Bab VIII : Malam Mencekam

261 27 0
                                    

Malam belum terlalu larut. Namun suasana desa sudah begitu sepi. Hanya suara nyanyian binatang malam yang terdengar, membuat suasana terasa sedikit mencekam.

Angga nampak gelisah dalam duduknya. Kejadian yang ia alami seharian tadi, sedikit banyak mengganggu perasaannya. Dari Anggi yang tiba tiba berdiri mematung seperti orang terkena hypnotis saat dalam perjalanan ke rumah Pak Bayan, peristiwa aneh yang dialami oleh Mbah Atmo di rumah Pak Bayan, sampai perempuan gila yang sampai saat ini belum ia ketahui namanya. Semua itu seolah memberi isyarat buruk bagi Angga.

Ah, seandainya Mas Parto malam ini nggak ikut jualan Mbok Tonah, tentu laki laki itu bisa kuajak untuk membahas masalah ini, batin Angga. Anggi yang ia harap bisa ia ajak bertukar pikiran, justru telah terlelap semenjak sore tadi. Dan Angga tak tega untuk menganggunya, mengingat apa yang dialami oleh sang adik seharian tadi, sudah cukup menguras energi dari gadis cantik itu.

Pelan, Angga bangkit dari duduknya, lalu menyeduh secangkir kopi. Sebelum berangkat berjualan tadi, Mbok Tonah sempat menyediakan setermos air panas, gula, kopi, dan beberapa potong ubi rebus untuk mereka. Angga patut berterimakasih sekali lagi pada perempuan setengah baya yang baik hati itu.

Sambil menenteng cangkir kopi di tangan, Angga lalu beranjak keluar, lalu duduk diatas balai balai bambu reot yang ada di teras rumah. Sambil menikmati kopi kental, ia memandang ke seluruh penjuru desa, lalu mendesah pelan.

Suasana malam di desa ini, sama persis seperti yang dilihatnya tempo hari dalam mimpi. Mimpi yang menjadi firasat buruk saat mereka hendak berangkat ke desa ini.

Suasana yang sunyi, kelam, dingin, dan gelap dengan selimut kabut yang hampir menyelubungi seluruh area desa. Lampu lampu penerangan yang dipasang di teras rumah Pak Bayan, Mbok Tonah, Mbah Mo, dan juga rumah di perempuan gila, hanya tampak remang remang karena tak kuasa menembus pekatnya kabut.

Angga kembali menyecap kopinya, lalu mengalihkan pandangan ke arah hutan. Seketika itu juga, ia dibuat tersentak dengan apa yang tengah dilihatnya. Disana, ditengah pekatnya suasana hutan yang berkabut, samar samar nampak sosok hitam besar tengah berdiri mematung, seolah tengah mengawasi seluruh penjuru desa.

Seolah tak percaya, pemuda itu sampai mengucek matanya. Namun apa yang ia lihat itu sepertinya bukanlah sebuah halusinasi belaka. Sosok itu, dia masih berdiri disana. Seperti manusia, namun Angga yakin itu bukanlah manusia.

Sosoknya terlalu besar untuk disebut sebagai manusia. Juga kedua lengannya yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Tubuhnya sedikit membungkuk, sementara kedua matanya yang menyala kemerahan, terlihat begitu jelas di tengah kegelapan, menatap tepat ke arah dimana Angga tengah duduk sekarang.

Tanpa sadar, Angga mengusap tengkuknya yang tiba tiba merinding. Sosok itu, mengingatkannya pada cerita Mas Parto tentang siluman monyet yang menghuni hutan larangan itu. Angga lalu buru buru bangkit dari duduknya, dan bermaksud untuk masuk ke dalam rumah. Siluman atau bukan, tatapan mata merah dari sosok itu jelas bukanlah sebuah tatapan bersahabat. Dan Angga yang baru tiba di desa ini, jelas tak ingin terlibat dalam masalah.

Namun belum sempat Angga beranjak dari tempatnya, ekor matanya kembali menangkap sesuatu yang ganjil. Masih dari arah hutan, tapi dari sudut yang berbeda dengan tempat sosok hitam tinggi besar itu berada, nampak bayangan putih bergerak perlahan menuju ke arah desa. Semakin lama, sosok itu terlihat semakin jelas. Perempuan, dengan rambut panjang yang tergerai menutupi sebagian wajahnya. Membuat Angga tak mampu mengenali wajah dari sosok itu.

