Bab XIV : Kisah Kelam Masa Lalu

240 28 2
                                    

Permadi mengemudikan katana hitam itu bagai orang kesurupan. Jalanan terjal licin berlumpur dilibasnya dengan kecepatan tinggi. Deru mesin menggerung gerung memecah kebisuan malam. Lumpur berterbangan terlindas roda roda mobil itu. Entah sudah berapa kali jeep hitam itu slip dan nyaris terlempar kedalam jurang yang menganga di sisi jalan.

Mas Parto yang duduk di samping Permadi berpegangan erat pada dashboard, meski ia telah mengikat erat tubuhnya dengan tali sabuk pengaman. Sedang Anggi yang duduk di jok belakang, seolah tak peduli dengan keadaan. Isak tangisnya sesekali masih terdengar di sela sela deru mesin kendaraan.

"Kita singgah sebentar ke rumah! Ada sesuatu yang ingin ku ambil!" Mas Parto berkata setengah berteriak.

"Oke!" Permadi menjawab singkat, lalu membanting stir memasuki halaman rumah Mbok Tonah.

"Kamu tak ingin melihat anakmu dulu?" Mas Parto turun, lalu bergegas masuk ke dalam rumah, disambut oleh Lestari yang terbangun oleh suara berisik mereka.

Permadi dan Anggi ikut turun, lalu mengikuti langkah Mas Parto masuk ke dalam rumah.

"Dia tidur di kamar itu," Mas Parto menunjuk ke salah satu kamar yang ada di sisi kiri ruangan, lalu masuk ke dalam kamar yang lain.

Perlahan Permadi membuka pintu kamar yang ditunjuk oleh Mas Parto. Nampak diatas dipan terbaring seorang bocah perempuan berwajah manis yang tengah tertidur lelap, seolah sama sekali tak merasa terganggu oleh suara ribut ribut barusan.

"Wahyuni anakku," pelan Permadi berbisik, sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Untuk sesaat, ia hanya bisa tertegun. Berdiri diam di sisi ranjang sambil menatap wajah si bocah yang nampak begitu damai dalam tidurnya.

Pelan pelan, Permadi lalu duduk di tepi ranjang, membelai rambut panjang si bocah, lalu mengecup lembut keningnya. Gadis cilik itu menggeliat dengan mata masih terpejam. Bibir mungilnya menggumam pelan, mengucapakan kata kata yang tak begitu jelas terdengar.

Masih dengan gerakan perlahan, Permadi menepuk nepuk lembut paha si gadis, lalu membetulkan letak selimutnya yang sedikit tersingkap akibat gerakan menggeliatnya tadi.

Samar terdengar suara helaan nafas panjang. Permadi bangkit, lalu melangkah keluar kamar, melewati begitu saja sosok Anggi yang menyaksikan semua kejadian itu dari ambang pintu kamar. Gadis itulah yang barusan menghela nafas panjang, karena ikut merasakan perih dan sakit yang mencoba ditahan oleh laki laki yang belum lama dikenalnya itu.

"Kita berangkat!" Permadi berkata tegas, saat Mas Parto telah keluar dari kamar yang tadi dimasukinya.

"Aku ikut," Anggi menjawab tak kalah tegas.

"Ri, kamu jaga rumah baik baik," Mas Parto berpesan kepada sang adik, sambil menyelipkan sebilah keris di pinggangnya. "Kunci pintu rapat rapat! Apapun yang terjadi jangan pernah keluar rumah! Siapapun yang datang mengetuk pintu, jangan dihiraukan! Ingat! Sebelum matahari terbit, jangan sekali kali membuka pintu! Ingat itu baik baik!"

Lestari hanya mengangguk. Ketiga orang itupun segera berlalu keluar rumah. Sampai di halaman, seseorang ternyata telah menunggu mereka. Seorang laki laki tua berpakaian serba hitam dengan sebilah golok yang terselip di pinggang.

"Mbah Mo," sedikit terkejut Mas Parto menyapa laki laki itu.

"Mau kemana kalian?" Mbah Mo balas bertanya dengan suaranya yang bernada berat.

"Bukan urusanmu Mbah!" Ketus Permadi menjawab. "Dan jangan coba coba untuk menghalangi kami!"

"Ah, kau rupanya, Permadi," Mbah Mo melangkah mendekat. "Syukur kalau kau sudah datang. Dan aku sama sekali tak ada niat untuk menghalangi niat kalian. Tapi sebelum itu, izinkanlah orang tua ini untuk menyampaikan sesuatu kepadamu."

Misteri Alas TawenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang