Angga menggeliat, lalu mengerang lirih, merasakan sakit yang teramat sangat di sekujur tubuhnya. Tulang belulangnya berasa remuk redam. Memar lebam dan luka luka dengan darah yang mulai mengering menghiasi sekujur badan, menyisakan rasa perih dan ngilu bukan kepalang.
Masih dengan tubuh yang terkapar diatas rerumputan, Angga mengerjapkan kedua matanya, mencoba mengenali suasana di sekelilingnya. Sejauh mata memandang, hanya keremangan yang nampak. Bias sinar rembulan seolah enggan untuk menyapa tempat dimana dia sekarang berada.
Bayangan hitam samar terlihat menjulang tinggi di sisi sebelah kirinya. Sebuah tebing yang sangat curam dengan bebatuan karang yang mencuat tajam di beberapa bagian. Aroma busuk yang sangat menyengat tercium menusuk hidung. Membuat laki laki itu merasa mual bukan kepalang.
"Tempat macam apa ini?" Angga membatin, sambil berusaha untuk bangkit. Rasa sakit di sekujur badan sebisa mungkin ia tahan. Dengan bersusah payah, akhirnya ia bisa duduk, lalu beringsut menyandarkan punggungnya pada tebing karang. Nafasnya tersengal, menahan rasa nyeri yang begitu hebat di bahu kirinya. Entah terkilir atau malah patah tulang, Angga tak begitu mempedulikannya. Kepalanya juga terasa pening bukan kepalang, akibat bau busuk menyengat yang entah darimana asalnya.
Sejenak pemuda itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan pelan. Mencoba untuk menenangkan debar jantungnya yang tak beraturan. Sebelah tangannya meraba saku celana, mencari cari sebungkus rokok dan korek api yang seingatnya masih ia simpan disana.
Nasib baik! Benda benda yang ia cari masih ada. Mungkin dengan menghisap asap bernikotin ini bisa sedikit menenangkan diriku, batin pemuda itu. Dikeluarkannya sebatang rokok dari bungkusnya, lalu ia selipkan di bibir. Korek api ia nyalakan, dan ...
"Anjriittt ...!!!" Pemuda itu sampai melemparkan korek apinya ke sembarang arah karena sangking kagetnya. Bias cahaya dari korek api yang dinyalakannya, dengan jelas menampakkan pemandangan mengerikan yang terpampang di hadapannya. Tulang belulang manusia berserakan dimana mana. Sebagian masih diselimuti oleh serpihan serpihan daging yang telah membusuk, dikerumuni oleh belatung belatung yang menggeliat geliat menjijikkan. Dari situlah sepertinya sumber bau busuk yang semenjak tadi mengganggu indera penciumannya.
Angga memijit mijit keningnya yang terasa semakin pening. Perutnya bergejolak menahan rasa mual yang teramat sangat. Tempat macam apa ini? Neraka kah? Apakah ini berarti aku telah mati? Atau ini hanyalah sebuah mimpi? Angga mencubit lengannya. Sakit! Berarti ini bukan sebuah mimpi. Kalau ini bukan mimpi, apa jangan jangan ....
"Sial!" Angga merutuk kesal, sambil meraba raba permukaan tanah, mencari cari korek api yang tanpa sengaja sempat ia lempar tadi. Ketemu!
Sehelai sapu tangan ia keluarkan dari saku belakang celananya, lalu ia gunakan untuk menutup hidung dan mulutnya. Lumayan! Aroma busuk itu sedikit berkurang kini.
Dengan berbekal penerangan dari korek api, Angga lalu bangkit dan berjalan tertatih. Sebelah tangannya yang memegang korek api, sementara tangan yang lain berpegangan pada permukaan tebing karang, berusaha menahan tubuhnya yang lemah terhuyung agar tak sampai jatuh tersungkur. Rasa nyeri yang kembali terasa menggigit pada bahu kirinya tak ia pedulikan. Yang ada di pikirannya saat itu cuma satu, ia harus segera enyah dari tempat terkutuk ini.
Angga terus melangkah. Tertatih dan terhuyung. Sesekali nyaris tersungkur akibat kakinya tersangkut oleh sulur tanaman rambat dan tulang belulang yang berserakan. Beberapa kali juga ia terpaksa harus menghentikan langkah, sekedar untuk menghela nafas, mengerjap ngerjapkan mata, menggeleng gelengkan kepala, atau apapun itu yang sekiranya bisa menahan kesadarannya yang semakin melemah akibat rasa sakit dan takut yang dirasakannya.
Tidak! Ia tak ingin sampai pingsan di tempat terkutuk ini! Apalagi sampai mati disini. Bergidig ia membayangkan tubuhnya menjadi santapan belatung seperti mayat mayat yang berserakan di tempat ini.
Membayangkan hal itu, sedikit mampu mengembalikan kesadaran Angga. Pemuda itu kembali melangkah. Tertatih tatih menyusuri tepi tebing meski tanpa tau arah. Semakin lama, ia semakin mempercepat langkahnya, karena ingin segera keluar dari tempat yang mengerikan ini. Hal itu membuat kehati hariannya sedikit berkurang. Sebelah kakinya tersangkut pada tulang belulang yang melintang. Tubuh pemuda itupun terhuyung kehilangan keseimbangan.
Refleks, sebelah tangan Angga menyambar sulur tanaman rambat untuk berpegangan. Namun sulur tanaman rambat itu tak sanggup menahan beban tubuhnya. Sulur tanaman rambat itu putus, dan tubuh gempal Angga semakin deras tersungkur ke depan.
"Sial!" Angga merutuk.
"Tap!" Beberapa centi sebelum wajah Angga benar benar mencium tanah, sepasang tangan berhati hati lentik tiba tiba muncul menahan tubuhnya. Selamat! Angga bersyukur, meski ia tak tahu tangan siapa yang telah menyelamatkan dirinya itu. Dengan sisa sisa kesadarannya yang semakin melemah, ia hanya mampu menangkap sosok wajah samar dengan rambut panjang bergelombang, sebelum akhirnya ia pingsan kehilangan kesadaran.
****
"Bayi itu adalah kamu, Permadi!" Ucapan Mbah Mo yang terdengar pelan itu mampu membuat ketiga orang yang berdiri di hadapannya terkejut bukan kepalang. Terutama Permadi. Laki laki itu, menatap nanar ke arah Mbah Mo dengan tatapan penuh ketidakpercayaan.
"Yach, suka atau tidak, itu adalah sebuah kenyataan Permadi. Kau harus bisa menerimanya. Kang Atmo. Atmosuwiryo, orang yang mungkin paling kamu benci di dunia itu, dialah ayah kandungmu. Orang yang telah mengukir jiwa dan ragamu," Mbah Mo mengakhiri kisahnya.
Permadi tertegun. Wajahnya menegang. Gigi geliginya bergemeletuk menahan emosi. Kedua tangannya mengepal, menahan gejolak amarah yang terasa membuncah dalam dadanya.
"Jadi seperti itu ya," geram laki laki itu menggumam. "Lalu laki bejat itu, dia yang telah mengukir jiwa dan ragaku, sekaligus menciptakan berjuta derita di dalam hidupku!"
"Begitulah kenyataannya," Mbah Mo berkata pelan. "Mbok Darmi, orang yang selama ini kau anggap sebagai ibumu itu, kepadanyalah aku dulu menitipkan dirimu waktu masih bayi. Hingga saat kau beranjak remaja, aku memintanya untuk pindah ke desa Patrolan, agar aku bisa ikut mengasuh dan membesarkanmu. Sayang, tragedi kecil itu membuatmu sampai terusir dari desa, dan lagi lagi aku tak bisa berbuat apa apa."
Sejenak, suasana berubah menjadi hening. Keempat orang itu sama sama terdiam, menunggu reaksi dari Permadi. Hanya suara binatang malam yang terdengar jelas, diselingi oleh suara gemerisik dedaunan yang dipermainkan oleh angin. Udara terasa semakin dingin. Sementara kabut juga terlihat kian menebal.
"Kita lanjutkan perjalanan," hanya itu akhirnya kata kata yang keluar dari mulut Permadi, membuat ketiga orang lainnya terbengong dan saling pandang. Merasa tak punya pilihan, ketiganya lalu ikut melangkah, mengikuti Permadi yang sudah terlebih dahulu berjalan. Berjuta pertanyaan menggelayut di benak mereka. Mencoba menerka nerka apa yang ada dalam pikiran Permadi saat ini.
"Bagaimana ini Mbah?" Bisik Mas Parto yang berjalan disamping Mbah Mo.
"Biarkan saja dulu. Sepertinya dia sangat terguncang setelah mengetahui semuanya. Kita ikuti saja kemana ia akan berjalan. Aku yakin, jika benar Nyi Asih yang dulu menolongnya, maka kali ini pun Nyi Asih juga yang akan menuntunnya untuk menyelesaikan semua ini," Mbah Mo menjawab, juga dengan berbisik.
"Dimana kau kuburkan jasad ibuku Mbah?" Tiba tiba Permadi bertanya. Tanpa menghentikan langkah, bahkan tanpa menoleh sama sekali kepada orang yang ia tanya.
"Dibawah pohon randu alas besar yang ada di dekat Jurang Bangkai sana," jawab Mbah Mo.
"Kita kesana!" Kata Permadi lagi, tegas.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Alas Tawengan
Mystery / ThrillerAnggada dan Angginita, dua orang kakak beradik kembar, merupakan novelis terkenal yang sudah menerbitkan puluhan novel best seller dengan nama pena Angganita, gabungan dari kedua nama mereka. Spesialisasi mereka adalah cerita cerita bergenre horor d...