17. Bersama

8 1 0
                                    


Kiara memandang wajah tidur Evan dengan seksama. Suaminya terlihat sangat pulas dan nyaman. Sebelah tangannya jadi bantal untuk kepala Kiara. Sementara sebelah tangan yang lain bertengger di pinggang rampingnya.

Dia sangat tampan. Benarkah dia suamiku?

Kiara membelai ringan alis tebal Evan. Perlahan turun ke hidung mancungnya hingga ke bibir. Sesaat dia ragu tapi kemudian dia melanjutkan mengusap bibir Evan. Bibir tipis yang terbentuk dengan apik. Siapapun yang melihatnya pasti kagum. Apalagi para wanita. Kiara mendesah pelan. Dia ingat semua rasa ciuman dari bibir itu.

Kau curang, Mas Evan. Kenapa kau sangat memukau?

Kiara tersentak dengan pemikiran itu.

Ya Tuhan! Apa yang kau pikirkan, Kiara? Ada apa denganmu?

Dia mengepalkan tangannya tapi masih terasa gatal ingin membelai wajah di depannya. Posisi tidur berhadapan ini membuat dia leluasa menatap Evan dengan puas.

Matanya melirik ke tangan Evan yang berada di pinggangnya. Tangan itu sudah mendekapnya erat tadi saat dia terganggu karena mimpi buruknya.

Rasika masih menghantui mimpi-mimpinya walau tidak sesering dulu. Kata-kata makian dan kebencian Rasika seperti pisau yang tajam menghujam kepala dan hatinya. Dia pasti selalu mengalami serangan ketakutan hingga gemetar dan kadang terisak saat mimpi itu datang.

Pertemuan dengan Rasika dan juga Zaiga pagi sebelumnya sudah otomatis mendatangkan trauma itu kembali. Kiara sadar dia belum sepenuhnya pulih. Namun kehadiran dan kesabaran Evan cukup membantunya untuk melewati semua itu.

Bagaimana dia bisa begitu beruntung hingga mendapatkan suami seperti Evan. Pria itu menerima semua hal tentang dirinya. Bahkan dia tidak jijik dengan semua bekas luka di tubuhnya. Dia tidak tau apa yang dilihat Evan dari dirinya hingga dia menerima perjodohan ini.

Setelah memikirkannya, Kiara ingat pertama kali mereka bertemu pandang walaupun hanya sesaat. Evan datang bersama Jefry ke lantai 4. Dia hanya diam dan menatapnya. Pria itu tidak bicara tapi Kiara melihat tatapan pria itu cukup aneh. Matanya seperti mencari tahu.

Apakah dia sudah tau aku adalah wanita yang dijodohkan untuknya saat itu?

Suara notifikasi ponsel Evan berbunyi dan membuat Kiara gugup. Dia langsung menutup matanya berpura-pura tidur. Dia merasakan Evan bergerak perlahan. Suara bunyi tombol ponsel menandakan dia sedang membaca pesannya.

Sesaat kemudian Kiara merasakan kecupan ringan di keningnya. Jemari Evan juga membelai lehernya. Dia mengangkat kepala Kiara dan memindahkannya ke atas bantal dengan hati-hati. Selimut ditarik menutupi tubuhnya dan Evan meninggalkan kamar dengan sangat pelan. Sepertinya dia takut membangunkan Kiara kalau dia bergerak dengan cara yang biasa.

Kiara membuka matanya perlahan setelah mendengar pintu kamar tertutup. Evan sudah tidak ada. Kiara melihat jam dinding.

Jam 2? Siapa yang mengirim pesan jam segini? Sudah lewat tengah malam.

Kiara bangkit dan duduk. Dia penasaran siapa yang sudah mengirim pesan pada Evan di jam seperti ini.

Dia segera bangkit dan memakai jubah piyamanya. Tubuhnya terasa dingin karena di luar sedang hujan. Dia mengurut pelan kakinya yang ada bekas luka operasi. Setiap cuaca dingin tempat itu akan terasa nyeri. Kiara berpikir akan mengambil kompres hangat dulu di dapur lalu mencari Evan.

Dia mendapat kantong kompres lalu mengisinya dengan air panas. Sambil menimang-nimang benda itu dia berjalan berkeliling mencari keberadaan Evan. Dia berpikir pria itu mungkin berada di ruangan kerjanya. Saat mendekati ruangan itu dia melihat pintu sedikit terbuka dan cahaya lampu keluar dari dalam. Terdengar suara percakapan samar. Kiara mendekat perlahan karena tidak ingin mengganggu Evan.

Kisah KiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang