Bab IX : [Masih] Malam Mencekam

274 28 5
                                    

"Apa yang kaulakukan di tempat ini Nak?" Belum hilang rasa keterkejutan Angga, sebuah suara serak bernada berat terdengar dari arah belakangnya, membuat jantung pemuda itu nyaris copot dibuatnya. Pelan, pemuda itu membalikkan badannya. Dan rasa lega seketika menyeruak dalam dadanya, begitu menyadari siapa si pemilik suara itu.

"Ah, Mbah Mo rupanya," Angga menghela nafas lega. "Enggak Mbah, ini cuma sekedar jalan jalan mencari angin."

"Sudah malam. Kembalilah ke rumah. Kalau cuma ingin sekedar berjalan jalan mencari angin, lebih baik besok saja," kata Mbah Mo datar, sambil berlalu meninggalkan pemuda yang masih terbengong itu. Namun baru beberapa tindak, laki laki tua itu menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menatap ke arah Angga dengan tatapan tajam.

"Ingat pesanku Nak! Jangan pernah keluar lagi di saat hari telah menjelang malam. Berbahaya untuk kalian. Saya membuat pagar janur kuning yang mengelilingi rumah tempat kalian menginap itu, bukan tanpa alasan. Harus ada batasan antara yang nyata dan yang gaib, agar tidak sampai saling bersinggungan. Pagar janur kuning itu adalah pembatas yang aku buat. Jadi jangan sekali kali dilanggar. Satu lagi, jangan pernah sekalipun kalian mendekati area hutan, baik itu siang ataupun malam. Apapun alasannya. Ingat itu baik baik!"

"Ba..., baik Mbah," sedikit tergagap Angga menjawab, sementara laki laki tua itu segera berlalu dari hadapan Angga, melangkah perlahan menembus pekatnya kabut, hingga akhirnya sosoknya menghilang dari pandangan Angga.

Angga mendesah lega, lalu menoleh sekilas ke arah rumah Mbok Tonah. Sosok perempuan berbaju putih dengan wajah menyeramkan itu juga telah menghilang entah kemana. Demikian juga dengan sosok hitam besar yang tadi ia lihat berdiri di tepian hutan. Sosok itu juga telah raib entah kemana.

"Hufth! Syukurlah," Angga berucap lega sambil melangkah kembali ke rumah tempat ia menginap, membawa berjuta pertanyaan yang menggelayut di dalam benaknya. Pertanyaan, yang membuatnya penasaran untuk segera menemukan jawabannya.

Angga menoleh sekali lagi ke arah rumah Mbok Tonah, sekedar untuk memastikan bahwa makhluk berwujud perempuan mengerikan itu memang benar benar telah lenyap. Setelah yakin bahwa semua aman, Angga lalu masuk kedalam rumah, bermaksud untuk segera beristirahat. Tak lupa ia memastikan bahwa semua pintu dan jendela di rumah itu telah terkunci dengan benar.

Sampai akhirnya, saat melihat ke arah dipan di sudut ruangan, Angga tertegun. Anggi yang tadi saat ia tinggalkan telah tertidur lelap diatas dipan itu, kini sudah tak nampak lagi batang hidungnya. Hanya ada bantal dan selimut yang teronggok diatas dipan itu.

"Nggi!" Angga memanggil sang adik dengan suara sedikit keras. Namun tak ada jawaban. Diulanginya panggilan itu sampai beberapa kali, sambil berkeliling mencari cari ke seluruh sudut rumah. Namun hasilnya tetap nihil. Sampai ke ruang dapur ia mencari, namun tak didapatnya sosok sang adik.

Angga mulai sedikit resah. Apalagi saat ia melihat pintu dapur yang mengarah ke kebun kosong yang ada dibelakang rumah sedikit terbuka.

"Anggi!" Angga menarik bendul pintu itu hingga terbuka lebar, lalu bergegas keluar menuju ke arah kebun kosong.

"Ah, disitu kau rupanya," Angga berseru lega, saat melihat sang adik tengah berdiri beberapa meter di hadapannya, dengan posisi membelakanginya.

"Ngapain kamu disitu Nggi?" Angga mendekat ke arah sang adik. Sementara gadis berambut sebahu itu, seolah tak mendengar seruan sang kakak, hanya berdiri diam di tempatnya.

"Nggi," Angga menjulurkan tangan, bermaksud untuk meraih bahu sang adik. Namun beberapa centi sebelum tangan itu berhasil menyentuh bahu Anggi, sebuah suara terdengar dari arah belakang Angga.

"Bang, sedang apa disitu?"

Deg! Jantung Angga berdetak kencang. Suara itu, jelas suara milik Anggi. Tapi jika Anggi yang menyapanya itu berada dibelakangnya, lalu yang sekarang berada di hadapannya itu ...?

Angga terpaku, berdiri mematung dengan sebelah tangan masih terjulur kedepan. Sementara sosok yang ia kira adalah Anggi yang ada di hadapannya, perlahan mulai bergerak, memutar tubuh hingga menghadap ke arah Angga.

"Sial!" Angga menepuk lirih, saat melihat wajah dari sosok yang ia kira adalah Anggi itu, ternyata sama dengan wajah dari perempuan yang beberapa saat lalu ia temui di teras rumah Mbok Tonah. Wajah hancur setengah membusuk penuh dengan lendir dan belatung yang menggeliat geliat menjijikkan.

Angga bergegas mundur, lalu berbalik dan menghampiri Anggi yang kini telah berdiri di ambang pintu dapur.

"Abang kenapa?" Anggi bertanya heran, saat melihat wajah sang kakak terlihat begitu tegang.

"Justru aku yang harusnya bertanya Nggi," Angga balik bertanya untuk menutupi kegugupannya. "Kamu darimana? Pergi nggak bilang bilang! Ini sudah larut malam lho!"

"Tadi aku terbangun karena kebelet pipis Bang. Aku cari cari abang nggak ada. Ya sudah, aku ke kali saja sendirian karena udah nggak tahan," jawab Anggi.

"Huh! Ceroboh kamu! Ya sudah, ayo masuk! Nggak baik malam malam begini kita diluar. Kamu nggak ingat apa pesan Mbah Mo tadi siang? Lain kali kalau mau keluar malam jangan sendirian," setengah mengomel, Angga mengajak adiknya masuk, lalu mengunci pintu.

Setelah memastikan sekali lagi bahwa semua pintu dan jendela telah terkunci dengan benar, Angga lalu merebahkan tubuhnya diatas dipan yang berada di sudut yang berseberangan dengan dipan yang ditiduri oleh Anggi. Ia ingin beristirahat malam ini, setelah segala ketegangan yang dialaminya beberapa saat lalu. Soal semua kejadian aneh dan ganjil itu, ada baiknya besok saja ia ceritakan kepada Anggi.

Sementara Anggi sendiri, yang kini juga telah bergelung dibalik selimut, ternyata juga memiliki pemikiran yang sama dengan sang kakak. Ada sesuatu yang ingin ia ceritakan kepada Angga, karena saat tadi ia bilang bahwa ia keluar karena kebelet pipis, itu sebenarnya hanya bohong belaka. Ada sesuatu yang memaksanya sampai nekat keluar rumah meski ia tau ia tak boleh keluar tanpa sang kakak. Dan sesuatu itu adalah ...

"Ah, lebih baik besok saja kuceritakan semua pada Bang Angga," batin gadis itu, sambil mencoba untuk memejamkan matanya.

Bersambung

Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang