Jam sembilan pagi, si kembar Angga dan Anggi bersama Mas Parto dan Mbok Tonah, akhirnya sampai di desa yang dituju. Desa Patrolan, demikian yang tertulis di gapura sederhana di ujung desa.
Meski hari telah merangkak siang, namun kabut tipis masih menyelimuti hampir seluruh penjuru desa. Hawa dingin juga masih terasa menusuk tulang. Anggi yang duduk di sebelah Angga yang duduk dibalik kemudi, tak henti hentinya mengagumi keindahan alam desa tersebut. Sementara Angga, terlihat begitu fokus mengendalikan laju jeep mereka yang terombang ambing di jalanan tanah berlumpur yang licin itu.
Sampai di rumah Mbok Tonah, mereka beristirahat sejenak, menikmati kopi panas serta singkong rebus yang dihidangkan oleh si tuan rumah, sambil berkenalan dengan keluarga perempuan setengah baya itu. Mbok Tonah ini ternyata seorang janda. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Selain Mas Parto, Mbok Tonah juga memiliki seorang anak perempuan berusia tujuh belas tahun bernama Lestari.
Sementara Mas Parto, meski belum menikah, namun sudah memiliki seorang anak angkat perempuan berusia empat tahun. Wahyuni namanya. Gadis cilik berparas cantik jelita itu sebenarnya adalah anak dari Permadi, yang setelah kehilangan ibunya dan ditinggalkan oleh ayahnya, menjadi anak sebatang kara. Sang nenek yang mengalami gangguan jiwa setelah kehilangan menantu dan anak kesayangannya, jelas tak mampu untuk mengurusnya. Akhirnya atas persetujuan dari Pak Bayan, Mas Partolah yang akhirnya merawat dan membesarkan anak itu.
Anggi yang mendengar kisah dari si gadis kecil itu merasa sangat tersentuh. Stigma negatifnya terhadap Mas Partopun luntur seketika. Perlahan, Anggi mendekati gadis cilik itu sambil tersenyum, lalu mengulurkan sebatang coklat kepada si gadis. Namun alih alih menerima coklat pemberian Anggi, gadis cilik yang sepertinya sangat pemalu itu justru menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Mas Parto, membuat Angga yang melihatnya tertawa kecil.
Cukup beristirahat dan bercengkerama dengan keluarga kecil itu, si kembar dengan ditemani oleh Mas Parto lalu berangkat menuju ke rumah Pak Bayan. Sebagai tamu dan pendatang, Angga merasa perlu untuk melapor serta meminta izin kepada kepala desa itu untuk tinggal beberapa hari di desa tersebut.
Cukup dengan berjalan kaki, karena selain jarak rumah Pak Bayan yang tak begitu jauh, mereka juga ingin menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Angga berjalan di depan bersama Mas Parto. Sementara Anggi mengekor di belakang sambil tak henti hentinya mengabadikan indahnya pemandangan dengan kamera yang dibawanya.
Seperti yang telah diceritakan oleh Mas Parto semalam, desa ini benar benar terlihat sepi bagai desa mati. Hanya tinggal empat keluarga yang tinggal di desa ini. Selain keluarga Pak Bayan dan Mas Parto, ada keluarga Mbah Mo, orang paling tua setelah ayah Pak Bayan, yang juga dianggap sebagai sesepuh di desa ini. Lalu satu lagi adalah Mbok Darmi, ibu dari Permadi yang mengalami gangguan jiwa dan tinggal sendirian di sebuah rumah yang berada di ujung desa.
Selebihnya adalah rumah rumah kosong tak berpenghuni, yang jika dilihat dari kondisinya yang sangat memprihatinkan, jelas kalau rumah rumah itu memang sudah sangat ditinggal oleh pemiliknya. Entah ditinggal pergi, atau ditinggal mati!
Sebagian dari bangunan bangunan itu masih tegak berdiri, namun sebagian lagi telah roboh dimakan usia, hingga tinggal menyisakan puing puingnya saja. Semak belukar dan aneka tanaman liar dibiarkan tumbuh merajalela di setiap bangunan bangunan yang ada.
Sungguh sebuah pemandangan yang cukup menyeramkan, mengingat bahwa wilayah desa itu sebenarnya cukuplah luas. Di sebelah utara dan barat dibatasi oleh area persawahan yang membentang luas, sementara disebelah timur dan selatan desa hutan belantara dengan pepohonan yang besar besar tumbuh rapat menjulang tinggi, dengan sebuah aliran sungai kecil yang berkelok membatasi area desa dengan hutan tersebut.
Mungkin hutan itulah yang disebutkan oleh Permadi dalam ceritanya, batin Anggi sambil mengarahkan pandangannya ke arah hutan tersebut. Dilihat sekilas, aura mistisnya memang sangat terasa. Kabut tebal masih menyelimuti area hutan itu meski hari telah beranjak siang, membuat batang batang pepohonan hanya terlihat seperti siluet kehitaman diantara pekatnya kabut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Alas Tawengan
Mystery / ThrillerAnggada dan Angginita, dua orang kakak beradik kembar, merupakan novelis terkenal yang sudah menerbitkan puluhan novel best seller dengan nama pena Angganita, gabungan dari kedua nama mereka. Spesialisasi mereka adalah cerita cerita bergenre horor d...