"Dimana kau kuburkan jasad ibuku Mbah?" Permadi bertanya tanpa sedikitpun menghentikan langkah. Bahkan tanpa menoleh sama sekali kepada orang yang ia tanya.
"Dibawah pohon randhu alas besar, di dekat Jurang Bangkai sana," Mbah Mo menjawab, juga sambil terus melangkah.
"Kita kesana!" Tegas Permadi, sambil mempercepat langkah.
"Tunggu!" Anggi yang berjalan dibelakang Mbah Mo menyela. "Bagaimana dengan Bang Angga?"
"Itu bukan urusanku!" Setengah mendengus Permadi menjawab, sambil terus berjalan.
"Hey! Setega itulah dirimu?!" Anggi menghentikan langkah. Nada suaranya sedikit meninggi.
"Dengar ya Nona," lalu ini Permadi menghentikan langkah, lalu berbalik dan menatap ke arah Anggi. "Dari awal aku sudah memperingatkanmu untuk tidak nekat datang kesini. Tapi kau keras kepala! Jadi, kalau kau sekarang terlibat dalam masalah, ya tanggung sendiri akibatnya. Jangan coba coba untuk melibatkanku!"
"Oh, seperti itu," Anggi balas menatap ke arah Permadi dengan tatapan yang tak kalah tajam. "Baiklah! Aku juga tak butuh bantuan dari orang tak berperasaan sepertimu! Kita berpisah disini! Aku akan mencari abangku dengan atau tanpa kalian!"
"Tunggu!" Mas Parto menyambar lengan Anggi yang sudah bersiap untuk beranjak pergi. "Tahan dulu emosi kalian! Kita tengah menghadapi masalah yang pelik. Jadi tolong, jangan bertindak gegabah."
"Tidak Mas!" Anggi mencoba melepaskan lengannya dari genggaman tangan Mas Parto. "Aku sudah muak dengan laki laki sombong dan tak berperasaan itu!"
"Aku juga muak dengan gadis cengeng dan keras kepala sepertimu!" Permadi tak mau kalah menjawab sengit.
"Ehem! Begini saja," Mbah Mo mencoba menengahi pertikaian itu. "Nak Anggi, lebih baik kamu memang tetap bersama kami. Hutan ini berbahaya. Jangan sampai kamu nanti justru menjadi korban. Soal abangmu, percayalah, selamat atau tidak, ia pasti berada tak jauh dari Jurang Bangkai sana, karena siapapun orangnya yang telah masuk ke hutan ini, pasti akan berakhir disana. Dan kau Permadi, tak bisakah kau bersikap lebih lembut kepada seorang perempuan?"
Anggi terdiam. Apa yang dikatakan Mbah Mo Sepertinya benar. Sedikitpun ia tak mengetahui seluk beluk hutan ini. Nekat mencari sang Abang seorang diri, itu sama saja dengan cari mati. Rombongan itupun akhirnya melanjutkan perjalanan dalam diam, sampai akhirnya suara Mas Parto memecah kebisuan diantara mereka.
"Oh ya Mbah, bagaimana sampeyan bisa begitu yakin bahwa sosok putih yang dulu menolong Permadi itu adalah Nyi Asih?"
"Sebenarnya aku juga tak begitu yakin," jawab Mbah Mo. "Namun belakangan ini, beberapa kali Nyi Asih sempat menemuiku. Baik itu di dalam mimpi, maupun melalui bisikan bisikan yang kuterima saat aku sedang menyepi."
"Apa yang disampaikan oleh beliau kepada simbah?" Tanya Mas Parto lagi.
"Intinya, dia hanya ingin melihat dan bertemu dengan anaknya yang dulu pernah dititipkan kepadaku," Mbah Mo melirik sekilas ke arah Permadi. "Dan ia juga menyesali segala perbuatan yang pernah ia lakukan dulu."
"Menyesal? Perbuatan Apa yang ia sesali Mbah? Bukankah beliau orang baik, yang justru jadi korban fitnah dari Mbah Atmo?" Mas Parto sepertinya semakin penasaran. Ternyata masih banyak misteri yang belum ia ketahui dari sejarah desanya itu.
"Yang baik tak selamanya baik Nak. Demikian juga sebaliknya," kembali Mbah Atmo menyalakan rokok tingwenya. "Dendam dan sakit hati bisa mengubah sifat seseorang. Meninggal dengan cara yang sangat mengenaskan, ditambah dengan harus berpisah dengan anak yang baru ia lahirkan, yang bahkan belum sempat ia susui, membuat arwah Nyi Asih tak tenang dan bergentayangan. Dendam Kesumat yang ia bawa, membuatnya memilih jalan yang salah. Perempuan itu nekat menjual jiwanya kepada siluman monyet penghuni hutan ini, dengan imbalan para siluman itu bersedia membalaskan demamnya kepada warga desa yang telah menghabisinya. Jadilah, semenjak saat itu, desa Patrolan mengalami teror tak berkesudahan dari para siluman monyet itu. Satu persatu, warga yang dulu ikut andil dalam melenyapkan Nyi Asih, lenyap secara misterius."
"Mengerikan," Anggi mendesis pelan.
