Bab XIX : Pertarungan

65 3 0
                                    

Suasana hutan mendadak menjadi sunyi. Suara nyanyian binatang malam yang sejak tadi terdengar riuh bersahutan, kini lenyap tak terdengar lagi. Hening, sepi, dan mencekam. Angin bertiup semilir, makin lama makin kencang. Kabut semakin tebal menyelimuti semak dan pepohonan. Kabut merah, semerah darah. Mbah Mo dan Mas Parto saling pandang.

"Mereka datang!" desis Mbah Mo.

"Permadi....!!!!!" teriak Mas Parto memanggil Permadi yang masih berada di dalam pondok bersama Nengsih. "Cepat selesaikan urusanmu di dalam! Kita kedatangan tamu!"

"Arrrrgggghhhh.....!!!!" tiba tiba Anggi menjerit sambil memegangi pergelangan tangannya.

"Anggiiii....!!!" Angga panik, mencoba menolong sang adik.

"Saaakkkkiiiiitttttt.... baaaannngggg.....!!!!!" Anggi terjatuh beguling guling diatas rerumputan yang basah oleh embun. Dalam keremangan nampak pergelangan tangan gadis itu membiru lebam.

"Gawat! Tanda itu sudah bereaksi kembali. Mereka sudah dekat. Permadiiiiiii......!!!!!" serak suara Mbah Mo terdengar sedikit panik.

"Bang Anggaaaaa......., Arrrrrgggghhhhh.....!!!!!!" Anggi menjerit setinggi langit, lalu diam tak bergerak. Cepat Mbah Mo memeriksa keadaan gadis itu.

"Ah, tak apa. Dia hanya pingsan!" sedikit lega Angga mendengar penjelasan Mbah Mo. "Kamu jaga baik baik adikmu ini. Dia yang menjadi incaran utama. Biar kami yang menghadapi mereka! Dah, Ah.....Permadiiiiiiii.......!!! Cepat keluar kau! Sial, apa sebenarnya yang dilakukan oleh anak itu di dalam?!" mungkin karena panik, kata kata itu diucapkan Mbah Mo dengan cepat tanpa titik dan koma lagi.

Akhirnya Permadi keluar juga, menggandeng seorang perempuan dekil berpakaian compang camping. "Dia ketemu tarzan Mbah," bisik Mas Parto.

"Tarzan dengkulmu itu!" Mbah Mo bersungut sungut kesal.

"Angga, bawa adikmu masuk ke pondok." Permadi berkata kalem. "Biar kuakhiri semua ini!"

Angga menurut. Dengan susah payah karena tubuhnya sendiri masih terluka, Angga mencoba mengangkat tubuh adiknya yang telah pingsan itu. Nengsih yang melihat Angga kepayahan, segera membantu pemuda itu tanpa diperintah.

Angin bertiup semakin kencang, menggoyangkan pucuk pucuk pepohonan, dan menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di tanah. Ketiga laki laki itu berdiri gagah menunggu kedatangan musuh mereka. Keris Mas Parto telah tercabut dari rangkanya. Mbah Mo menghunus goloknya, dan Permadi menyambar sebatang dahan kering sebesar paha orang dewasa yang tergeletak di dekatnya.

Dari kejauhan terdengar suara menderu, disertai suara jeritan dan lengkingan yang memekakkan telinga. Makin lama suara itu semakin mendekat, dan sekejap kemudian dari balik kegelapan berlompatan makhluk makhluk berbulu hitam kecoklatan dengan tubuh tinggi besar yang jumlahnya...., mereka tak sempat untuk menghitung lagi.

Makhluk makhluk itu langsung menyerbu mereka. Menerjang dengan membabi buta, brutal, liar, dan ganas, disertai lengkingan dan geraman yang memekakkan telinga.

Ketiga laki laki itu tak tinggal diam. Mereka menyambut serangan itu dengan gagah berani. Pertarungan tak terhindarkan lagi. Keris Mas Parto berkelebatan kian kemari, menusuk dan menebas setiap lawan yang mendekat. Golok Mbah Mo tak mau kalah, berhasil memenggal beberapa kepala dari lawannya. Dan Permadi, entah sudah berapa kepala monyet yang remuk terkena hantaman kayu di tangannya.

Darah hitam berbau busuk mengalir dari bangkai bangkai monyet yang bergelimpangan, membasahi setiap jengkal tanah di tempat itu. Melihat teman temannya tewas, monyet monyet yang lain semakin liar dan ganas. Semakin banyak dari mereka yang tewas, semakin liar serangan serangan mereka.

Dan, dengan jumlah mereka yang sangat banyak, membuat ketiga laki laki dari desa Patrolan itu mulai kewalahan. Mereka terdesak, untuk kemudian menjadi bulan bulanan para monyet siluman itu. Tercakar, tergigit,terbanting, dan terinjak injak. Mbah Mo terkapar, Mas Parto terjengkang, dan Permadi kewalahan dikeroyok oleh puluhan monyet yang mengerubutinya.

Beberapa monyet yang lain menyerbu ke dalam pondok. Sepertinya mereka tahu bahwa orang yang mereka incar ada di dalam pondok itu.

"Anggaaaa....!!!!" teriak Mas Parto dengan sisa sisa tenaganya. "Lariiiii..., selamatkan adikmu!!!"

Namun sepertinya terlambat. Dari dalam pondok terdengar suara teriakan Angga, disusul oleh jeritan Nengsih.

"Nengsiiihhh...!! Sial!!" Permadi meradang. Kayu di tangannya berayun memutar, membuat monyet monyet yang mengeroyoknya terlempar ke segala arah. Pemuda itu segera melompat dan menerjang ke arah pondok, bermaksud untuk menyelamatkan istrinya.

Namun, baru saja ia sampai di depan pintu, terdengar suara dentuman dahsyat dari dalam pondok, disusul dengan suara geraman dan lengkingan. Tubuh Permadi terlempar dan terhempas ke tanah, bersama dengan puluhan monyet yang tadi menyerbu ke dalam pondok.

Pondok itu telah hancur kini. Atapnya terbang entah kemana, dinding dindingnya yang terbuat dari kulit kayu terhumbalang ke segala arah. Dan diantara reruntuhan pondok itu, nampak tubuh Anggi melayang dengan tangan terentang. Pakaian dan rambut sebahunya meriap riap tertiup angin. Dan matanya......

Mata gadis itu bersinar memutih. Wajahnya terlihat bengis. Dari mulutnya terdengar suara geraman yang menggetarkan seluruh penjuru hutan.

"Kalian.....!!! Beraninya mengganggu anak keturunanku!!!"

Bersambung

Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang