Bab 15

10 2 0
                                    

Aria Wulandari sejak tadi tidak bisa mengendalikan debaran jantung yang menggebu-gebu layaknya tabuhan drum. Menggunakan buku untuk menyembunyikan sebagian besar wajahnya, Aria mencuri kesempatan melirik pemuda di sebelahnya.

Sungguh, ini adalah pemandangan langka. Bahkan Andre, Ema, atau teman-teman dekat Eldhar tidak akan memercayai ini apabila dia menceritakannya kepada mereka. Eldhar, pemuda yang terkenal karena berbagai kabar miring dan suka berbuat ulah baik di luar maupun di dalam sekolah, kini duduk anteng di samping Aria membaca komik yang ia temukan usai berkeliling rak mencari bacaan.

Andre yang mungkin lebih mengenal Eldhar sepertinya tidak akan memrcayainya jika sahabatnya bisa berlama-lama berdiam diri di perpustakaan. Secara dia memang bukan tipe yang akan mendatangi tempat penuh buku tersebut. Eldhar tidak akan sudi ke tempat yang hanya membuatnya sakit kepala.

Jangan ngadi kamu! Eldhar sampai mati pun gak akan mau ke perpustakaan!

Kayaknya kamu lagi belajar ngelawak, ya? Masih garing. Coba lain kali.

Entah kenapa Aria bisa membayangkan bagaimana reaksi Andre dan Ema. Benaknya penuh oleh kalimat-kalimat yang mungkin akan dilayangkan oleh kedua temannya. Namun, Aria sendiri pun tidak akan menduganya Eldhar mau diajak ke perpustakaan nasional, menemaninya membaca buku di tempat penuh kesunyian dan ketenangan.

Mengungkit soal Eldhar, dapat Aria akui bahwa pemuda yang disukai ini telah banyak berubah. Dari yang sebelumnya sering berbuat onar dan tidak terkontrol, sekarang jauh lebih baik dan anteng. Para guru dan teman sekelas Eldhar juga merasakan gelombang perubahan padanya. Pastinya mereka tahu siapa sosok dibalik Eldhar perlahan menjadi seperti sekarang.

Mereka yang mengetahui kabar si rumput sekolah alias pembuat onar sekolah menyatakan cinta secara terang-terangan kepada seorang gadis adalah yang paham soal itu.

Menyelesaikan bacaannya, Eldhar menutup halaman terakhir komik lalu mengembuskan napas panjang. Begitu netranya perlahan mengarah ke samping, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman manis dengan mata refleks menyipit seperti bulan sabit.

Gadis manis berkacamata dengan rambut dikepang menambah kesan lucu di mata Eldhar. Sungguh, mengapa gadis yang sangat ia sukai begitu cantik dan manis? Bahkan saat dia membaca buku pun sangat manis. Eldhar tidak bisa menahan kegemasannya sehingga tangannya terjulur mencubit pipi Aria.

Gelombang kejutan menghantam dan meruntuhkan fokus Aria. Refleks ia menutupi sisi wajahnya yang menjadi korban kejahilan Eldhar seraya menatapnya kebingungan. Aria meninggalkan tanda tanya besar mempertanyakan maksud dibalik tindakan pemuda itu sebelumnya.

Mendapat reaksi lucu, Eldhar tertawa kecil. "Maaf, kamu imut banget fokus gitu. Aku gemes mau jahilin kamu."

Aria mengerjap untuk sesaat. Jadi ini salahnya? Memangnya barusan dia melakukan sesuatu yang lucu sampai Eldhar merasa gemas? Rasanya ia tidak melakukan apa pun selain membaca buku.

"Lanjut aja bacanya. Aku mau keliling lagi cari buku."

"O-oh.... Baiklah."

Memastikan Eldhar jauh dari pandangannya, tanpa butuh hitungan detik Aria telah menenggelamkan wajahnya di buku seraya mengembuskan napas panjang. Begitu lantang dan panjang sehingga pengunjung lain yang kebetulan duduk di dekatnya memandangnya keheranan.

Aria menggosok wajahnya pelan menggunakan halaman buku yang terbuka. Ia berusaha mengontrol debaran jantung tidak wajar yang enggan mendengarkan perintahnya. Perlahan sekujur tubuhnya merasakan panas. Hampir keseluruhan wajah Aria merona malu bak tercelup cat merah.

Ia merasa kehilangan sebagian besar kekuatan dalam daksa. Tuturan Eldhar tadi membuat kedua kakinya terasa lemas. Jika Aria tidak sedang duduk, mungkin ia sudah merosot ke bawah karena tidak sanggup menahan beban tubuhnya sendiri.

Selain kepribadian yang membaik, Eldhar jadi lebih berani mengucapkan kata-kata rayuan dan manis. Kalau begini terus, bisa-bisa Aria akan tenggelam dalam lautan madu.

Curang banget, sih. Dia belajar dari mana bisa ngomong kayak gitu?

**

Tak terasa mereka bersantai di perpustakaan nasional hampir selama tiga jam. Berpuluh-puluh maaf dilontarkan Aria karena dia terlalu asyik membaca buku hingga tidak sadar bahwa ada Eldhar juga sedang bersamanya.

Eldhar tertawa kecil. "Gapapa, kok. Kalo kamu seneng ya aku ikutan seneng."

Jawaban final Eldhar membungkam Aria agar tidak mengucapkan maaf lagi.

Sampai di rumah Aria. Eldhar hendak memberikan ucapan selamat tinggal ketika suara wanita paruh baya datang dari belakang pemuda tersebut.

"Aria?"

"Loh, Ibu?"

Asih, wanita yang berstatus sebagai ibu Aria, muncul membawa kantung belanjaan. Dengan sigap Aria menghampiri sang ibu kemudian membantu membawakan kantung belanjaannya. Pandangan Asih tertuju kepada pemuda di dekat Aria tadi. Ditatap Eldhar dari atas ke bawah hingga mengundang kecurigaan dan tanda tanya Eldhar. Ia melakukan kontak mata dengan Aria seolah melayangkan pertanyaan apa yang ibunya sedang lakukan, menatapnya penuh kecurigaan dan mata menyipit.

Usai mengamati Eldhar dengan saksama, wajah Asih berubah cerah. "Ganteng banget kamu, Nak. Namanya siapa?"

Tak disangka Eldhar akan mendapat respons positif dari ibu Aria. Segera ia memasang postur tubuh sopan lalu menundukkan kepala. "Saya Eldhar, Tante. Temen sekolahnya Aria. Biasa temen-temen manggil saya El."

"El, ya? Aduh, namanya aja udah ganteng banget." Sang ibu kini beralih ke Aria. "Dia pacar kamu, Aria?"

Pertanyaan mendadak tersebut tentu saja mengejutkan Aria seakan dia baru saja disengat listrik. "Hah! Mana ada, Bu! Dia temen aku."

"Masa, sih? Masa seganteng gini cuman temen. " Sang ibu mencibir. Pandangannya tidak beralih sedikit pun dari pemuda di depannya. Senyuman manis terus mengembang dari wajah beliau yang mulai terlihat sedikit keriput tanda penuaan.

"Nak El mau masuk dulu? Ngobrol dulu, yuk. Tante penasaran kok Aria bisa punya temen seganteng kamu."

Sanjungan tiada henti dari ibu Aria mengundang senyum manis di wajah Eldhar. "Makasih buat tawarannya, tapi saya masih ada urusan setelah ini. Mungkin lain kali bisa, Tante." Sejujurnya Eldhar juga ingin sekali berkunjung ke rumah Aria dan berinteraksi dengan gadis yang disukainya tersebut. Sayangnya suatu urusan di suatu tempat membuatnya harus melepaskan kesempatan emas.

"Yahh, yaudah kalo hari ini gak bisa. Nanti kalo mau main ke rumah bilang, ya. Tante masakin sesuatu," balas sang ibu. Pandangannya teralih kepada anak perempuannya yan sedari tadi memandangi dalam diam. "Jangan lupa bawa El ke rumah."

"Iya-iya,"

Begitu ibu Aria memasuki rumah, Aria menghela napas panjang. Mengapa ibunya harus muncul Ketika dia pulang bersama Eldhar? Pasti setelah ini dia akan dilemparkan berpuluh-puluh pertanyaan seolah dia sedang berada di ruang interogasi bersama seorang detektif.

Tawa kecil lepas dari mulut Eldhar. "Lucu juga ibu kamu."

"Maaf banget, ya. Ibu aku emang gitu."

Eldhar menggeleng pelan. "Gapapa. Kok. Yaudah kamu masuk. Nanti kita ketemu lagi di sekolah."

Aria mengangguk patuh. Setelah ia mengucapkan selamat tinggal kepada Eldhar, buru-buru ia memasuki rumah untuk mengisi energi usai seharian berada di luar.

Memastikan gadis yang bersamanya sepanjang hari telah aman di rumahnya, Eldhar merogoh saku celananya kemudian menyambungkan panggilan ke satu nomor. Begitu panggilan tersambungm wajah Eldhar berubah dingin disertai nada datar yang mengggelitik kulit.

"Gue ke sana sekarang."

[END] I Love You ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang