Bab XII : Pertarungan Angga

220 25 0
                                    

Hampir tengah malam. Hujan lebat yang semenjak sore mengguyur desa, berangsur angsur mulai mereda. Tinggal menyisakan gerimis rintik rintik. Gemuruh suara hujan yang menimpa atap seng rumah telah digantikan oleh merdunya suara nyanyian binatang malam.

Anggi menggeliat dalam tidurnya. Dari mulutnya terdengar suara menggumam perlahan. Lalu tiba tiba, kedua kelopak mata gadis itu terbuka. Tatapan matanya kosong. Ekspresi wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi.

Perlahan, gadis itu lalu bangkit dari tidurnya. Selimut tebalnya dibiarkan teronggok begitu saja diatas dipan. Sebagian ujungnya menjuntai menyentuh permukaan lantai.

Gadis cantik berambut sebahu itu lalu melangkah pelan menuju pintu belakang, masih dengan tatapan matanya yang kosong dan langkah gontai selayaknya mayat hidup. Tak diacuhkannya sang kakak yang masih tidur mendengkur diatas dipan yang lain.

Gadis itu terus melangkah, membuka pintu belakang, lalu menghilang dalam kegelapan malam. Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menuntun langkah gadis itu, hingga dalam kegelapan yang begitu pekat itupun ia masih bisa melangkah menembus lebatnya semak semak kebun.

Pakaiannya yang mulai basah oleh sisa sisa air hujan yang menempel di dedaunan sedikitpun tak dihiraukannya. Dinginnya udara malam yang menembus sampai ke tulang juga tak diacuhkannya. Bahkan kaki telanjangnya yang sesekali tergores oleh ranting dan bebatuan juga tak diindahkannya.

Anggi terus melangkah dan melangkah, menjauh dari rumah, menembus lebatnya semak kebun, melewati batas pagar pekarangan yang dihiasi untaian janur kuning, lalu menuruni tebing menuju ke arah sungai. Semua itu ia lakukan dengan langkah gontai setengah melayang, seolah olah tubub rampungnya itu berubah menjadi sangat ringan.

Di depan sana, tepat di seberang sungai yang berbatasan dengan bibir hutan, nampak dua sosok bayangan hitam tinggi besar yang berdiri seolah siap menanti kedatangannya. Anggi terus melangkah, tetap dengan langkah gontai dan tatapan mata kosong. Sebelah kakinya telah menyentuh permukaan air sungai, siap untuk menyeberanginya, saat tiba tiba sebuah tangan meraih pundaknya dan menahan langkahnya.

"Nggi! Sadar Nggi! Kau mau kemana heh?!" Angga berbisik di telinga sang adik, sambil merengkuh tubuh sang adik ke dalam pelukannya.

"Eh, Bang Angga?!" Anggi yang tersadar oleh suara sang kakak menggeragap. "Apa yang ...."

"Tak ada waktu untuk ..."

"Grrooaarrrr ...!!!"

"Sial!" Tak ada waktu untuk menjelaskan. Angga segera menyeret tubuh sang adik menaiki tebing sungai dan melemparnya kedalam kebun, saat ekor matanya menangkap dua sosok hitam besar itu melompat dan menerjang ke depan sambil meraung keras.

Anggi terpekik saat tubuhnya jatuh bergulingan menimpa lebatnya semak belukar kebun. Sementara Angga, pemuda itu tak sempat lagi menghindar saat lengan besar milik salah satu sosok hitam besar itu terayun menerjang tubuhnya.

"Whuuttsss ...!!!"

"Bhuuaaagghhh ...!!!"

"Heegghhh ...!!!"

"Bang Anggaaa ...!!!" Anggi menjerit histeris manakala melihat sang kakak terlempar dan jatuh terhempas di permukaan tanah.

"Tetap disitu Nggi! Jangan keluar dari pagar untaian janur kuning!" Angga berteriak memperingatkan sang adik, sambil melompat bangkit dan bersiap untuk menghadapi serangan susulan dari kedua makhluk hitam besar itu.

Namun sepertinya kedua makhluk itu sama sekali tak tertarik untuk kembali menyerang Angga. Keduanya justru mendekat ke arah Anggi yang kini berdiri didalam pagar untaian janur kuning.

Nasib baik. Sepertinya pagar yang dibuat oleh Mbah Mo itu lumayan ampuh. Terbukti, begitu kedua makhluk itu berusaha untuk menerobosnya, mereka justru terpental kebelakang.

"Bang Angga! Cepat kesini! Berlindung di balik pagar ini!" Anggi berteriak.

Angga yang paham dengan apa yang dimaksud oleh sang adik, segera berlari ke arah Anggi. Namun kedua makhluk itu sepertinya tak mau memberi kesempatan. Gagal mendapatkan Anggi, kini keduanya kembali fokus menyerang Angga. Lengan lengan besar mereka terayun secara bersamaan, berusaha menghalangi laju lari pemuda itu.

"Sial!" Kembali Angga memaki, sambil berkelit berusaha menghindari serangan kedua makhluk itu. Namun apalah daya seorang Angga. Dua makhluk siluman raksasa itu jelas bukanlah tandingannya. Tak butuh waktu lama, pemuda itupun akhirnya menjadi bulan bulanan dari serangan serangan lawannya.

"Bang Anggaaa ...!!! Anggi kembali menjerit histeris saat melihat sang kakak tumbang dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Darah kental mengalir dari sudut bibir serta kedua lubang hidungnya.

"Ang ... gi! La ... ri! Se ...lamatkan diri ... mu!" Angga masih sempat memperingatkan sang adik, sebelum sebuah pukulan telak menghantam tengkuknya, membuat pemuda itu akhirnya terkapar dan tak bergerak gerak lagi.

"Bang Anggaaaaa ...!!!" Jerit dan tangis Anggi pecah, menggema memecah kesunyian malam. Tubuh gadis itupun luruh, jatuh dalam keadaan terduduk menyaksikan tubuh kakak kembarnya yang sudah tak berdaya itu diseret dengan kasar menyeberangi sungai, untuk kemudian lenyap ditelan oleh gelapnya hutan.

Sementara itu di sisi lain, disebalik rimbunnya semak belukar, sepasang mata tua ikut menyaksikan semua kejadian itu. Hanya menyaksikan, tanpa ada niat untuk sekedar membantu ataupun menolong.

Bersambung

Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang