Bab 1

296 111 575
                                    

Bab 1

Banyak mata diam-diam melirik ke arah yang sama dengan tatapan takut dan cemas. Tampak sangat jelas mereka saling berbisik begitu melihat sekelompok anak-anak yang terkenal akan kenakalan mereka dan sering berkelahi di luar wilayah sekolah menguasai tempat duduk di tepi lapangan.

Aura yang sangat mengintimidasi membuat banyak siswa enggan untuk lewat bahkan mendekat. Mereka khawatir akan menjadi korban bila nekat mencari masalah. Karena itu, sebisa mungkin murid yang memilih makan di tepi lapangan agar menjaga jarak kurang lebih sekitar 5 meter.

Namun, bukan hanya itu yang menjadi fokus mereka.

Di antara lautan anak laki-laki dengan aura sangar, terlihat gadis mungil pemalu duduk canggung sambil memakan bekal. Mereka bertanya-tanya ketika melihat pemandangan tersebut.

Dia punya salah apa sampai makan dikelilingi cowok-cowok nakal itu?

Aria Wulandari makan dengan perasaan gelisah seolah tengah diawasi oleh arwah. Menghabiskan bekalnya, Aria mengemas kembali kotak bekal yang telah kosong. Dengan hati-hati dia memerhatikan orang di sekelilingnya.

“Apa harus setiap hari begini? Aku gapapa makan sendirian, kok.”

“Enggak bisa begitu,” balas satu pemuda yang sedari tadi memegang bola basket di sebelah Aria. Ia menyunggingkan senyum. “Kita harus pastiin cewek yang El suka tetap aman. Makanya, kita jagain lo.”

Aria bergeming. Justru aku yang gak merasa aman!

Merasakan ponselnya bergetar, Aria mengambil ponsel di sakunya. Terdapat sebuah notifikasi pesan dari seseorang. Dia membuka layar kunci kemudian memeriksa chat masuk.

Crush

Ria sayang

Udah makannya?

Satu pesan tersebut berhasil membuat Aria tersipu malu. Buru-buru ia mematikan ponsel dan menenangkan diri dengan debaran jantung yang tidak terkendali. Laki-laki yang duduk di samping Aria memandang keheranan.

Kembali pada selumbari.

Aria baru saja akan kembali ke kelas setelah menyelesaikan urusan di toilet ketika beberapa anak laki-laki dengan kerlingan tajam mendadak menghalangi jalan dan menitahkan mengikuti mereka ke suatu tempat.

Dalam keadaan kalang kabut, tungkainya membawa Aria menuju ke salah satu kelas. Papan nama yang menggantung di pintu menunjukkan angka “2-5”. Mengapa dia dibawa ke sini? Seingatnya dia tidak punya teman atau kenalan di kelas ini. Hati Aria berdesar gelisah.

“El, kita udah bawa dia.”

Yang dipanggil merespons dengan deham tanpa menoleh, sementara matanya fokus memainkan ponsel. Aria melirik ke sisi lain kelas. Beberapa murid yang menyadari lirikan Aria segera memalingkan wajah, berpura-pura tidak bertatapan barusan. Aria mengembuskan napas kecil. Artinya dia tidak bisa meminta bantuan.

Berbagai pertanyaan masih menggantung di benaknya. Aria memerhatikan laki-laki yang dipanggil El tadi. Eldhar Amuzaki. Kerap dipanggil Eldhar atau El. Pemuda dengan berbagai rumor negatif seperti langganan berkelahi di luar sekolah, mengintimidasi para siswa, tidak mematuhi peraturan, dan masih banyak lagi.

Banyak orang tidak ingin berurusan dengan Eldhar ataupun teman-temannya. Meski begitu ... Aria menyukainya. Aria menyimpan perasaan kepada pemuda di hadapannya sekarang.

Dia tidak pernah membayangkan akan sedekat ini dengan gebetannya. Paling sering hanya memandang dari kejauhan dan menyukai diam-diam.

Aria berusaha menahan rasa malu dan bersikap setenang mungkin walau jantung tengah berpacu cepat layaknya balapan kuda. Namun, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan dalam kepala Aria. Sebenarnya apa tujuannya dibawa ke sini? Terlebih menghadap kepada gebetannya. Rasanya Aria tidak pernah memiliki masalah dengan Eldhar. Berbicara saja pun belum pernah sama sekali.

Sebenarnya aku ini disuruh ngapain? Berdiri aja liatin dia main? Aria mulai merasakan pegal di bagian lutut. Bersamaan dengan itu, pemuda bernama Eldhar tersebut meletakkan gawainya kemudian menghampiri Aria yang berdiri canggung.

Kini, mereka berdua saling berhadapan. Tatapan Eldhar begitu tajam hingga Aria dapat membayangkan rasa sakit dan perih akibat luka sayatan hanya dengan memandang mata pemuda itu.

Refleks Aria memalingkan wajah. Bukan karena merasa terintimidasi, tetapi takut wajahnya yang memerah terpandang jelas. Mendapati Eldhar tidak kunjung membuka suara, Aria mencoba mengajak berbicara dengan hati-hati. “Ada urusan apa, ya?”

Mata Eldhar menyipit. “Enggak ada. Cuman mau tanya sesuatu.”

“Tanya sesuatu?”

Eldhar mengangguk singkat. Satu langkah membawanya lebih dekat pada Aria. Eldhar menundukkan kepala sampai keningnya hampir mengenai kepala Aria.

“Lo ... Punya pacar?”

Hah? Dunia kena hantam batu jenis apa sampai yang melontarkan pertanyaan ini adalah gebetannya sendiri? Aria mengerutkan kening kemudian menjawab dengan jujur dan hati-hati. “Enggak punya.”

Kalimat ‘Aku lagi suka seseorang' agaknya tidak perlu ditambahkan. Lagi pula mereka tidak memiliki hubungan dekat untuk membuka rahasia yang menyangkut privasi. Namun, tidak diduga bahwa pertanyaan lanjutan dari Eldhar membuat Aria hampir terbatuk-batuk.

“Tapi lagi suka seseorang?”

Perlu diingat bahwa pertanyaan itu diberikan oleh gebetan kepada Aria. Sekali lagi, gebetan. Aria tidak bisa menatap mata Eldhar di depannya. Fokusnya ke arah lain karena rasa cemas dan malu. Aku harus jawab apa? Masa aku jawab yang aku suka kamu, cowok di depanku. Aria memejamkan mata lalu berkata pelan, “Enggak. Kenapa emangnya?”

Mendengar hal tersebut, kedua sudut bibir Eldhar perlahan tertarik ke atas, menampakkan senyum manis. “Aku suka kamu. Boleh gak aku deketin kamu?” tanyanya.

Suara Eldhar begitu lantang dan jelas. Pastinya teman-teman di belakang Eldhar beserta para penghuni kelas dapat mendengarnya.

Otak Aria masih setengah mencerna hanya bisa terbengong seperti baru saja kehilangan akal sehat. “Hah?” Aria tidak bermaksud menanggapi dengan tidak sopan, tetapi dia ingin memastikan bahwa pendengarannya tidak salah dan yang menanyakan itu adalah Eldhar.

“Aku suka kamu. Cuman karena kita baru kenal, aku bisa gak deketin buat ngejar kamu?”

Jantung Aria berdegup kencang dan dia bisa merasakan wajahnya mulai memanas seolah sedang direbus dalam air bersuhu tinggi. Ini bukan karena dia tersentuh, melainkan karena bingung! Pertama, gebetan Aria yang ia pandang dari jauh menyatakan suka kepadanya. Kedua, dia mengajukan diri untuk mengejarnya. Rasanya seperti jiwa Aria akan terbang ke langit.

Melihat Aria tidak kunjung memberikan jawaban, Eldhar menimpali, “Diammu aku anggap iya.”

“Hah? T-tung– “

Aria tidak mampu menyelesaikan kalimatnya ketika ia merasakan sensasi lembut dan basah di bagian keningnya. Kedua matanya membelalak hingga refleks memegang kening yang baru saja dicium Eldhar.

Mereka yang menganggap Eldhar pembuat onar dengan wajah sangar dan aura menakutkan, menampilkan senyum yang menawan dan lembut hingga pipi Aria terbalut rona merah.

Seharusnya ini bisa dianggap perasaannya terbalas, kan?

[END] I Love You ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang