sejuta pertanyaan yang masih menggelayut di dalam benaknya. Ia sadar, waktu yang ia miliki tak banyak. Ia harus bergerak cepat. Toh paling tidak Wak Salim sudah memberi sedikit petunjuk, siapa orang pertama yang harus segera ia temui.

Bersambung

Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang