Bab 13

14 2 0
                                    

Bab 13

Pintu masuk rumah terbuka ketika Eldhar sibuk memasak sambil mengobrol dengan Aria lewat chat. Pemuda itu tidak menyadari keberadaan seseorang karena terlalu fokus pada masakan yang sedang dibuatnya. Tampak seorang pria mengenakan setelan jas memperhatikan Eldhar dalam diam seolah menunggunya menyadari kehadirannya.

Begitu Eldhar berbalik, kedua alisnya terangkat mendapati siapa yang tengah berdiri di samping meja makan. “Ayah .... “

Reza–pria yang sedari tadi menatap Eldhar dan berstatus sebagai ayah Eldhar–akhirnya mengembuskan napas panjang seraya mengambil salah satu kursi di meja makan. Dengan kasar ia melonggarkan dasinya lalu memerhatikan Eldhar dengan saksama dari atas ke bawah.

“Abis masak?”

“Hah? Oh, iya .... “ Eldhar menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal, bingung dengan maksud pertanyaan sang ayah. “Ayah mau makan?”

“Enggak usah,” jawab Reza sambil mengibaskan tangan. “Ayah udah makan.”

“Oh, yaudah.” Eldhar tidak mau ambil pusing. Jika yang bersangkutan berkata tidak, maka Eldhar tidak ingin memaksa. Terlebih yang sekarang mengobrol dengannya adalah ayahnya sendiri. Seseorang yang hampir tidak pernah menengok anaknya di rumah dan memilih sibuk dengan pekerjaan selepas sang istri pergi untuk selamanya.

Eldhar membawa sepiring makanan menuju meja makan. Posisi mereka berdua kini berhadapan. Yang satu sibuk makan dan satunya menatap pihak lain tanpa mengatakan apa pun. Dengan wajah datar, Reza mengetuk meja menggunakan jari telunjuk. Begitu jelas dari tampangnya dia tengah memikirkan sesuatu selagi ia menatap Eldhar makan.

“Gimana sekolah kamu?”

Eldhar melirik sekilas. Ayahnya jarang atau bahkan tidak pernah pulang sama sekali ke rumah, kali ini menanyai kehidupan anaknya. Tidak mungkin Eldhar tidak merasa aneh oleh pertanyaan mendadak yang terlontar tersebut.

“Gak ada masalah.” Lebih baik menyembunyikan perihal dirinya yang sering berkelahi. Toh, bilang pun tidak akan membuat ayahnya khawatir.

Tidak ada pembicaraan sampai Eldhar menghabiskan makanannya. Membawa piring kosong ke wastafel untuk dicuci, Eldhar memeriksa ponsel yang tidak sengaja ia tinggalkan di meja konter dapur. Ada dua pesan terbaru dari Aria. Eldhar tidak menahan senyumnya sambil membalas pesan Aria.

“Jangan lupa ke makam Ibumu,” ujar Reza seraya merapikan kursi yang barusan ia pakai. Tatapannya kepada Eldhar begitu datar seolah dia sedang melihat orang asing.

Eldhar terdiam sesaat sebelum mengangguk singkat. “Aku gak lupa, Ayah.”

“Ya sudah.”

Rumah kembali hening dengan entitas satu pemuda di dalamnya. Beginilah interaksi singkat dirinya dengan sang ayah ketika beliau pulang ke rumah. Entah apa alasan beliau datang ke rumah jika langsung pergi seperti itu.

Sehabis mencuci piring, Eldhar bergegas mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri sebelum ia pergi ke makam ibunya. Hari ini adalah hari peringatan kematian ibunya. Tentunya Eldhar tidak ingin terlambat mengunjungi ibunya dan bercerita banyak hal. Adapun soal ayahnya, seperti ia sudah pergi ke sana lebih dulu sebelum pulang ke sini.

Sore hari, tepatnya pada jam 4 sore, Eldhar mengunjungi makam sang ibu sambil membawa botol air dan bunga segar yang disimpan dalam kantung plastik. Melihat nama yang terukir di atas nisan, Eldhar menyunggingkan senyum tipis.

“Bu, El udah dateng, nih. Kangen El, gak?” tanyanya kemudian tertawa kecil. “Padahal El yang kangen Ibu, sih.”

Menyiram makan dengan botol air juga menabur bunga dengan telaten dan penuh kehati-hatian, Eldhar duduk di sebelah makam ibunya, menatap nama sang ibu yang terukir.

“Tahun ini banyak yang mau El ceritain ke Ibu. Sekarang El udah kelas 2 SMA. El juga masih temenan sama Andre, tapi masih sering berantem sampe jadi langganan BK.” Eldhar tertawa mendengar cerita yang ia sampaikan sendiri. “Pak Ares kayaknya udah capek ngeladenin El, Bu.”

Perlahan Eldhar menjulurkan tangan mengelus batu nisan milik mendiang ibunya. “Cuman akhir-akhir ini El udah gak berantem lagi, Bu. El udah gak berantem, masuk sekolah tepat waktu, dengerin pelajaran di kelas, ngerjain tugas. Pokoknya El banyak perubahan tahun ini.”

Eldhar menundukkan kepala. Dalam benaknya terlintas bayangan seorang gadis berkacamata dengan rambut dikepang. “El suka sama seseorang, Bu. Dia yang bikin El banyak berubah jadi lebih baik di sekolah. Dia cantik, manis, imut. Wajahnya kalau lagi malu-malu pas El godain dia juga manis banget. Dia pintar nulis cerpen, katanya pernah dapet juara. Dia ngajarin El sampe El bisa dapet nilai bagus di ujian. Ketika El minder karena gak punya keahlian, dia yang pertama kali marahin El dan bilang kalau El sebenarnya punya keahlian.”

“Banyak hal yang bikin El makin suka dan sayang sama dia, Bu.” Menatap makam sang ibu, mata Eldhar tampak bergetar seolah tengah menahan tangis. “Kalau Ibu merestui El sama dia, El boleh minta bantuan Ibu dari sana buat El dapetin dia.”

“Dulu El gak bisa melindungi Ibu. Sekarang, El mau melindungi apa yang berharga bagi El.”

Memeriksa jam melalui ponsel, Eldhar beranjak dari posisi duduknya. Untuk terakhir kalinya dia mengelus makam sang ibu dengan senyum tipis. “Segini dulu, Bu. Nanti El dateng lagi biar Ibu gak kesepian.” Eldhar mengecup makam ibunya penuh ketulusan sebelum ia benar-benar meninggalkan area makam.

[END] I Love You ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang