15. Memilih untuk bertahan

1.3K 111 11
                                    


Sudah hampir 5 hari Jian terbaring di atas ranjang rumah sakit dalam kondisi masih koma. Naufal yang selalu setia menunggu Jian bangun dari mimpi lamanya, Jovan juga sedang menunggu Jian terbangun.

Yang tau Jian koma hanya mereka berdua Naufal dan Jovan, mereka belum memberi tahu tentang kondisi Jian sekarang kepada yang lain. Mahesa, Raden dan Haidan sibuk mengurus cakra dan mencari pendonor jantung untuk Cakra.

"Jov, gue kangen senyum Jian, gue kangen tawa Jian, gue kangen ngobrolin semua hal yang ada di semesta ini sama Jian, jov".

Keluh kesah naufal ia tuangkan kepada Jovan.

"Seandainya waktu bisa diputar kembali gue bakal bahagia in Jian lebih dari apapun, gue bakal sayang sama Jian". Jovan hanya bisa menjawabnya dengan penyesalannya.

"Kenapa kita dulu sejahat itu sama Jian. mungkin sekarang kita bisa dibilang orang yang paling jahat di mata Jian". Ucap Naufal dan menghela nafas kasar.

"Kalo posisi Jian bisa diganti saat ini, gue siap ngantiin posisinya".

Naufal dan Jovan tidak berhenti berbicara tentang penyesalan mereka selama ini.

"Fal, Lo inget ga waktu sekolah Jian ada pengambilan rapot kenaikan kelas waktu SD, tapi ga ada yang mau ngambilin rapotnya, terus Jian nyari orang buat ngambil in rapotnya, tau ga siapa yang jadi ngambilin rapot Jian?".

Jovan mencoba menceritakan sedikit tentang Jian yang kejadian nya sudah bertahun tahun lalu.

"Siapa?". Jujur naufal sudah lupa dan tidak tau siapa orang itu.

"Mang Dadang fal, tukang kebun rumah kita dulu". Jawab Jovan.

*Flashback on

"Bang Mahes bang". Teriak anak kecil yang berusia 9 tahun memanggil sang kakaknya.

"JIAN STOP PANGGIL SAYA". Bentak Mahesa yang membuat Jian memundurkan langkahnya sedikit menjauh dari tubuh tinggi Mahesa.

"J-jia-n c-uma mau b-ilang ka-lo besok kena-ikan Jian ke kel-as 4 bang". Dengan menundukkan kepalanya Jian mencoba berbicara kepada Mahesa.

"Besok saya sibuk Jian, minta sama yang lain". Tanpa memedulikan Jian, Mahesa langsung pergi meninggalkan Jian.

"Siapa lagi bang, bang Raden, bang Jovan, bang Haidan dan bang Naufal kata mereka ga bisa semua".

Jian mencoba memikirkan siapa yang harus dia minta tolongin untuk mengambil rapotnya, karena sistem di sekolahnya yang mengambil rapot harus orang tua atau keluarga lainnya tidak boleh siswanya.

Jian terduduk di kursi taman dibelakang rumahnya. Jian termenung memikirkan besok pengambilan rapotnya, kepala Jian seakan akan ingin meletus. Tetiba ada orang yang menepuk pundaknya.

"Astaga, paman ngagetin Jian aja". Jian terbangun dari pikirannya.

"Maaf den, habisnya tadi saya lihat dari jauh den Jian ngelamun terus, mikirin apa sih den? den Jian masih kecil loh". Ucap mamang Dadang dan duduk disebelah Jian.

"Jian bingung, besok kan pengambilan rapot terus tadi Bu guru bilang yang ngambil harus orang tua atau keluarga lainnya, tapi bang Mahes, bang Raden, bang Jovan, bang Haidan sama bang Naufal  sibuk". Cerita Jian.

"Gimana kalo mamang yang ngambil rapot den Jian?". Tawar mamang Dadang.

"Eumm, tapi- yaudahh deh, paman aja yang ngambil rapot Jian besok".

Akhirnya  yang mengambil rapot Jian mamang Dadang.

"Besok jam berapa den? Sekalian besok saya anter pake motor kesayangan mamang". Sedikit menghibur Jian, agar Jian tidak murung.

Jian juga Ingin di sayang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang