Bab III : Firasat Angga, Dan Pesan Di Tengah Perjalanan

317 31 2
                                    

Pagi itu, dua saudara kembar Angga dan Anggi telah berada diatas katana hitam yang meluncur perlahan membelah jalanan ibukota. Tujuan mereka adalah sebuah kota kecil yang berada di ujung timur provinsi Jawa Tengah. Entah bagaimana caranya Anggi bisa menentukan dan begitu yakin bahwa kota itu adalah lokasi yang dimaksud dalam cerita yang ditulis oleh akun indra057 itu. Tapi begitulah Anggi. Terkadang otaknya bisa melebihi kecerdasan seorang detective Conan.

Meski begitu, bukan berarti rencana perjalanan yang telah mereka susun bisa berjalan lancar tanpa kendala. Bahkan, sesaat sebelum berangkatpun keduanya telah terlibat dalam sebuah perdebatan kecil.

Semua berawal dari Angga yang merasakan firasat tak baik, bahwa apa yang akan mereka lakukan ini adalah sesuatu yang salah. Ditambah dengan mimpi buruk yang ia alami semalam, membuat Angga kembali ragu untuk melanjutkan rencana mereka.

Kedua saudara kembar itu memang memiliki keistimewaan masing masing. Kalau Anggi dikaruniai dengan otak yang cerdas, Angga lebih istimewa dalam hal ketajaman insting. Firasat yang pernah ia rasakan, jarang sekali meleset. Namun seperti biasanya, Anggilah yang akhirnya memenangkan perdebatan kecil itu. Karena selain memiliki otak yang cerdas, Anggi juga adalah seorang perayu ulung.

Hingga akhirnya, disinilah mereka sekarang. Diatas jeep tua menyusuri jalanan ibukota, menuju ke arah timur. Anggi yang memegang kemudi. Sementara Angga yang duduk disebelahnya menjadi navigator. Jalur non tol yang mereka pilih, karena jiwa petualangan mereka mengatakan kalau jalur itu lebih menyenangkan.

"Biippp ...! Biippp ...!" Smartphone Anggi diatas dashboard bergetar.

"Tolong dong Bang," Anggi melirik sang kakak. Anggapun segera meraih smartphone itu dan melihat pesan yang masuk di aplikasi pesan online.

"Owh, ternyata diam diam kau sudah punya pacar ya," ujar Angga setelah membaca pesan tersebut.

"Pacar?" Anggi mengernyitkan dahinya. "Pacar apaan sih Bang? Kalau punya juga Abang sudah Anggi kasih tau. Memangnya chat dari siapa Bang?"

"Dari nomor sekian sekian sekian. Nggak ada namanya. Cuma nanya sudah sampai mana," jawab Angga.

Anggi kembali mengernyitkan dahinya. Ia merasa tak mengenali nomor itu. Pun juga ia tak memberitahu siapapun tentang kepergiannya pagi ini. Gadis itu lalu meminta sang kakak untuk membalas pesan itu. Chat-pun dibalas oleh Angga. Tak lama, chat balasan muncul di layar benda pipih persegi itu.

"Permadi," nama yang terpampang di layar smartphone itu dibaca Angga dengan suara pelan.

"Gila!" Anggi mendengus. "Orang itu benar benar titisan Ki Joko Bodo kali ya. Darimana dia tau kalau kita akan pergi?"

"Siapa?" Angga menatap heran ke arah sang adik.

"Penulis cerita itu Bang. Permadi nama aslinya. Keren sih namanya, tapi orangnya ..."

"Biippp ...! Biippp ...!" Ucapan Anggi terpotong oleh suara ringtone tanda pesan masuk.

"Aku tau kalian nekat pergi meski sudah kuperingatkan. Pikirkan sekali lagi niat kalian. Disana berbahaya. Nyawa kalian bisa jadi taruhan!" Angga membacakan pesan itu untuk sang adik.

"Shit!" Anggi melirik kaca spion. "Jangan jangan dia membuntuti kita Bang!"

Angga ikut menoleh kebelakang. Namun tak terlihat ada yang mencurigakan. Jalanan relatif sepi, karena mereka memang telah memasuki daerah luar kota. Hanya ada beberapa truk besar dan mobil pick up dibelakang mereka. Anggi kembali memfokuskan pandangan kedepan, bersamaan dengan sosok kucing hitam yang tiba tiba berlari menyeberang jalan.

"Anjrit!" Anggi memekik. Kedua tangannya refleks memutar kemudi ke arah kiri. Sementara kedua kakinya sigap menginjak pedal rem dan kopling secara bersamaan.

Suara mendecit terdengar menggigit indera pendengaran, mengiringi jeep hitam itu yang oleng hampir terguling. Mesin mendadak mati. Jeep itupun terhenti dengan moncong hanya berjarak beberapa centi dari pembatas jalan.

"Hufth!" Anggi menghela nafas. Menghempaskan punggungnya pada sandaran tempat duduk, lalu mengusap wajahnya yang pucat pias dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Sementara Angga yang nampak lebih tenang segera turun dan melongok ke kolong mobil.

"Mati!" Desis Angga saat melihat bangkai kucing hitam itu tergeletak dengan tubuh hancur tak berbentuk.

"Sial!" Semakin pucat wajah Anggi saat mendengar desisan sang kakak. Teringat dengan mitos yang sering ia dengar, bahwa menabrak seekor kucing merupakan sebuah pertanda buruk. Anggi lalu berniat untuk ikut turun, untuk sekedar mengetahui kondisi kucing itu. Namun segera dicegah oleh sang kakak.

"Biar abang saja yang urus," seru Angga saat melihat sang adik sudah bersiap untuk menekan handle pintu. Biar bagaimanapun, ia tak akan membiarkan sang adik menyaksikan pemandangan yang cukup mengerikan ini.

Dengan cekatan, Angga lalu membungkus bangkai kucing itu dengan kantong plastik yang ia temukan di pinggir jalan, lalu menguburnya disela sela tanaman semak yang banyak tumbuh di tepian jalan itu.

"Beres!" Kata Angga sambil membersihkan sisa sisa tanah yang menempel di tangannya dengan menggunakan air mineral yang ia tuang dari dalam botol. Diliriknya sang adik yang masih terbengong dengan wajah pucat diatas bangku kemudi. Sepertinya gadis itu masih sangat syok.

"Kamu geser gih, biar abang yang gantian nyetir," Angga yang sangat memahami kondisi sang adik segera mengambil alih kemudi. Katana hitam itupun kembali meluncur dengan Angga yqng duduk dibalik kemudi. Sementara Anggi, duduk disebelahnya. Wajah gadis itu masih terlihat memucat, dengan pandangan kosong yang menatap lurus ke arah depan.

Bersambung



Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang