Bab 12

13 2 0
                                    

Bab 12

Aria duduk sendiri di bawah pohon dengan laptop di hadapannya. Jari jemarinya yang lentik menari indah di atas papan tombol menghasilkan aksara-aksara yang membentuk menjadi satu cerita utuh dan indah. Aria mengedarkan pandangan ke sekitar mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai inspirasi.

Ini adalah hari yang cerah dan tidak terlalu panas, cocok untuk sekadar bersantai di taman. Keputusan tepat Aria datang hari ini untuk menulis cerpen sembari ditemani embusan angin dan pemandangan elok dari bunga-bunga.

Sudah lama Aria tidak berkunjung ke taman untuk mencari inspirasi menulis cerpen. Hal ini dilakukannya karena dia baru saja mendaftar untuk mengikuti kompetisi menulis cerpen di internet. Aria tidak menginginkan hadiah yang didapatkan jika terpilih sebagai juara, yang dia inginkan adalah tetap konsisten dalam menulis dan menjaga kualitas cerpen yang ditulisnya tetap baik. Selain konsisten menulis, tidak lupa setiap hari Aria akan mengosongkan waktu membaca buku atau cerita di ponselnya.

Saat ini sudah banyak wadah yang menampung banyak cerita. Cari apa pun yang kamu ingin baca, maka kamu akan mendapatkannya dalam sepersekian detik.

Keajaiban sebuah teknologi. Sampai sekarang Aria masih terkagum oleh kehebatan teknologi dalam menyalurkan dan menyediakan informasi dan lainnya.

Aria membaca kembali naskah yang baru saja ditulisnya. Cerpen kali ini menceritakan tentang seorang gadis yang jatuh cinta dan hanya bisa memandang dari kejauhan. Dia terlalu takut untuk mendekati dan mengajak bicara pria yang disukainya. Sebagai gantinya, gadis itu mengirimkan surat setiap hari di loker si pria dengan harapan perasaannya bisa tersampaikan melalui surat tersebut. Namun, ternyata si pria juga memendam perasaan yang sama kepada si gadis. Mereka selama ini saling memerhatikan dari jauh seperti sepasang kekasih yang terpisah oleh jarak. Di hari kelulusan, si pria menyatakan perasaannya kepada gadis tersebut. Si gadis merasa sangat bahagia karena perasaannya terbalas.

Seperti itu deskripsi singkat dari cerpen yang ditulis Aria.

Membaca kembali cerpen tersebut, Aria teringat oleh seseorang. Ya, Eldhar Amuzaki. Bedanya Eldhar menyatakan perasaannya langsung tanpa gelagat menatap dari jauh, tidak seperti Aria.

“Aku suka kamu. Boleh gak aku deketin kamu?”

“Sayang, aku cemburu... Sesekali mainnya sama aku, dong. Jangan sama mereka terus.”

“Pagi, manisku.”

“Ria, aku suka kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?”

Aria menggeleng kuat. Semua yang terjadi belakangan terasa seperti mimpi baginya. Baik itu pertama kali dia bertemu dengan Eldhar dan mendapat pengakuan cinta mendadak dari pemuda tersebut sampai sekarang dia bisa mengobrol santai dengannya.

Harsa bergejolak dalam hati Aria. Sungguh, ia ingin merasakan ini selamanya. Dia ingin selamanya di sisi Eldhar, menemani dan membantunya dalam suka duka. Bahkan Aria bisa menjawab ajakan kencan Eldhar saat itu. Perasaannya sudah mantap, sekarang tinggal mencari waktu yang pas untuk mengatakannya kepada Eldhar.

Terlarut dalam pikirannya membuat Aria tidak sadar seseorang jalan mengendap-endap mendekatinya dari belakang kemudian menutupi kedua mata Aria.

“Tebak siapa.”

Aria mengenali suara ini, harum semerbak dari parfum menggelitik hidungnya. Perlahan Aria menurunkan tangan yang menutupi matanya dan menoleh. Wajah yang familier terpampang jelas di hadapan. Wajah seorang laki-laki dengan senyuman manis yang membuat Aria merona malu. Siapa lagi jika bukan Eldhar.

“Kok ke sini gak bilang? Lagi ngapain?” tanya Eldhar seraya mengambil kursi kosong di sebelah Aria.

Apa yang dilakukan Eldhar di sini? Pertanyaan-pertanyaan lainnya bermunculan di benak Aria mendapati pemuda itu tiba-tiba muncul seperti hantu. Aria memperlihatkan layar laptop dan berkata, “Aku ke sini cari inspirasi buat nulis.”

“Nulis?”

“Ya, aku nulis cerpen buat lomba.”

Eldhar mengangguk paham. Matanya tertuju pada layar, membaca dengan saksama naskha yang ditulis Aria. “Hebat juga bisa nulis cerpen.” Ia menyunggingkan senyum lebar. “Pasti sayangku bisa menang lomba.”

Aria hampir terbatuk mendengar panggilan sayang dari Eldhar. Padahal dia sudah lama menggunakan panggilan tersebut, entah kenapa Aria masih belum terbiasa. Terlebih panggilan itu berasal dari crush.

“Kamu pernah dapet juara?”

“Hmm? Oh, iya pernah,” jawab Aria. Ia mengambil alih laptop untuk membuka naskah yang bisa membawanya menjadi juara lomba cerpen. “Lombanya udah lama, sih. Aku masih punya naskahnya buat dibaca kalo lagi senggang.”

Mengangguk paham, tatapan Eldhar mendadak berubah. “Keren, ya. Sementara aku gak bisa apa-apa.”

Mendengar itu, alis Aria berkedut tidak suka. “Mana ada kamu gak bisa apa-apa!” serunya mengagetkan Eldhar. Ini pertama kalinya Aria meninggikan suaranya.

Dengan ekspresi kesal, Aria mendekatkan diri kepada Eldhar, menatap langsung ke katanya. “Jangan bilang kamu gak bisa apa-apa, El. Kamu punya keahlian, kok. Buktinya kamu bisa masak sendiri buat kamu sendiri.”

Eldhar mengerjapkan mata beberapa kali. “Tapi masakan aku gak enak.... “

“Enak atau enggak, gak lepas dari fakta kalo itu buatan kamu, kan? Lagi pula itu masih bisa dilatih lagi. Nanti makin lama kamu bakal makin jago masak dan makanan yang kamu buat bakal makin enak.”

“Selain itu, kamu juga pekerja keras. Kamu kerja paruh waktu buat mencukupi kebutuhan kamu sendiri. Menurutku itu bisa dibanggakan, kok.”

Napas Aria mulai terengah-engah usai berbicara panjang lebar dalam satu tarikan napas. Menstabilkan pernapasannya, Aria memalingkan wajahnya. “Yang mau aku katakan... Semua punya keahlian masing-masing. Jadi jangan bilang gak bisa apa-apa.”

Keheningan menyambut mereka berdua.

Aria enggan melihat wajah Eldhar. Ia terlalu takut usai menasihati pemuda itu seenaknya. Dalam hati Aria merutuk mengapa ia refleks marah dan menasihati Eldhar. Akan tetapi, bukankah wajar dia kesal karena perkataan Eldhar. Dia mengatakan hal yang tidak masuk akal dan itu membuat emosinya naik.

Tanpa diduga, kedua tangan pemuda itu perlahan terjulur mendekap daksa mungil Aria. Dagunya ia letakkan di bahu si gadis. “Aku beruntung bisa suka sama kamu, Ria. Kamu perempuan terbaik yang ada dalam hidupku setelah ibuku.”

Eldhar melepaskan pelukannya. Kedua pasang mata saling bertatapan. Eldhar memasang senyum manis, rona merah menyelimuti pipinya. “Rasanya cinta aku ke kamu makin besar dan besar,” ucapnya lalu tertawa kecil.

[END] I Love You ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang