Masih di malam yang sama, namun di tempat yang berbeda. Mas Parto duduk termenung berselimut sarung. Hujan yang turun semenjak sore tadi masih menyisakan gerimis rintik rintik, membuat warung tenda sederhana miliknya menjadi sepi. Hanya ada beberapa tukang ojek yang numpang berteduh, memesan segelas kopi, lalu asyik dengan permainan gaple mereka, dari semenjak sore hingga sekarang menjelang tengah malam.
Mas Parto sendiri, entah kenapa malam itu sama sekali tak tertarik untuk ikut bermain kartu. Tidak seperti biasanya. Semenjak sore, ada perasaan resah yang mengganggu pikirannya. Perasaan tidak enak yang ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.
Sebuah sepeda motor menderu memasuki area parkir pasar, lalu berhenti tepat di depan warung Mbok Tonah. Pengendaranya turun, dan langsung menghampiri Mas Parto.
"Apa kabar saudaraku?" Sapa laki laki itu ramah.
Sejenak Mas Parto terbengong, lalu segera memeluk laki laki itu dengan hangat, begitu mengenali sosok sang tamu yang datang tiba tiba itu.
"Ah, setelah sekian lama, akhirnya kau kembali juga kawan," pelukan hangat Mas Parto disambut oleh laki laki itu.
"Mbok," laki laki berambut gondrong itu lalu menyalami dan mencium tangan Mbok Tonah, membuat perempuan setengah baya itu terbengong heran.
"Aku Permadi Mbok," laki laki itu menjelaskan, begitu menyadari bahwa Mbok Tonah ternyata benar benar sudah tak mengenalinya lagi.
"Oalaahhh ...! Tambah nggantung saja kamu Le! Simbok sampai pangling," Mbok Tonah berseru ribut, sambil menepuk nepuk bahu Permadi. Perempuan setengah baya itu lalu sibuk meracik secangkir kopi untuk tamu istimewanya, sementara Mas Parto mengajak Permadi untuk duduk di sudut yang agak sepi.
"Sepertinya ada hal yang sangat penting, sampai kau menyempatkan diri untuk pulang kembali," Mas Parto membuka percakapan.
"Ya, begitulah," Permadi menjawab, setelah mencicipi kopi yang dihidangkan oleh Mbok Tonah. "Aku mencari dua orang temanku, yang beberapa hari lalu nekat datang ke desa kita."
"Ah, sudah kuduga," tanpa segan Mas Parto menyambar bungkus rokok milik Permadi, mengambilnya sebatang, lalu menyalakannya. "Jadi kedua orang saudara kembar itu adalah temanmu?"
"Sebenarnya belum pantas untuk disebut sebagai teman," Permadi ikut menyulut sebatang rokoknya. "Tapi mereka datang kesini karena aku. Jadi secara tidak langsung aku merasa ikut bertanggung jawab kalau sampai terjadi apa apa dengan mereka."
"Hmmm, begitu ya," Mas Parto mengangguk anggukkan kepalanya. "Kau datang di waktu yang tepat kawan, meski hampir saja terlambat. Salah satu temanmu itu sudah ditandai. Dan malam purnama tinggal besok hari. Dari tadi aku sudah sangat resah memikirkannya. Nasib baik kalau akhirnya kau datang. Aku sudah bosan terus terusan menghadapi masalah yang seperti ini seorang diri."
"Seorang diri?" Permadi mengernyitkan dahinya. "Bukankah masih ada Mbah Mo dan Pak Bayan?"
"Mereka sudah tak bisa diharapkan kawan. Mbah Mo sudah terlalu tua. Sedang Pak Bayan, bisa apa dia? Mengurus bapaknya sendiri saja dia sudah kerepotan."
"Begitu ya," Permadi kembali menyeruput kopinya. "Lalu, siapa yang sudah ditandai? Dan dimana mereka sekarang?"
"Sayangnya, yang perempuanlah yang ditandai. Tanpa sengaja, mereka datang ke rumah Pak Bayan, bertepatan dengan Pak Bayan yang entah sengaja atau tidak, lupa memperbaiki pagarnya. Semua terjadi begitu saja, tanpa sempat untuk dicegah. Kini mereka menginap di bekas rumah almarhum Kang Jono. Sudah dipagari oleh Mbah Mo. Jadi selama mereka tetap di dalam rumah saat malam menjelang, mereka aman."
"Aman katamu?" Permadi setengah mendelik ke arah Mas Parto. "Jika sudah ditandai, itu berarti mereka akan terjebak selamanya di desa itu."
"Apa boleh buat," Mas Parto menghela nafas panjang. "Hanya itu yang bisa kulakukan untuk saat ini kawan."
"Masih ada cara lain," Permadi berkata setengah menggumam. "Akan diakhiri semua ini sampai ke akar akarnya."
"Jangan nekat kamu Di! Sudah cukup anakmu kehilangan ibunya. Jangan sampai ia kehilangan bapaknya juga."
"Apa bedanya To? Toh selama ini dia juga sudah tak mengenali lagi siapa bapaknya. Kamu yang sekarang menjadi bapaknya To. Selain itu, aku yakin sampai saat ini Nengsih masih hidup disana. Aku akan membawanya pulang. Akan kurebut dia dari tangan iblis iblis terkutuk itu!"
Gila! Ini benar benar gila! Mas Parto sangat mengenal sifat Permadi. Jika ia sudah bicara seperti itu, maka tak akan ada gunanya lagi untuk mencegahnya. Dan sebagai sahabat, jelas Mas Parto tak akan membiarkan teman baiknya itu sampai celaka seorang diri.
"Yach, kalau memang tekatmu sudah seperti itu, apa boleh buat," kata Mas Parto akhirnya. "Aku tak akan membiarkanmu pergi seorang diri Di."
"Tidak To! Selama ini aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Kau sudah bersusah payah untuk merawat ibu dan anakku selama ini. Itu sudah lebih dari cukup. Aku tak ingin kau juga ikut mempertaruhkan nyawamu demi aku."
"Di, kita berteman sudah semenjak dari kecil dulu. Susah senang sudah banyak kita lalui bersama. Dan sekarang, saat kau harus berjuang bertaruh nyawa demi menyelamatkan orang orang terdekatmu, mana mungkin aku akan tinggal diam begitu saja? Lagi pula, aku sebenarnya juga sudah lama ingin mengakhiri segala tragedi yang menguasai desa yang menjadi tanah kelahiranku itu. Jadi, apa salahnya kalau sekali lagi kita berjuang bersama, meski ini mungkin akan menjadi perjuangan terakhir kita."
Permadi terdiam, seolah tengah menimbang nimbang ucapan Mas Parto. Sementara Mas Parto juga terdiam, menunggu jawaban dan keputusan dari sahabat lamanya itu. Suasana berubah menjadi hening untuk sesaat. Sampai akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh suara deru mesin mobil yang melaju kencang memasuki area parkir pasar, kemudian mendecit dan berhenti tepat di depan warung tenda milik Mbok Tonah.
Anggi, pengemudi mobil itu turun dengan bergegas. Air mata nampak terurai membanjir membasahi wajahnya yang diliputi oleh ketegangan yang teramat sangat, membuat semua orang yang ada di warung tercekat untuk beberapa kejap. Terutama Mas Parto dan Permadi, yang sudah bisa menebak dan mengira apa yang sebelumnya telah terjadi dengan gadis itu.
"Mas Parto! Permadi! Bang Angga ..., tolong ...," hanya itu ucapan yang keluar dari mulut si gadis, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Alas Tawengan
Misterio / SuspensoAnggada dan Angginita, dua orang kakak beradik kembar, merupakan novelis terkenal yang sudah menerbitkan puluhan novel best seller dengan nama pena Angganita, gabungan dari kedua nama mereka. Spesialisasi mereka adalah cerita cerita bergenre horor d...