"Ibu," tanpa malu malu lagi Permadi menumpahkan airmatanya.
"Terimakasih, Kang," masih dengan memeluk Permadi, Anggi berkata pelan. Suara terdengar sedikit lembut kini. "Kau telah menepati janjimu untuk merawat dan membesarkan anakku."
"Ah, itu sudah menjadi kewajibanku Nyi," Mbah Mo menjawab pelan.
"Kau memberinya nama Permadi?"
"Eh, itu...., hanya kebetulan saja," Mbah Mo terlihat sedikit salah tingkah. "Aku ingat dulu saat kita sering nonton wayang berdua, kau sangat menyukai tokoh Permadi. Jadi aku berpikir untuk memberinya nama Permadi."
Anggi melepaskan pelukannya pada Permadi, lalu melayang mendekati Mbah Mo. Senyumnya mengembang meski airmata masih membasahi pipinya. "Sekali lagi, terimakasih Kang. Ingin sekali aku memelukmu saat ini, tapi kita sudah sama sama tua, tak pantas rasanya. Dan.....,"
"Sudahlah Nyi, lupakan masa lalu." Mbah Mo memotong ucapan Anggi. "Sekarang semua sudah berakhir. Kembalilah ke alammu dengan tenang. Semua dendammu telah terbayar kini."
"Tidak Kang, masih ada satu hal yang ingin aku selesaikan. Sumber dari semua masalah ini."
"Serahkan semua padaku. Jangan kau kotori tanganmu dengan dendam. Akan kuselesaikan semua malam ini juga."
"Benarkah?" Anggi kembali tersenyum. Mbah Mo mengangguk.
"Baiklah kalau begitu. Aku sudah tenang kini. Saatnya aku pergi. Kutitipkan anakku padamu Kang."
Mbah Mo kembali mengangguk. Suasana menjadi hening. Sinar rembulan menerobos lebatnya dedaunan, menyinari tubuh Anggi yang terdiam mematung.
"Selamat tinggal Kang, selamat tinggal anakku, selamat tinggal muridku, menantuku, aku akan selalu merindukan kalian." Anggi tertunduk, matanya terpejam, lalu tubuhnya limbung dan ambruk ke tanah.
"Anggiiii......."
"Ibuuuu....."
"Nyi Guruuu....."
"Nyi....."
Hampir serempak, Angga, Permadi, Nengsih, dan Mbah Mo berseru sambil memburu ke tempat Anggi jatuh. Angga merengkuh tubuh sang adik dalam pelukannya.
"Bang Angga.....," gadis itu pelan pelan membuka matanya, lalu melihat sekeliling dengan heran. "Apa yang terjadi Bang?"
"Tak apa Nggi, semua telah berakhir. Kita selamat sekarang." Angga membantu adiknya itu untuk berdiri.
"Ya, semua sudah selesai," Mbah Mo menimpali. "Sudah saatnya kita untuk pulang."
"Mudah mudahan kita tidak tersesat lagi" Mas Parto yang sejak tadi diam ikut bicara.
"Bocah gendheng, apa maksudmu bicara begitu? Tak ada lagi yang akan menyesatkan kita. Monyet monyet itu telah musnah kan?" semprot Mbah Mo, membuat Mas Parto cengengesan sambil garuk garuk kepala.
Akhirnya rombongan dari desa Patrolan itu meninggalkan hutan. Angga memapah Anggi, Permadi menggandeng tangan Nengsih. Mbah Mo menepis tangan Mas Parto yang berusaha menuntunnya.
"Aku masih bisa berjalan sendiri!" sungut laki laki tua itu.
***
"Mudah mudahan Bayan berhasil melaksanakan tugas yang kuberikan dengan baik." kata Mbah Mo saat mereka mulai mendekati rumah Pak Bayan. "Kalau tidak, sia sia sudah kita bertaruh nyawa di hutan tadi."
"Memangnya tugas apa yang sampeyan berikan pada Pak Bayan Mbah?" tanya Mas Parto.
"Menghabisi nyawa Kang Atmo," jawab Mbah Mo singkat.
"Eh, sampeyan menyuruh Pak Bayan untuk membunuh bapaknya sendiri?"
"Jangan cerewet. Coba kamu lihat ke dalam kamar Kang Atmo," bisik Mbah Mo saat mereka telah memasuki rumah Pak Bayan.
"Kenapa harus aku sih Mbah?" protes Mas Parto.
"Siapa lagi kalau bukan kamu?"
Sambil besungut sungut Mas Parto mengintip melalui celah pintu.
"Gelap Mbah," kata Mas Parto setengah berbisik.
"Masuk, dan nyalakan lampunya bodoh!"
Lagi lagi Mas Parto bersungut sungut, lalu masuk dan menyalakan lampu. Matanya terbelalak seketika menyaksikan pemandangan dalam kamar itu.
Di tengah tengah ruangan nampak tubuh Mbah Atmo tergeletak bersimbah darah dengan sebilah keris menancap di dadanya. Sedang di sudut ruangan, tubuh Pak Bayan dan Mbok Darmi saling bertindihan.
"Sudah kuduga," Mbah Mo ikut masuk ke dalam kamar. "Bayan pengecut. Beruntung aku juga menyuruh Darmi untuk mengawasinya."
Mbah Mo mencoba menyadarkan kedua orang yang pingsan dengan posisi saling tumpang tindih itu.
***
Pagi menjelang. Rumah Mbok Tonah terlihat ramai pagi itu. Semua berkumpul disitu. Suasana haru dan tangis kebahagiaan menyelimuti sebuah keluarga yang telah tercerai berai selama bertahun tahun. Meski ada sedikit rasa duka karena mereka baru saja memakamkan jenazah Mbah Atmo.
Masa masa kelam dari desa terpencil itu telah berhasil mereka akhiri. Saatnya untuk memulai sejarah baru. Membangun desa yang telah hancur itu.
"Sampai disini saja petualangan kita Bang?" tanya Anggi kepada kakaknya.
"Yach, kecuali kamu masih merindukan monyet penghuni hutan itu," jawab Angga.
"Ih, abang nih," Anggi cemberut. "Tapi yang jelas, suatu saat aku akan merindukan desa ini. Dan aku berharap, suatu saat juga aku akan kembali mengunjungi desa ini."
Angga tersenyum kecut. Gadis keras kepala ini, nggak ada kapok kapoknya dia.
*TAMAT*
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Alas Tawengan
Mystery / ThrillerAnggada dan Angginita, dua orang kakak beradik kembar, merupakan novelis terkenal yang sudah menerbitkan puluhan novel best seller dengan nama pena Angganita, gabungan dari kedua nama mereka. Spesialisasi mereka adalah cerita cerita bergenre horor d...