09. Luka

8 1 0
                                    


EVAN POV

Kiara duduk di sampingku dengan diam. Tangannya masih menggenggam erat sendok makannya. Sudah lebih dari 10 menit dia diam seperti itu. Matanya kosong menatap makanan di atas meja.

Aku bingung. Ini sudah seminggu dia tidak banyak bicara lagi selama waktu makan siang kami. Rutinitas ini jadi dingin. Hanya ada senyum kaku di bibirnya yang manis. Saat aku menciumnya, dia tidak membalas tapi hanya diam dan terpejam.

Aku tidak tahan lagi ingin bertanya tapi aku tidak mau dia terbebani. Seperti ada yang mengganggu pikirannya.

”Kiara, kau tidak makan?”

Aku menyentuh bahunya ringan dan dia langsung terlonjak dari lamunannya.

”Kau baik-baik saja?”

Aku mengelus pipinya yang pucat karena kaget.

”Maaf, pak. Saya akan makan.”

Kiara mulai makan dengan gerakan canggung tapi terlihat buru-buru. Bukti jelas kalau ada yang salah. Aku tidak bisa terus diam. Dia semakin buruk beberapa hari ini. Bahkan dia kembali mengalami mimpi buruk dan menangis dalam tidurnya. Dan aku hanya bisa memeluknya dengan hati-hati. Hatiku cemas dan sakit. Wajah manisnya terlihat penuh luka saat bermimpi buruk. Aku juga ikut menangis dalam diam bersama tangisannya.

Apakah kau tahu Kiara kalau aku sudah mencintaimu sebelum kita menikah? Aku baru menyadarinya sekarang. Dia sudah menyentuh hati terdalamku yang terkunci sejak 6 tahun yang lalu. Aku tidak tahu apa yang membuatku menyukainya. Hanya dengan menatap mata sendu itu, aku sudah jatuh sangat dalam dan aku merasa tidak ingin bangkit dan menjauh. Kiara, kau menarikku sangat kuat. Tidakkah kau tahu itu?

Sekali lagi, siang ini suasana makan siang kami terasa suram. Kiara kembali ke mejanya dengan sikap canggung. Aku merasakan jarak yang mulai tercipta. Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu?

Arrgghh...aku tidak tahan lagi. Aku harus cari tahu. Aku segera menelepon Jefry dan memintanya datang.

”Ada apa?” tanya Jefry begitu dia membuka pintu ruanganku. Wajahnya terlihat cemas.

”Aku mau lihat rekaman CCTV lantai 4 dari seminggu yang lalu hingga hari ini.” pintaku tanpa basa basi. Aku yakin Jefry mengerti apa yang kumau.

”Kapan?”

”Sebelum pulang kerja. Aku mau melihatnya di rumah.”

”Apa terjadi sesuatu dengan Kiara?”

”Itu yang mau kucari tahu.”

Jefry menatapku tajam dan aku membalasnya. Kami saling menatap selama beberapa saat.

”Kau cemas.” tegasnya.

”Ya...benar. Sangat.”

Jefry mengangguk beberapa kali lalu segera keluar dengan cepat.
Aku harap semuanya jelas malam ini.

****

Aku langsung masuk ke ruang kerja begitu sampai di rumah. Sedangkan Kiara, Layla sudah menarik tangannya setelah dia turun dari mobil. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua selama beberapa waktu sebelum sholat Isya. Kiara menemani Layla bermain dengan sabar. Aku bisa lihat itu karena aku selalu mengamatinya setiap hari. Perubahan emosinya sangat menarik untuk diamati. Perbedaan raut wajah dan sikapnya berbeda saat bersamaku. Dia terlihat senang dan cantik. Kesan tertekan menghilang seketika saat tangan mungil Layla menarik jemarinya. Sungguh pemandangan yang menenangkan.

Tanpa membuang waktu aku membuka diska lepas yang diberikan Jefry. Seingatku seminggu yang lalu saat makan siang bersama, Kiara masih baik-baik saja. Tapi saat pulang kerja, dia menjadi lebih pendiam. Kemungkinan sesuatu terjadi setelah makan siang itu.

Kisah KiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang