"Kalian....!!!!! Beraninya mengganggu anak keturunanku!!!!" suara serak menggelegar keluar dari mulut Anggi. Lalu disertai dengan tiupan angin kencang dan hawa panas menyengat, tubuh itu melesat cepat, menerjang barisan pasukan siluman monyet yang masih tersisa.
Gerakan yang sangat cepat, sampai sulit untuk diikuti dengan mata telanjang. Memukul, menendang, menyambar, dan melempar apapun yang ada di depan matanya.
Barisan siluman monyet itupun kocar kacir dibuatnya. Terlempar, terbanting, terhempas, terkapar, dan terinjak injak. Jerit mereka yang terkena serangan melengking setinggi langit. Bangkai monyet bergelimpangan, pohon pohon bertumbangan. Darah hitam berbau busuk membanjir. Rombongan dari desa Patrolan itu dengan susah payah mencoba menyingkir untuk menyelamatkan diri.
"Grrrrooooaaarrrrrrrr.........!!!!!" geraman dahsyat menggema dari balik kegelapan, disusul dengan kemunculan lima sosok siluman monyet yang tubuhnya lebih besar dari monyet monyet yang sebelumnya. Sepertinya mereka adalah pemimpin dari pasukan itu.
Wajah bengis dengan mata memerah dan taring yang panjang berkilat kilat tajam, sosok sosok itu benar benar menyeramkan. Lengan lengan panjang dan kokoh dengan cakar cakar yang tajam siap mencabik cabik tubuh lawan.
Kelima sosok itu segera mengepung Anggi. Namun yang dikepung tak gentar sedikitpun. "Bagus kalian datang! Jadi aku tak perlu susah payah untuk mencari dan menghabisi kalian!"
"Wuuusssss.....!!!!" sosok bayangan lain melesat dan berdiri di samping Anggi.
"Aku siap membantumu, Nyi Guru!" Nengsih, sosok itu berkata, sambil memasang kuda kuda, siap menyambut serangan lawan.
"Nengsih...?!" Permadi tercekat, tak mengira istrinya akan senekat itu.
"Jangan," Mbah Mo mencegah saat Permadi ingin bergerak. "Dia tahu apa yang ia lakukan. Kau hanya akan merepotkan mereka jika bermaksud untuk ikut campur."
Permadi mendengus. Kedua tangannya terkepal. Baru saja ia bertemu sang istri setelah berpisah selama bertahun tahun, kini harus menyaksikan sang istri bertaruh nyawa di depan matanya.
Namun Permadi tak bisa berbuat banyak. Pertarungan dahsyat kembali terjadi di depan matanya. Dan benar kata Mbah Mo. Ia hanya akan merepotkan jika ikut campur. Nengsih yang bertubuh mungil dan terlihat lemah, ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Pukulan dan tendangan dari kaki dan tangan mungilnya sanggup membuat siluman yang badannya dua kali lebih besar itu jungkir balik dan bergelimpangan. Sedangkan Anggi, tak perlu dipertanyakan lagi. Karena saat ini hanya raganyalah yang berwujud Anggi, sedang jiwa yang merasukinya adalah jiwa Nyi Asih.
Lima lawan dua, bukanlah pertarungan yang seimbang. Dan justru yang dua itu yang berada diatas angin. Tiga dari yang lima itu telah jatuh terkapar dan tak mampu untuk bangkit lagi. Sedang yang dua lagi masih tak mau menyerah, meski sadar, kecil kemungkinan untuk bisa menang.
"Kita selesaikan sekarang, muridku!" kata Anggi (atau Nyi Asih), menoleh ke arah Nengsih.
"Baik, Nyi Guru," jawab Nengsih sambil kembali memasang kuda kuda.
Disertai geraman dahsyat, kedua makhluk menyeramkan itu menerjang maju. Satu menyerang Nengsih, yang diambut oleh Nengsih dengan sebuah pukulan yang tepat mendarat di kepala makhluk itu. Terdengar suara berderak keras, disusul dengan robohnya sosok itu dengan kepala yang hancur tak berbentuk lagi.
Sedang yang satu lagi menyerang Anggi. Gadis itu berkelit menghindar, sambil tangannya menyambar kepala si makhluk, lalu memuntirnya dengan keras. Tanpa sempat meraung atau melengking lagi, makhluk itu roboh dengan kepala yang terpisah dari badannya.
Berakhir sudah pertarungan malam itu. Permadi segera menghambur memeluk sang istri, yang diambut dengan erat oleh Nengsih. Sedang Angga, masih tercekat melihat tubuh sang adik masih melayang dan bergerak pelan menghampiri Mbah Mo.
"Nyi," Mbah Mo berseru lirih. "Terima kasih telah membantu kami malam ini."
"Anakku!" suara itu masih terdengar serak dan berat.
"Permadi," mbah Mo menoleh ke arah Permadi. Sosok Anggi segera melayang mendekati Permadi dan memeluknya.
"Ibu," Permadi membalas pelukan itu, membuat Angga terjengah. Seumur umur ia belum pernah melihat Anggi memeluk laki laki. Tapi......, ah, sudahlah. Semua kejadian ini benar benar diluar nalar Angga.
"Anakku," isak tangis terdengar pelan. "Kau sudah besar Nak."
"Ibu," tanpa malu malu lagi Permadi juga menumpahkan air matanya.
***
Sementara itu, di waktu yang sama namun tempat yang berbeda, Pak Bayan tersentak dari lamunannya. Terdengar erangan lirih dari mulut Mbah Atmo yang terbaring di atas dipan.
Pak Bayan beringsut mundur, saat menyadari ada perubahan dari tubuh Mbah Atmo. Tubuh yang awalnya hanya tinggal tulang berbalut kulit itu kini tampak membesar, kekar dengan otot otot yang bertonjolan di lengannya. Bulu bulu halus mulai tumbuh di sekujur tubuhnya, dan makin lama makin memanjang, jadi menyerupai rambut kasar berwarna hitam kemerahan.
Seiring dengan itu, perubahan lain juga terjadi. Dahi laki laki itu berubah jadi sedikit menonjol, matanya membulat dan semakin cekung, hidungnya mengecil, dan dagunya sedikit memanjang. Rambut rambut halus juga tumbuh di wajah itu.
Perubahan terus terjadi. Lengan laki laki tua itu memanjang, sementara kakinya justru semakin memendek, dengan jari jari kaki yang memanjang mirip jari tangan. Kuku kuku jari kaki dan tangannya juga berubah menjadi cakar hitam, panjang, dan berkilat tajam.
"Grrrrrrrrrrrrrrrrr......!!!!!" Mbah Atmo yang sudah berubah menjadi sosok menyeramkan itu menggeram dan bangkit dari tidurnya. Dipan tempatnya tadi berbaring berderak, untuk kemudian hancur berkeping keping, tak sanggup menahan berat tubuhnya.
"Auuuuuuuuuu......!!!!" makhluk itu mengaum sambil menengadahkan wajahnya. Pak Bayan tanggap. Inilah waktunya. Laki laki setengah baya itu mencabut dan menghunus keris pemberian dari Mbah Mo.
Hanya menghunusnya, setelah itu tak ada gerakan lain lagi. Tatapan mata merah dari makhluk itu membuatnya tercekat, tak mampu berbuat apa apa. Bahkan untuk mengedipkan matanyapun Pak Bayan sudah tak sanggup.
Makhluk itu menggeram marah saat menatap keris yang ada di tangan Pak Bayan. Tangan makhluk itu melayang, menyambar tubuh Pak Bayan, membuat laki laki itu terhempas ke sudut ruangan.
"Ugh..." Pak Bayan melenguh saat mencoba untuk bangkit, lalu tubuhnya kembali roboh. Darah kental mengalir dari sudut bibir dan kedua lubang hidungnya.
"Grrrrrrrr......!!!" makhluk itu kembali menggeram, sambil menengadahkan wajah dan menepuk dada dengan kedua tangan kekarnya.
"Bruaaakkk...!" pintu kamar terdobrak. Seseorang menerobos masuk, bergulingan di lantai, menyambar keris di tangan Pak Bayan, lalu.....
"Jreeeeebbbb.....!!!!" keris itupun sukses menancap tepat di jantung si makhluk jelmaan Mbah Atmo. Makhluk hitam besar itu melolong tinggi, merasakan sakit yang teramat sangat. Perempuan berbaju kumal itu semakin dalam menancapkan kerisnya. Makhluk itu semakin melolong, lengannya berserabutan kian kemari, menyambar tubuh perempuan yang menusuknya, lalu melemparnya ke sudut ruangan, jatuh menimpa tubuh Pak Bayan yang sudah pingsan duluan.
Makhluk itu terhuyung ke depan, lalu ambruk, untuk kemudian tak bergerak gerak lagi.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Alas Tawengan
Bí ẩn / Giật gânAnggada dan Angginita, dua orang kakak beradik kembar, merupakan novelis terkenal yang sudah menerbitkan puluhan novel best seller dengan nama pena Angganita, gabungan dari kedua nama mereka. Spesialisasi mereka adalah cerita cerita bergenre horor d...