"Itu belum seberapa Nak," lanjut Mbah Mo. "Kang Atmo yang menyadari hal itu, jelas tak tinggal diam begitu saja. Dengan kesaktian yang dimilikinya, berhasil mempengaruhi raja dari para siluman monyet itu, dari yang awalnya membantu Nyi Asih, berbalik menjadi memusuhinya. Jiwa Nyi Asih dikurung. Dan anak keturunannya diincar untuk dilenyapkan. Itulah dulu kenapa Permadi dan istrinya sampai terjebak di hutan ini. Dan karena itu juga dulu aku membiarkan Permadi terusir dari desa ini. Bukan karena aku tak perduli padamu Permadi, tapi itu semua aku lakukan, semata mata demi kebaikanmu juga. Jika kau tetap di desa ini, sudah pasti Kang Atmo akan terus berusaha untuk melenyapkanmu."
"Laki laki biadab!" Lagi lagi Permadi mendengus. "Lihat saja, setelah semua masalah ini selesai, akan kuhabiskan laki laki itu dengan tanganku sendiri!"
"Jangan terlalu menurutkan dendam Nak. Biar bagaimanapun dia adalah ayah kandungmu sendiri. Laki laki yang telah mengukir jiwa dan ragamu. Tak elok rasanya kalau kau mengotori tanganmu dengan darah orang tuamu sendiri."
Permadi terdiam. Demikian juga dengan Anggi dan Mas Parto. Merekapun terus berjalan dalam suasana kebisuan. Sampai akhirnya, setelah cukup lama mereka berjalan, suasana kebisuan itu dipecahkan oleh suara Mbah Mo.
"Nah, kita sudah hampir sampai. Itu pohon randhu alas yang kumaksud. Dan yang disana itu, itulah tempat yang dinamakan Jurang Bangkai. Sebisa mungkin kita harus menghindari tempat itu," Mbah Mo berkata sambil menunjuk ke kejauhan.
Tiba tiba Anggi mendesis sambil memegangi lengan kirinya. Lengan yang kemarin nyaris remuk karena dicengkeram oleh Mbah Atmo itu, tiba tiba kembali terasa sakit dan berdenyut denyut.
"Kenapa Mbak?" Mas Parto yang menyadari gerakan Anggi bertanya.
"Nggak papa Mas. Cuma ini, lenganku yang kemarin dicengkeram Mbah Atmo itu kembali terasa sakit," sahut Anggi.
"Hmmm, ini pertanda kurang bagus. Kita harus bergegas. Jika tanda yang dibuat Kang Atmo di lenganmu itu sudah bereaksi, itu berarti keberadaanmu di tempat ini sudah diketahui oleh para siluman penghuni hutan ini. Mereka akan memburumu Nak! Jadi berhati hatilah!" Mbah Mo memperingatkan.
Pucat wajah Anggi mendengar peringatan dari Mbah Mo itu. Ingatannya kembali melayang pada kebuasan makhluk makhluk yang beberapa waktu lalu menyerang kakaknya.
"Tenang Mbak," Mas Parto menyentuh gagang keris yang terselip di pinggangnya. "Sampeyan ndak sendirian. Kami semua ndak akan tinggal diam kalau sampai makhluk makhluk itu berani menyerangmu."
Anggi meringis. Ia tak yakin, orang orang ini akan sanggup menghadapi makhluk makhluk siluman yang begitu buas itu. Namun begitu, gadis itu merasa bersyukur, karena masih ada orang orang yang peduli padanya.
Tak berselang lama, sampailah mereka dibawah pohon randhu alas besar yang menjadi tujuan mereka. Permadi segera berlutut di depan makam sang ibu. Makam, yang sama sekali tak pantas untuk disebut makam, karena hanya berupa seonggok batu besar berlumut yang telah dipenuhi oleh aneka tanaman rambat.
Permadi segera berlutut di depan makam itu. Doa doa ia panjatkan dengan khusyu. Pelan namun pasti, air mata mengalir dari kedua kelopak mata laki laki yang sebelumnya terlihat begitu tegar itu. Anggi, Mas Parto, serta Mbah Mo, hanya bisa diam seribu bahasa, tanpa berani untuk mengusiknya. Suasanapun terasa semakin hening, sampai akhirnya, keheningan itu dipecahkan oleh suara samar bergemerisik dari arah belakang mereka.
"Ada yang datang," Mas Parto yang pertama kali mendengar suara itu berbisik tajam, sambil meraba gagang kerisnya. Mbah Mo melirik ke arah asal suara. Anggi berdiri gemetar, sementara Permadi masih khusyu dengan doanya.
Suasana tegang kian terasa, karena baik Mbah Mo maupun Mas Parto bisa menduga bahwa suara bergemerisik itu berasal dari semak dedaunan yang terinjak oleh sesuatu. Entah manusia atau dedhemit, namun dari irama langkahnya mereka tau bahwa sesuatu itu melangkah dengan sangat hati hati. Entah mengendap endap, atau justru malah merayap.
Sesaat Mbah Mo dan Mas Parto saling pandang. Lalu, dengan gerakan yang sangat tiba tiba, Mas Parto berbalik sambil menghunus kerisnya, dan berteriak lantang.
"Matilah kau, tukang ngintip tak tahu malu!"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Alas Tawengan
Misterio / SuspensoAnggada dan Angginita, dua orang kakak beradik kembar, merupakan novelis terkenal yang sudah menerbitkan puluhan novel best seller dengan nama pena Angganita, gabungan dari kedua nama mereka. Spesialisasi mereka adalah cerita cerita bergenre horor d...