Sayup sayup, Angga juga mendengar suara tangisan lirih yang terdengar begitu menyayat hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sayup sayup, Angga juga mendengar suara tangisan lirih yang terdengar begitu menyayat hati. Suara tangis seorang perempuan. Anggapun lalu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah, dan diam diam mengawasi si sosok perempuan bergaun putih itu melalui ekor matanya.

Tepat didepan rumah si perempuan gila, sosok itu berhenti sejenak. Wajahnya sedikit terangkat, menatap lekat ke arah rumah itu dari sela sela juntaian rambut yang menutupi wajahnya. Suara tangisnya masih sayup sayup terdengar.

Tak lama, ia kembali melayang. Kali ini menuju ke rumah Mbok Tonah. Dan karena letak rumah Mbok Tonah tepat bersebelahan dengan rumah yang Angga tempati, maka kini Angga bisa melihat semakin jelas penampakan dari si sosok perempuan itu.

Angga bergidig ngeri, saat menyadari bahwa sosok itu memang benar benar melayang, bukan berjalan seperti manusia pada umumnya. Telapak kakinya mengambang beberapa jengkal diatas permukaan tanah.

Rasa takutpun mulai menjalar di hari Angga. Keringat dingin mengucur deras saat sosok itu semakin mendekat. Ingin rasanya Angga lari dan masuk kedalam rumah. Namun kedua kakinya seolah terpaku pada lantai tanah di teras tempatnya berdiri.

Beruntung, entah karena tak menyadari atau memang tak peduli dengan kehadiran Angga, sosok itu sedikitpun tak menoleh ke arah Angga yang tengah berdiri mematung dengan tubuh gemetaran. Ia justru berbelok, naik ke teras rumah Mbok Tonah, lalu berdiri tepat di depan pintu rumah itu. Suara tangisannya semakin jelas terdengar.

"Gawat!" Angga berpikir cepat. Keberaniannya timbul saat ingat bahwa di rumah itu hanya ada Lestari dan Wahyuni.

Angga tak tahu apakah makhluk itu berniat jahat atau sebaliknya. Tapi ia tak mau ambil resiko. Makhluk ini, jelas bukan manusia. Dan anak anak perempuan seusia Lestari dan Wahyuni, sudah pasti akan sangat syok jika sampai melihat atau bertemu dengan makhluk seperti itu.

Tanpa pikir panjang, Angga segera melangkah bergegas menuju ke rumah Mbok Tonah. Rasa takut yang tadi sempat ia rasakan, coba ia buang jauh jauh. Siluman atau bukan, Angga tak akan membiarkan makhluk itu sampai mengganggu keluarga Mbok Tonah.

Namun baru beberapa tindak Angga berjalan, langkahnya kembali terhenti, saat tiba tiba sosok itu menoleh ke arahnya, bersamaan dengan angin yang tiba tiba bertiup, menyibakkan rambut si perempuan yang menutupi wajahnya, hingga Angga kini bisa melihat dengan jelas wajah dari si sosok itu.

Keberanian Angga yang tadi sempat bangkit, runtuh seketika saat kedua matanya melihat wajah hancur setengah membusuk dipenuhi oleh lendir dan belatung yang menggeliat geliat, menyebarkan aroma amis bercampur busuk yang memualkan perut.

Sosok itu hanya menatap dalam diam ke arah Angga. Tanpa bergerak, juga tanpa bersuara. Namun itu sudah cukup untuk meruntuhkan keberanian seorang Angga. Rasa takut yang teramat sangat, membuat Angga hanya mampu diam terpaku dengan tubuh gemetar. Kedua lututnya terasa goyah. Keringat dingin sebesar biji jagung kembali membanjir.

Angga mundur perlahan, bermaksud untuk menghindar dari tatapan seram si makhluk perempuan. Namun niat itu sepertinya harus ia tahan, karena dari arah belakangnya, sebuah tangan tiba tiba hinggap di bahunya. Sentuhan lembut namun terasa begitu dingin, hingga seolah mampu menembus sampai ke tulang.

Ingin Angga menoleh, namun lehernya tiba tiba terasa begitu kaku. Hembusan nafas dingin menerpa tengkuknya. Disertai oleh aroma tak sedap yang menguar menusuk indera penciuman. Angga nyaris dibuat muntah karenanya.

"Matilah aku!" Angga merutuk dalam hati, teringat akan sosok lain yang sempat ia lihat sebelum kemunculan si sosok perempuan misterius yang berada di hadapannya itu.

Bersambung

Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang